5 Pahlawan Perempuan Indonesia Super Inspiratif yang Sering Terlupakan
Peringatan HUT Republik Indonesia ke-77 sudah di depan mata. Selain diramaikan dengan berbagai perlombaan yang seru, peringatan kemerdekaan RI juga merupakan momentum bagi kita untuk mengenang kembali perjuangan putra-putri bangsa membebaskan Tanah Air dari penjajahan.
Sayangnya, ketika berbicara soal pahlawan nasional, seringkali kita melupakan keberadaan tokoh-tokoh perempuan. Bahkan jika diminta menyebutkan, mungkin kita hanya familiar dengan beberapa nama, seperti R. A. Kartini atau Cut Nyak Dhien. Padahal kita punya banyak sekali pahlawan perempuan yang tak kalah hebat dengan mereka, loh.
Berikut 5 Srikandi yang berkontribusi dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia!
Laksamana Malahayati
Selain Cut Nyak Dhien dan Tuanku Imam Bonjol, Aceh juga punya Laksamana Malahayati (1550-1615). Perempuan yang juga dikenal sebagai Keumalahayati ini merupakan keturunan Kesultanan Aceh.
Laksamana Malahayati memimpin pasukan Inong Balee yang terdiri dari janda-janda perang melawan pasukan Portugis dan Belanda. Ia bahkan membunuh pimpinan pasukan Belanda, Cornelis de Houtman dalam misi melindungi pelabuhan dagang Aceh.
Konon, Malahayati adalah perempuan pertama di dunia yang menyandang gelar laksamana laut. Namanya kini diabadikan sebagai nama jalan, pelabuhan, hingga perguruan tinggi.
Roehana Koeddoes
Selain turun langsung ke medan perang, tidak sedikit pahlawan perempuan yang berjuang melalui pendidikan, salah satunya Roehana Koeddoes (1884-1972). Roehana Koeddoes berkomitmen untuk mencerdaskan kaum perempuan, karena meyakini minimnya akses pendidikan bagi perempuan merupakan bentuk diskriminasi.
Pada tahun 1905, Roehana membuka sekolah artisanal di Koto Gadang. Kemudian pada tahun 1911, ia memutuskan untuk mendirikan sekolah perempuan yang lebih terorganisir bernama Kerajinan Amai Setia (KAS). Selain mengajar baca-tulis, Roehana Koeddoes juga mengajarkan berbagai keterampilan di luar tugas rumah tangga.
Roehana Koeddoes juga mendirikan sebuah surat kabar bernama Soenting Melajoe pada tahun 1912, yang fokus mengangkat isu-isu perempuan, seperti poligami, perceraian, dan pendidikan. Kiprahnya di dunia jurnalisme membuatnya dianugerahi gelar Wartawati Pertama oleh pemerintah Sumatra Barat pada tahun 1974, serta penghargaan Perintis Pers Indonesia pada tahun 1987.
Nyi Ageng Serang
Salah satu tokoh dalam Perang Diponegoro adalah Nyi Ageng Serang (1752-1828). Perempuan yang lahir dengan nama R. A. Retno Kursiah Edi ini merupakan keturunan Sunan Kalijaga yang berasal dari Desa Serang, Purwodadi, Jawa Tengah.
Meskipun pada masa itu tak lazim bagi seorang perempuan Jawa untuk turun ke medan perang, Nyi Ageng Serang tetap mengikuti pelatihan militer bersama para prajurit pria. Pada awal Perang Diponegoro di tahun 1825, Nyi Ageng Serang merupakan salah satu pemimpin pasukan walau saat itu telah berusia 73 tahun. Ia juga diangkat menjadi penasehat perang oleh Pangeran Diponegoro.
Nyi Ageng Serang meninggal dunia pada tahun 1828 karena usianya semakin lanjut dan kesehatannya semakin memburuk. Ia dimakamkan di Dusun Beku, Kabupaten Kulon Progo. Sebuah monumen berbentuk Nyi Ageng Serang yang tengah menunggangi kuda didirikan di Kecamatan Wates sebagai bentuk penghormatan masyarakat Kulon Progo terhadap perjuangannya.
Andi Depu
Pahlawan perempuan asal Sulawesi Barat yang satu ini dikenal melalui perjuangannya pada masa pendudukan Jepang dan Sekutu. Andi Depu (1907-1985) merupakan pemimpin Kerajaan Balanipa ke-52.
Pada awal kedatangan pasukan Jepang di tahun 1942, Andi Depu mengibarkan bendera merah putih di Mandar. Kemudian pada tahun 1943, ia memelopori berdirinya pasukan Fujinkai, serta organisasi Islam Muda pada tahun 1945. Ketika Sekutu datang ke Indonesia, Andi Depu berjuang mempertahankan wilayah Tinambung, Polewali Mandar dari pasukan Belanda.
Pada tahun 1946, Andi Depu ditangkap di Makassar dan dipenjara serta disiksa oleh pasukan Belanda. Ia dibebaskan setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949. Ia kembali ke Mandar untuk memimpin bekas wilayah Kerajaan Balanipa hingga tahun 1956.
Opu Daeng Risaju
Opu Daeng Risaju (1880-1964) merupakan pahlawan perempuan asal Sulawesi Selatan. Ia menghabiskan masa mudanya memperdalam ilmu agama. Setelah menikah dengan H. Muhammad Daud, ia aktif dalam Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan mendirikan PSII di Palopo pada tahun 1930.
Saat tentara NICA menduduki Indonesia, Opu Daeng Risaju mengoordinasikan para pemuda untuk melakukan perlawanan. Ia pun tertangkap oleh NICA di Lantoro dan dibawa ke Watampone dengan cara berjalan kaki sepanjang 40 km. Ia sempat dipindahkan dari satu penjara ke yang lainnya, mulai dari Bone, Sengkan, dan Bajo. Penyiksaan yang dialami Opu Daeng Risaju saat menjadi tawanan NICA membuatnya tuli seumur hidup.
Opu Daeng Risaju ditahan tanpa pernah diadili selama 11 bulan, dan akhirnya dibebaskan setelah pelaksanaan Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949. Ia menetap di Pare-pare bersama anaknya hingga akhir hayatnya pada tanggal 10 Februari 1964. Ia dimakamkan di pemakaman raja-raja Lokkoe di Palopo tanpa upacara penghormatan.
Gimana, girls? Mereka semua keren-keren banget, kan? Nah, tugas kita sekarang adalah meneruskan perjuangan mereka dalam karya dan kehidupan kita sehari-hari. Semoga mereka bisa jadi inspirasi untuk kita semua, ya!