Tantangan Menjadi Anak Perempuan Pertama
Perempuan. Saya rasa ada banyak cerita yang bisa disampaikan jika membahas perempuan. Bagaimana tidak, menurut saya menjadi perempuan memang hal yang kompleks. Ada banyak momentum di kehidupan yang membuat menjadi perempuan suatu hal yang hebat, tetapi juga tidak mudah. Menjadi ibu, menjadi pemimpin di lingkungan yang patriarkis, bahkan hanya menjadi pejalan kaki tapi harus siap mendengar sial siul dari orang yang tidak dikenal. Loh, jadi lumayan berat ya bahasannya? Tetapi kali ini saya tidak mau membahas topik itu. Kali ini saya mau berbagi cerita yang mungkin lebih dekat dengan kita, yaitu menjadi anak perempuan pertama.
Kenapa sih anak perempuan pertama?
Pertama-tama, saya sendiri adalah anak perempuan pertama. Suatu hari saya dan teman-teman saya sadar kalau kami semua adalah anak perempuan pertama. Kami pun akhirnya berbagi cerita tentang menjadi anak perempuan pertama di keluarga masing-masing. Dari situ saya sadar, mungkin di luar sana ada banyak anak perempuan pertama yang punya cerita sama seperti kami, atau mungkin ada juga yang berbeda? Saya hanya ingin berbagi cerita tentang menjadi anak perempuan pertama, untuk kita, si anak perempuan pertama. Karena saya percaya dengan saling berbagi cerita, kita dapat saling menenangkan. Jadi, kalau kamu punya pikiran yang sama, semoga kamu mau meluangkan waktumu dan membaca cerita di bawah ini.
Saya rasa waktu pertama kali melihat adik kita, yang kita rasakan adalah senang. “Hore aku punya adik! Aku punya temen main!” Seperti itu lah ya kira-kira. Tapi saya rasa kita tidak pernah berpikir bahwa hari-hari, bulan-bulan, dan tahun-tahun selanjutnya, pengalaman menjadi seorang anak tidak pernah sama lagi.
Bermula hanya sekali dua kali kita harus mengalah dengan memberikan mainan yang adik kita inginkan, berlanjut kita diajarkan untuk membantu adik kita kalau mereka kesulitan, hingga akhirnya kita harus menjadi panutan untuk adik kita. Tidak ada yang salah dari hal tersebut, sudah sepatutnya kita berperan seperti itu. Rasa sayang terhadap adik membuat apa yang awalnya dilakukan karena dibiasakan jadi kebiasaan. Secara tidak sadar kita jadi otomatis mengalah, otomatis membantu, dan otomatis ingin jadi figur yang baik karena kita menjadi tolak ukur untuk langkah adik kita selanjutnya.
Hanya saja, terkadang lelah juga menjadi seperti ini. Ada kalanya ingin makan sepuasnya walaupun adik belum makan, ada kalanya ingin sibuk dengan tugas sendiri dan tidak bisa memberikan waktu untuk membantu tugas mereka, dan ada kalanya kita juga kita tidak yakin dengan apa yang kita jalani, jadi boro-boro kan mau menjadi panutan untuk adik?
Anak perempuan pertama seringkali menjadi yang pertama mengalah, pertama membantu, dan yang pertama dicontoh. Ada masanya anak perempuan pertama harus memikul peran yang kedua, yaitu menjadi ‘Ibu’ kedua. Anak perempuan pertama biasanya sejak dini sudah diajarkan urusan rumah, seperti bersih-bersih dan memasak. Kalau Ibu sedang tidak bisa, ya kita yang menggantikan. Hal ini menjadi keuntungan karena kita jadi belajar melakukan tugas rumah yang tadinya tidak bisa kita lakukan. Tapi kadang ada juga perasaan kalau adik kita juga perlu dong untuk bisa? Karena tidak selamanya mereka akan tinggal dengan kita.
Peran jadi ibu kedua juga berpengaruh dalam hal mengurus adik. Kalau ibu sudah angkat tangan, kita yang harus maju. Kita yang harus mengarahkan adik kita untuk melakukan hal yang benar. Terkadang kita sebagai kakak yang harusnya berbagi suka duka sebagai saudara sekandung, malah jadi ikut ditakuti adik. Terkadang adik jadi malas cerita, karena merasa respon kita akan sama seperti ibu, tidak berpihak kepadanya.
Sebenarnya sudah cukup jelas, menjadi anak perempuan pertama berarti harus siap menjadi yang pertama diandalkan. Entah itu diandalkan untuk mengurus hal remeh temeh seperti bantu ibu atau bapak belanja online sampai nanti akan ada waktunya kita diandalkan untuk jadi orang pertama yang mengurus keluarga. Ketika ayah ibu nanti mulai tidak bekerja, urusan rumah secara finansial kemungkinan besar akan diambil alih oleh kita. Hal ini lebih menantang karena terkadang kondisi di luar sana masih belum memperlakukan pekerja perempuan dengan adil. Alhasil ada rasa tanggung jawab tersendiri bagi kita untuk melakukan yang terbaik, karena di luar sana menjadi yang terbaik saja belum tentu menjamin.
Menjadi anak perempuan pertama berarti juga harus siap diandalkan menjadi seorang pendengar. Mungkin karena perempuan dianggap lebih empatik. Mungkin juga karena anak pertama dianggap lebih dewasa dan siap untuk menghadapi masalah. Jadilah kita si pendengar masalah utama. Lega rasanya karena ayah atau ibu kita tidak memikul beban mereka sendiri. Lega karena kita jadi orang yang dipercaya mereka. Tapi ada kalanya kita ingin jadi yang pertama didengar. Karena kadang rasanya ingin bilang ke mereka, “Bisa gak, gak usah cerita ke aku?” Karena hari-hari selanjutnya ketika diam pikiran otomatis jadi memikirkan masalah tersebut. Jadi kesal dan sedih, dan mungkin yang terburuk, jadi tidak bisa melihat sesuatu atau seseorang dengan sama lagi.
Menjadi anak perempuan pertama memang membuat kita menjadi yang pertama diandalkan dalam berbagi hal, yang sering dilupakan adalah ini juga pertama kalinya kita menjalani kehidupan. Banyak hal yang tidak kita ketahui dan akhirnya harus kita ketahui dan pelajari dengan sendirinya. Banyak hal lain yang harus dipikul di saat kita masih kelimpungan dengan hal yang kita hadapi. Kabar baiknya, kita menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri. Tentunya itu sesuatu yang patut disyukuri. Tapi pada akhirnya kita tidak ingin jadi mandiri dan tangguh sendiri, kita ingin adik kita juga tumbuh seperti kita. Menjadi tangguh dan mandiri juga bukan berarti harus melakukan semuanya sendiri, kita juga manusia yang butuh bantuan orang lain.
Kira-kira seperti inilah cerita tentang menjadi anak perempuan pertama. Mungkin memang terdengar berat. Mungkin memang terdengar seperti keluhan. Yang pasti saya percaya kita semua adalah pejuang di keluarga masing-masing. Semoga cerita singkat ini bisa menjadi penenang bahwa kita, si anak perempuan pertama, tidak berjuang sendiri. Semoga cerita singkat ini bisa memberikan pemikiran baru untuk kamu yang merasakan hal berbeda saat menjadi anak perempuan pertama.
Nah, kalau gitu, boleh tidak kalau saya juga dengar cerita kamu? Seperti apa sih rasanya menjadi anak perempuan pertama versi kamu? Kalau berkenan, silahkan komen ya!