gagal menampilkan data

Article

RUU PKS Harus Disahkan Untuk Melindungi Kita

Written by collaborator

Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual alias RUU PKS telah bergulir sejak enam tahun lalu. Tapi pengesahannya masih jauh dari nyata. DPR RI justru memutuskan untuk mengeluarkan RUU PKS dari Prolegnas (Program Legislasi Nasional) Prioritas di tahun 2020. Artinya RUU PKS tidak akan segera disahkan di tahun ini. Kekerasan seksual yang meningkat hampir 800% selama 12 tahun terakhir ternyata tidak dianggap menjadi dorongan kuat untuk mengesahkan RUU PKS.

Hal yang lebih menyedihkan lagi adalah pernyataan anggota dewan bahwa pembahasan RUU PKS dianggap sulit. Padahal, posisi menjadi korban jauh lebih sulit. Kita dapat berkaca pada kasus Agni di UGM, Baiq Nuril di SMA 7 Mataram, hingga Yuyun di Bengkulu. Penderitaan korban dari mulai kehilangan pekerjaan hingga kehilangan nyawa karena kasus kekerasan seksual tidak dianggap berharga oleh negara. Ini adalah bukti kuat, perempuan hanya menjadi warga negara kelas dua.

Kelompok yang menolak RUU PKS terus mengatakan bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana sudah cukup untuk memerangi kekerasan seksual. Padahal definisinya masih sempit. Pasal 285 KUHP hanya mengakui perkosaan yang dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan yaitu dengan penetrasi penis ke vagina. Perkosaan yang dilakukan dengan jari atau benda tumpul tidak diakui. Apalagi perkosaan yang dilakukan laki-laki terhadap korban laki-laki juga tidak disinggung di sini.

Penolak RUU PKS juga banyak yang menolak definisi dari kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 1 RUU PKS. Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.

Definisi dari kekerasan seksual ini dibuat panjang dan lengkap agar tidak ada celah secara hukum sehingga pelaku tak dapat melarikan diri. Bila definisinya kurang jelas maka kita akan kembali melihat korban yang justru kalah di depan hukum. Definisi ini juga akan membantu para korban yang sebelumnya tidak mendapatkan keadilan karena kasusnya belum diatur dalam KUHP. Contohnya adalah pemaksaan aborsi.

Dalam definisi tersebut juga dijelaskan adanya ketimpangan relasi kuasa maupun gender. Contohnya pada kasus perkosaan dan pelecehan seksual yang dialami RA, mantan asisten ahli salah satu anggota dewan pengawas BPJS. Kasus ini menunjukkan relasi kuasa yang besar sehingga korban tidak berdaya. Korban takut kehilangan pekerjaan dan takut tidak dipercaya bila buka suara karena pelaku memiliki kedudukan tinggi. Saat korban membela diri ia malah dipecat.

Kasus seperti ini bukan hanya satu dua kali terjadi. Kasus Baiq Nuril pun merupakan contoh relasi kuasa karena pelaku, Muslim, adalah kepala sekolah sekaligus atasan korban. Posisi korban lebih lemah karena hanya menjadi tenaga honorer. Menurut korban, ia bukan satu-satunya yang menjadi target kekerasan seksual oleh pelaku. Namun korban lain bungkam karena terlalu takut. Bahkan setelah Baiq Nuril buka suara dan mendapat dukungan publik atas kasusnya, korban lain tetap diam.

Menurut Pasal 11 RUU PKS, kekerasan seksual terbagi menjadi 9 yaitu pelecehan seksual; eksploitasi seksual; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan aborsi; perkosaan; pemaksaan perkawinan; pemaksaan pelacuran; perbudakan seksual; dan/atau penyiksaan seksual. Pertama kita akan membahas mengenai pelecehan seksual. Ini merupakan pasal yang akan membantu para korban untuk dapat memperjuangkan keadilan walau selama ini kasusnya disepelekan.

Pasal ini menggarisbawahi bahwa pelecehan seksual adalah tindakan fisik maupun nonfisik. Dampaknya adalah korban merasa terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan. Kita akan kembali merujuk pada kasus Baiq Nuril. Di sini sang pelaku, Muslim, melakukan pelecehan seksual dengan membicarakan fantasi seksualnya melalui telepon kepada Baiq Nuril. Apa yang dilakukan Muslim termasuk ke dalam tindakan pelecehan seksual karena membuat Baiq Nuril merasa direndahkan, dihina, dan diintimidasi.

Kedua adalah eksploitasi seksual yaitu usaha memanfaatkan tubuh orang lain dengan ancaman kekerasan, tipu daya, kebohongan, dan penyalahgunaan kepercayaan. Ini akan membantu para korban yang mengalami perkosaan dengan ancaman dibunuh bila tidak menuruti kemauan pelaku. Contohnya adalah kasus yang perkosaan yang dilakukan Simson di Sumatera Selatan pada anak tirinya yang berusia 12 tahun. Ia melakukan perkosaan dengan ancaman pembunuhan.

Pada banyak kasus inses pelaku tak hanya mengancam akan membunuh korban tapi juga membunuh anggota keluarga lain. Ini membuat korban merasa takut bila ia menjadi penyebab anggota keluarganya terbunuh. Tekanan ini membuat korban tidak berani melawan. Hal ini patut digarisbawahi agar di pengadilan pelaku tidak mengelak dari tuduhan hukum dengan mengatakan kalau korban terima-terima saja. Kasus seperti ini juga masih termasuk dalam contoh relasi kuasa dan relasi gender yang tidak seimbang.

Ketiga adalah pasal pemaksaan kontrasepsi yang menyebabkan seseorang tidak memiliki kontrol atas tubuhnya sehingga tidak dapat memiliki keturunan. Pasal ini penting karena memang belum ada aturannya. Walau jarang terdengar tapi bukan berarti kasus ini tidak ada. Kasus terakhir yang mengangkat isu ini adalah dua remaja yang dipaksa terlibat dalam pelacuran dan dipaksa  menggunakan kontrasepsi di Bulan Januari 2020. Kedua korban yaitu AA dan UL juga disekap.

Bila menggunakan aturan hukum yang sudah ada maka mucikari hanya dituntut secara hukum dengan pasal perdagangan manusia dan penyekapan. Padahal kasus pemaksaan kontrasepsi juga merupakan pelanggaran atas harkat martabat manusia. Apalagi bila hal tersebut berdampak pada kesehatan organ reproduksi di mana korban masih di bawah umur. Pemaksaan kontrasepsi tak hanya membuat korban trauma tapi juga merasa tak memiliki kontrol atas seksualitasnya.

Keempat adalah pemaksaan aborsi. Saat ini KUHP hanya mengatur aborsi saja artinya orang yang melakukan praktik aborsi beserta orang yang membantunya dapat dijerat hukum. Padahal ada kasus di mana korban dipaksa aborsi terutama dalam kasus inses. Kasus pemaksaan aborsi juga banyak terjadi pada kehamilan yang tidak diinginkan terutama pemaksaan yang dilakukan pihak laki-laki agar tidak dimintai pertanggungjawaban.

Contohnya pada tahun 2018 ketika seorang kakak menghamili adiknya. Ibunya yang merasa malu lalu mencecoki si adik dengan jamu dan memijat perut korban agar dapat menggugurkan kandungan. Korban ikut menghadapi tuntutan hukum meski ia di bawah umur. Keluarga yang seharusnya melindungi malah menghamili dan membuatnya menggugurkan kandungan dengan cara tidak aman. Nyawa korban bisa terancam dengan praktik aborsi macam ini.

Kelima adalah perkosaan yang tidak lagi menekankan bahwa pelakunya selalu laki-laki dan korbannya selalu perempuan seperti dalam KUHP. Pasal ini akan dapat menolong korban perkosaan yang berjenis kelamin laki-laki untuk mendapatkan keadilan. Selain itu perkosaan tidak lagi terbatas pada alat kelamin saja.

Pasal ini seringkali dituduh membenarkan perzinahan karena di dalamnya ada pernyataan bahwa perkosaan adalah ketika korban tidak menyatakan persetujuan. Padahal perzinahan sendiri telah diatur dalam KUHP. RUU PKS mengatur kasus hubungan seksual yang tidak berdasarkan consent alias persetujuan kedua belah pihak dan ini tidak ada kaitannya dengan perzinahan.

Keenam adalah pemaksaan perkawinan. Kasus kawin paksa sayangnya masih terjadi di banyak daerah apalagi dengan dalih bagian dari adat. Contohnya tradisi kawin tangkap di Sumba. Perempuan diculik secara paksa dari rumahnya sendiri untuk dinikahkan secara paksa dengan seorang lelaki. Pada beberapa kasus, keluarga perempuan tersebut juga terlibat dalam proses penculikan misalnya membiarkan anak perempuannya diambil atau bahkan membuat lubang di bangunan rumah agar keluarga pihak lelaki bisa menerobos masuk. Ini tidak manusiawi.

Kawin paksa juga sayangnya terjadi pada korban-korban perkosaan apalagi yang berusia di bawah umur. Keluarga menganggap bahwa perkosaan adalah aib sehingga korban harus dinikahi. Kasus terbaru adalah seorang guru SLB yang memerkosa siswanya yang menyandang tunagrahita di Blora Jawa Tengah. Tak hanya lepas dari hukum, korban yang hamil juga dijadikan istri kedua pelaku. Pelaku juga tidak dipecat dari pekerjaannya melainkan mengundurkan diri, menunjukkan pihak sekolah tidak menganggap serius kasus perkosaan tersebut.

Ketujuh adalah pemaksaan pelacuran seperti contoh yang telah kita bahas di atas yaitu AA dan UL yang juga disekap dan diberi kontrasepsi secara paksa. Negara sudah seharusnya berperan melindungi perempuan-perempuan yang dipaksa melacur karena manusia bukan hewan atau barang yang seharusnya dieksploitasi sebagai komoditas dagang. Pemaksaan pelacuran tak hanya membuat korban mendapatkan stigma tapi juga berisiko tertular penyakit seksual dan mengalami masalah kesehatan lain pada organ reproduksinya.

Kedelapan adalah perbudakan seksual. Kasus perbudakan seksual memang mirip dengan kasus pemaksaan pelacuran. Namun ada perbedaannya. Perbudakaan seksual termasuk dengan pemaksaan pelacuran yang diikuti oleh pembatasan ruang gerak korban. Contohnya kasus perbudakan seksual di Rawa Bebek Jakarta Utara yang terjadi pada tahun ini dengan korban anak-anak. Perbudakan seksual ini dilakukan oleh sindikat yang memiliki jaringan dan berpindah-pindah tempat agar tidak terendus hukum.

Terakhir adalah penyiksaan seksual. Menurut Komnas Perempuan penyiksaan seksual ini termasuk dengan menelanjangi, memotong payudara, dan lain-lain. Kasus pemotongan payudara terjadi pada perkosaan terhadap etnis minoritas di tahun 1998. Sementara mengarak korban dalam kondisi telanjang seperti persekusi masih banyak terjadi hingga kini. Misalnya ketika seorang perempuan ketahuan mencuri lalu ditangkap warga dan dibuka paksa pakaiannya. Selain main hakim sendiri hal ini tidak manusiawi.

Selain itu bagian penting lain dari RUU PKS adalah pemenuhan hak-hak korban. Dalam KUHP hal ini belum diatur sehingga kita membutuhkan payung hukum sendiri. RUU PKS akan memastikan korban mendapatkan rasa aman ketika melaporkan kekerasan seksual yang ia alami sehingga tidak ada lagi cerita petugas berwenang yang melakukan victim blaming. RUU PKS juga mendorong agar suara korban didengarkan sehingga secara hukum kesaksikan korban sudah menjadi salah satu alat bukti.

Barang bukti juga termasuk pemeriksaan baik secara fisik oleh dokter maupun psikis oleh ahli jiwa seperti psikolog dan psikiater. Ini karena kekerasan seksual memberikan dampak pada fisik maupun mental korban sehingga keduanya adalah alat bukti yang sah. Selain itu informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima,  atau disimpan secara elektronik dapat menjadi barang bukti. Hal ini akan memastikan kasus seperti Baiq Nuril tidak terulang lagi di mana korban malah dipenjara karena memiliki bukti kejahatan pelaku.

Sister Sites Spotlight

Explore Girls Beyond