gagal menampilkan data

Article

Bekerja Secukupnya dengan Quiet Quitting

Written by Angela Ranitta

Ngomongin isu seputar karir emang nggak pernah ada habisnya. Beberapa waktu belakangan, kamu mungkin sudah sering mendengar soal hustle culture. Hustle culture adalah sebuah istilah yang merujuk pada sebuah gaya hidup di mana seseorang bekerja semaksimal mungkin dan beristirahat seminimal mungkin. Orang yang menjalani budaya kerja seperti ini seringkali merasa bersalah ketika punya banyak waktu luang. Bahkan nggak sedikit yang tetap bekerja ketika hari libur atau akhir pekan. 

Banyak orang menganggap hustle culture sebagai jalan terbaik untuk meraih kesuksesan. Namun ternyata nggak sedikit yang kontra terhadap budaya kerja ini, loh. Mereka merasa hustle culture justru mempromosikan toxic productivity alias produktivitas beracun. Hustle culture bikin orang-orang jadi mengabaikan pentingnya keseimbangan antara bekerja dan beristirahat, serta merendahkan orang lain yang dianggap kurang produktif. 

Hustle culture dianggap mengglorifikasi produktivitas beracun yang berdampak buruk terhadap kesehatan pekerja.

Hustle culture juga dianggap berdampak buruk kepada kesehatan para pekerja, baik secara fisik maupun psikis. Di Indonesia, persentase masyarakat yang terkena serangan jantung di usia 30-40 tahun terus meningkat sebanyak 2 persen setiap tahun. Tingginya kasus serangan jantung di kalangan generasi muda dipicu oleh gaya hidup yang kurang seimbang. Dari segi psikis, hustle culture membuat masyarakat rentan mengalami burnout di usia produktif. Bahkan hal ini berpotensi membuat masyarakat mengalami gangguan kejiwaan yang lebih parah, seperti depresi, kecemasan, dan sebagainya. 

Melawan Hustle Culture dengan Quiet Quitting

Nah, baru-baru ini ada sebuah tren atau budaya kerja baru yang dipopulerkan sebagai respons perlawanan terhadap hustle culture. Pernahkah kamu mendengar istilah quiet quitting? Secara harfiah, istilah ini bisa diartikan sebagai “keluar diam-diam”. Tapi, makna sebenarnya bukan berarti kamu resign dari kerjaan kamu tanpa memberitahu pihak perusahaan, ya.

Quiet quitting adalah budaya kerja seadanya atau sesuai pada porsinya. Seseorang yang melakukan quiet quitting berarti bekerja sesuai dengan porsi yang seharusnya, serta upah yang diberikan. Mereka nggak akan mengambil beban kerja yang berlebihan atau di luar tanggung jawabnya. 

Generasi muda di Tiongkok telah menerapkan budaya kerja serupa yang disebut tang ping sejak tahun 2021 lalu. Tang ping atau lying flat dalam Bahasa Inggris adalah sebuah gagasan yang beranggapan bahwa kita nggak perlu terlalu banyak bekerja, punya standar kesuksesan yang muluk-muluk, serta meluangkan banyak waktu untuk bersantai. 

Tren tang ping di kalangan muda-mudi Tiongkok sebagai protes terhadap sistem kerja 996 yang dianggap toxic.

Tang ping merupakan bentuk protes muda-mudi Tiongkok terhadap budaya gila kerja yang dinormalisasi oleh generasi yang lebih tua. Selama ini, Tiongkok dikenal dengan sistem kerja 996 alias bekerja selama 6 hari dalam sepekan dari jam 9 pagi hingga jam 9 malam. Sistem kerja 996 cukup populer, terutama dalam industri IT Tiongkok. Sistem kerja ini sudah cukup lama menuai kritik karena dianggap sebagai bentuk perbudakan modern. 

Baik quiet quitting maupun tang ping nggak cuma bertujuan untuk memprotes budaya gila kerja dan toxic productivity. Budaya kerja secukupnya ini juga dinilai sebagai upaya untuk mencapai work-life balance, sehingga kesehatan fisik maupun psikis para pekerja lebih terjaga. Dengan begitu, kita justru bisa melakukan pekerjaan dengan lebih produktif.

Mengapa Quiet Quitting Ngetren di Kalangan Generasi Muda?

Selain hustle culture, ada sejumlah faktor lain yang bikin quiet quitting ini populer di kalangan pekerja-pekerja muda. Pertama, minimnya apresiasi dari perusahaan terhadap para pekerja. Pernah nggak, sih kamu disuruh lembur melulu tapi nggak dikasih upah lembur? Atau kamu dikasih kerjaan yang bikin beban kerja kamu bertambah terus, tapi gajinya nggak naik-naik? Rendahnya penghargaan perusahaan inilah yang bikin quiet quitting serasa jadi opsi tepat bagi para pekerja muda. 

Kedua, lingkungan kerja yang nggak aman dan nyaman. Harus diakui kalau lingkungan sekitar itu sangat berpengaruh. Nah, kamu mungkin pernah atau sedang mengalami yang namanya terjebak dalam lingkungan kerja yang kurang mengenakkan. Pengennya, sih resign, tapi kamu merasa keputusan tersebut terlalu berisiko, baik untuk citra kamu sebagai pekerja, keberlangsungan karir, maupun situasi finansial kamu saat ini. Karenanya, nggak sedikit pekerja yang melakukan quiet quitting diakibatkan oleh lingkungan kerja yang buruk, di saat resign nggak bisa jadi pilihan.

Lingkungan kerja yang toxic tanpa adanya kesempatan untuk resign bikin quiet quitting jadi alternatif terbaik menurut para pekerja muda.

Ketiga, pandemi COVID-19 menawarkan sudut pandang baru bagi kita dalam memandang dan memaknai hidup. Kerugian finansial yang diakibatkan oleh pandemi bikin banyak perusahaan terpaksa mengurangi jumlah pegawainya. Di sisi lain, beban kerja yang harus ditanggung masih sama. Akibatnya, pegawai yang tersisa pun diberikan tanggung jawab yang terlalu besar, yang nggak sepadan dengan upah yang diberikan, fungsi kerja, maupun kemampuan mereka. 

Selain itu, sistem work from home (WFH) yang banyak diterapkan selama pandemi seringkali justru disalahgunakan oleh perusahaan untuk memperlakukan pegawainya secara semena-mena. Banyak yang beranggapan bekerja dari rumah artinya kita lebih fleksibel dan santai, sehingga terjadi pelanggaran boundaries dalam pekerjaan, seperti memberikan beban kerja yang nggak sesuai pada porsinya, serta menghubungi pegawai di luar jam kerja. 

Kini kita telah memasuki masa pemulihan pasca pandemi COVID-19, dan sebagian besar perusahaan kembali menerapkan sistem work from office (WFO). Hal ini dilihat oleh para pekerja muda sebagai momentum untuk mengubah budaya kerja yang lama, salah satunya dengan menawarkan gagasan quiet quitting

Baca juga: Tips Buat Kamu yang Mulai Kembali Work from Office (WFO)

Apakah Quiet Quitting 100% Positif?

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, memprioritaskan kesehatan fisik dan mental jadi salah satu alasan kenapa quiet quitting populer di kalangan generasi muda. Pertanyaannya, apakah memang quiet quitting sama sekali nggak punya dampak negatif?

Sebab, nggak sedikit yang menganggap quiet quitting pun punya kekurangannya sendiri. Pertama, quiet quitting dikhawatirkan dapat menghambat perkembangan para pekerja. Salah satu ciri khas quiet quitting adalah bekerja secukupnya. Banyak pelaku quiet quitting yang merasa nggak perlu berkontribusi terlalu banyak kepada perusahaan apabila mereka nggak mendapat apresiasi yang sepadan.

Berdasarkan data dari Gallup, keterlibatan pegawai Millennial muda dan Gen Z di Amerika Serikat hanya mencapai 31 persen pada kuartal pertama tahun 2022. Sementara itu di Britania Raya, cuma 9 persen pekerja saja yang aktif berkontribusi terhadap perusahaan dan menunjukkan antusiasme terhadap pekerjaan mereka.

Quiet quitting dikhawatirkan menghambat perkembangan pekerja karena mereka merasa tak perlu berkontribusi terlalu banyak untuk perusahaan.

Minimnya kontribusi dan antusiasme para pelaku quiet quitting ini diperkirakan dapat berdampak buruk terhadap perkembangan karir mereka ke depannya. Potensi yang mereka miliki nggak punya kesempatan untuk diasah dan dikembangkan, dan mereka jadi nggak mau belajar hal-hal baru. Akibatnya, karir mereka bisa jadi stuck di situ-situ aja nantinya. 

Kedua, quiet quitting diperkirakan dapat menyebabkan konflik antarpegawai di tempat kerja. Saat ini, bisa dikatakan bahwa demografi pekerja masih sangat beragam. Bahkan masih banyak masyarakat Generasi X yang notabene sudah paruh baya yang masih aktif di dunia kerja. Perbedaan prinsip dalam bekerja yang sangat kontras ini dapat memicu konflik di tempat kerja. Pekerja yang kontra terhadap quiet quitting akan menganggap para pelakunya sebagai orang yang pemalas, kurang produktif, dan kurang kompeten. Bisa jadi mereka enggan mempromosikan para pelaku quiet quitting karena anggapan-anggapan tersebut.

Perbedaan prinsip dalam bekerja dapat memicu konflik antara penganut quiet quitting dengan pekerja lainnya.

Selain itu, belajar dari pandemi COVID-19, kita tahu bahwa situasi pasar kerja dapat berubah drastis dalam sekejap mata. Ketika perubahan pasar terjadi, para pelaku quiet quitting berisiko jadi orang nomor satu yang di-PHK oleh perusahaan, karena dianggap kurang produktif dan kompeten. 

Baca juga: Susah Cari Kerja? Jangan-jangan Kamu Alami Skills Gap

Hingga kini, sistem atau budaya kerja yang paling baik masih terus jadi bahan perdebatan. Baik hustle culture maupun quiet quitting sama-sama masih jadi topik kontroversial yang menimbulkan pro dan kontra. 

Nah, kalau dari kamu sendiri gimana, nih? Setuju nggak, sih sama quiet quitting? Atau kamu punya pendapat lain? Yuk, share pendapat kamu dan diskusi bareng-bareng di Girls Beyond Circle! Klik di sini untuk gabung, ya!

Comments

(0 comments)

Sister Sites Spotlight

Explore Girls Beyond