Menu
Mental Health

Mengenal Battered Woman Syndrome yang Bikin Korban KDRT “Bucin” sama Pelaku

Belakangan ini, kita digemparkan dengan pemberitaan tentang kasus KDRT yang dilakukan oleh Rizky Billar terhadap Lesti Kejora. Berita ini bikin kaget banyak orang karena selama ini mereka dikenal sebagai couple goals yang selalu tampil serasi dan romantis. Nggak cuma itu aja, baru-baru ini Lesti Kejora menyatakan telah mencabut laporannya ke polisi dan akan menyelesaikan kasusnya di luar jalur hukum. Keputusan ini pun menjadi pro dan kontra di tengah masyarakat. Banyak yang kecewa karena menganggap keputusan Lesti Kejora kurang bijaksana. 

Secara global, 27% perempuan usia 15-49 tahun pernah mengalami intimate partner violence atau kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya sendiri. Di Indonesia, Komnas Perempuan menerima lebih dari 2 ribu kasus KDRT sepanjang tahun 2021 lalu. Namun, sebuah studi di Inggris menunjukkan bahwa korban KDRT membutuhkan 6-7 kali percobaan hingga bisa benar-benar lepas dari pelaku. 

Nah, kira-kira kenapa, tuh kok korban KDRT bisa berkali-kali kembali ke pelaku? Memangnya mereka nggak kapok disakiti berkali-kali? Apa jangan-jangan mereka terlalu bucin?

KDRT merupakan salah satu jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling banyak terjadi di Indonesia.

Kalau kamu masih beranggapan seperti itu, kamu perlu tahu, nih soal battered woman syndrome. Battered woman syndrome atau yang bisa disingkat BWS merupakan sebuah kondisi psikologis ketika seorang korban KDRT berhenti melawan pelakunya. Nggak hanya itu saja, kondisi ini bisa membuat korban meyakini bahwa KDRT yang mereka alami disebabkan oleh kesalahan mereka, dan merasa pantas menerima perlakuan tersebut. Meski banyak ditemui di kalangan perempuan korban KDRT, tetapi BWS juga bisa dialami oleh korban kekerasan dalam pacaran (KDP), kekerasan dalam keluarga, dan sebagainya. 

Gagasan mengenai BWS sendiri dikembangkan oleh seorang ahli psikoterapi Amerika Serikat, Dr. Lenore E. Walker pada akhir tahun 1970an. Berdasarkan hasil penelitiannya, Walker mendapati kondisi yang dialami oleh korban BWS mirip dengan post-traumatic stress disorder (PTSD). PTSD merupakan gangguan kejiwaan yang terjadi setelah seseorang mengalami kejadian traumatis, seperti kecelakaan, bencana alam, kekerasan, dan sebagainya. Karenanya, battered woman syndrome kini diklasifikasikan sebagai subkategori dari PTSD.

Baca juga: Kenalan dengan Imposter Syndrome, Musuh Perempuan dalam Meraih Kesuksesan

Empat Fase Battered Woman Syndrome

Seseorang yang mengidap battered woman syndrome umumnya mengalami sebuah siklus yang terdiri dari 4 fase: denial, guilt, enlightenment, dan responsibility.

Pada fase denial, seseorang akan merasa sulit menerima kenyataan bahwa dirinya telah menjadi korban KDRT, atau pasangannya merupakan pelaku KDRT. Pada tahap ini, pengidap BWS umumnya menyangkal perbuatan pasangannya. Mereka beranggapan bahwa pasangannya hanya kelepasan, dan belum ada kesadaran bahwa KDRT yang mereka alami dapat terulang kembali nantinya. 

Selanjutnya, pada fase guilt, muncul perasaan bersalah dalam diri korban. Fase ini biasa ditandai dengan munculnya pemikiran bahwa KDRT yang korban alami disebabkan oleh dirinya sendiri. Pada fase ini, korban belum memiliki kesadaran bahwa kekerasan yang terjadi adalah sepenuhnya kesalahan dan tanggung jawab pelaku.

Banyak korban KDRT yang menyangkal perbuatan pelaku dan justru menyalahkan dirinya sendiri.

Fase selanjutnya adalah fase enlightenment. Pada tahap ini, korban telah memiliki kesadaran bahwa mereka nggak pantas diperlakukan dengan kasar oleh pasangannya. Mereka sadar bahwa KDRT yang terjadi murni kesalahan pelaku. Mereka juga menyadari bahwa KDRT yang terjadi bukanlah kebetulan belaka, tetapi pelaku memang memiliki kepribadian yang temperamental dan abusive

Fase yang terakhir disebut juga sebagai fase responsibility. Pada fase ini, korban sudah paham kalau pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Karenanya, korban yang telah memasuki fase responsibility biasanya sudah mulai mempertimbangkan dan menentukan langkah apa yang harus ia ambil. Misalnya, melapor ke polisi, bercerai dengan pelaku, berkonsultasi dengan psikolog, dan sebagainya. 

Nah, perlu digarisbawahi keempat fase di atas nggak selalu terjadi secara berurutan, ya. Jadi, bisa aja, nih pengidap battered woman syndrome langsung mengalami fase enlightenment, tapi tiba-tiba masuk ke fase guilt. Selain itu, siklus yang dialami seorang pengidap BWS seringkali sifatnya berulang sebelum mereka benar-benar bisa keluar untuk mencari bantuan atau solusi atas permasalahannya. Itu sebabnya korban KDRT seringkali sulit melepaskan diri dari pelaku.

Korban KDRT, Bertahan karena Bucin?

Banyak korban KDRT yang sulit melepaskan diri dari pelaku karena berbagai macam alasan.

Baca juga: Apa pun Alasannya, Kekerasan dalam Relasi Tidak Boleh Dinormalisasi

Banyak sekali korban KDRT yang butuh waktu sangat lama untuk keluar dari situasi yang membelenggu mereka. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor. Misalnya, ketergantungan ekonomi. Banyak sekali perempuan yang memutuskan untuk nggak bekerja setelah menikah, sehingga perekonomian keluarga sepenuhnya bergantung pada pihak laki-laki. Karenanya, jika perempuan tersebut mengalami KDRT dan ingin bercerai, ia harus memikirkan bagaimana keberlangsungan hidupnya setelahnya. Belum lagi, masih banyak perusahaan yang nggak mau mempekerjakan perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak. 

Dan bicara soal anak, banyak sekali, loh perempuan yang terpaksa bertahan dalam pernikahan yang abusive demi anak-anaknya. Sebab, ada kekhawatiran bahwa tumbuh kembang anak akan terganggu apabila ia tidak dibesarkan dalam keluarga yang utuh. Selain itu, ada juga faktor sosial, seperti masyarakat yang menormalisasi KDRT, memberikan cap buruk pada janda, dan masih banyak lagi.

Pelaku KDRT juga seringkali melakukan manipulasi emosional terhadap korban. Misalnya, setelah melakukan kekerasan, pelaku menghujani korban dengan hadiah atau gestur yang menunjukkan kasih sayang. Ada juga pelaku yang beralasan bahwa tindak kekerasan yang ia lakukan adalah bentuk rasa sayangnya terhadap korban. Mungkin kamu pernah melihat pelaku kekerasan yang membela diri dengan alasan,”Aku seperti ini karena aku peduli dan sayang sama kamu.” Hal-hal inilah yang kemudian bikin korban berpikir dua kali, dan nggak sedikit yang jadi mengambil kesimpulan,”Ya sudahlah, mungkin kemarin dia memang cuma kelepasan.” Akhirnya, korban memutuskan untuk memberi kesempatan kedua serta menaruh harapan bahwa pelaku akan berubah jadi lebih baik nantinya. 

Pelaku KDRT sering melakukan manipulasi emosi agar korban memaklumi perilakunya atau merasa terancam ketika ingin melepaskan diri dan mencari bantuan.

Pelaku KDRT juga seringkali mengancam korban apabila mereka hendak melawan, melapor, atau memisahkan diri darinya. Kalau kamu pernah menonton film “Posesif” (2017) yang dibintangi oleh Adipati Dolken dan Putri Marino, kamu mungkin ingat adegan ketika Lala hendak memutuskan hubungannya dengan Yudhis. Yudhis langsung bersikap histeris dan menyakiti dirinya sendiri, sehingga Lala mengurungkan niatnya tersebut. Nah, trik ini sering banget dipakai oleh pelaku kekerasan untuk memanipulasi korban yang hendak melepaskan diri. Selain menyakiti diri sendiri, pelaku KDRT juga sering memberikan ancaman bunuh diri, maupun ancaman menyakiti korban dan orang-orang terdekatnya. 

Baca juga: 5 Film Indonesia yang Bahas Kesehatan Mental

Maka dari itu, bisa jadi korban KDRT yang kamu anggap bucin sebenarnya masih ada dalam siklus battered woman syndrome. Mungkin saja mereka masih berada dalam fase denial, sehingga terus menyangkal perbuatan pelaku. Atau mungkin mereka sedang mengalami fase guilt, sehingga malah menyalahkan dirinya sendiri. Bahkan bisa saja sebenarnya mereka sudah punya kesadaran bahwa mereka nggak pantas menerima perlakuan buruk, tapi mereka belum bisa lepas dari hubungan yang toxic karena alasan ekonomi, pengasuhan anak, hingga kekhawatiran apabila pelaku merealisasikan ancamannya. 

Dampak Battered Woman Syndrome terhadap Korban KDRT

KDRT dan battered woman syndrome memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap kondisi mental korban.

Tentu saja battered woman syndrome dapat memiliki dampak yang sangat fatal terhadap kondisi mental korban. BWS dapat berkembang menjadi gangguan kejiwaan lainnya yang nggak kalah serius, seperti depresi, kecemasan (anxiety), atau PTSD yang merupakan parent category dari BWS itu sendiri. 

Stres berat yang diakibatkan oleh BWS juga dapat membuat korban terkena penyakit atau gangguan fisik. Misalnya, tekanan darah tinggi (hipertensi), stroke, serangan jantung, sakit kepala yang sangat parah, dan masih banyak lagi.

BWS membuat korbannya memiliki kepercayaan diri yang sangat rendah. Korban merasa bahwa dirinya tidak lagi berharga, tidak berdaya, bahkan kehilangan motivasi hidup. Hal ini dapat memengaruhi hubungan korban dengan orang lain ke depannya. Contohnya, korban sulit membuka diri kepada orang baru karena merasa dirinya tidak berhak dicintai atau sulit percaya pada orang lain. 

BWS juga dapat membuat korban akhirnya menjadi pelaku kekerasan pada orang lain. Nggak sedikit pengidap KDRT yang melampiaskan traumanya kepada anak-anaknya, baik secara fisik maupun verbal. Hal ini tentu dapat mengganggu hubungan antara orang tua dengan anak, melukai mental anak, serta memelihara siklus kekerasan dalam keluarga. 

Baca juga: Bahaya Dampak Kekerasan Seksual: Dari Fisik Hingga Mental

Banyak korban KDRT yang melampiaskan traumanya kepada anak-anaknya.

Ke Mana Korban Harus Mencari Bantuan?

Korban KDRT yang mengidap battered woman syndrome tentunya membutuhkan penanganan psikis oleh psikolog maupun psikiater. Penanganan yang diberikan tentunya akan berbeda-beda dan disesuaikan dengan kondisi atau kebutuhan korban. Beberapa korban bisa pulih hanya dengan terapi, tetapi ada pula yang membutuhkan obat. Ada pun korban yang membutuhkan pendampingan intensif di rumah sakit jiwa. 

Selain pemulihan trauma, kita juga perlu memastikan bahwa korban telah sepenuhnya aman dari jangkauan pelaku. Apabila korban tidak punya tempat untuk berlindung setelah melarikan diri dari pelaku, kita bisa mengarahkan korban untuk mencari perlindungan di rumah aman. Rumah aman dilengkapi dengan petugas yang memastikan bahwa kebutuhan korban terpenuhi, serta keamanan korban dari pelaku. 

Baca juga: 5 Rekomendasi Layanan Psikolog Mudah dan Murah di Indonesia

Korban KDRT membutuhkan pendampingan psikologis agar bisa pulih dari traumanya.

Jika korban ingin melaporkan kasus KDRT yang dialaminya, kita bisa mengarahkan korban untuk mencari bantuan hukum. Pastikan bahwa bantuan hukum yang didapatkan korban telah memiliki perspektif gender yang baik. Beberapa lembaga bantuan hukum yang terpercaya dalam penanganan kasus kekerasan adalah LBH APIK, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG), dan Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM)

Selain itu, pastikan bahwa korban memiliki support system yang kuat, aman, dan tidak judgemental. Sebab, salah satu permasalahan yang sering dihadapi oleh korban KDRT adalah stigma dari lingkungan sekitar. Nggak jarang stigma tersebut justru datang dari orang-orang terdekat, seperti keluarga atau teman. Karenanya, support system pun seringkali justru kita temukan bukan dari orang-orang yang paling dekat, melainkan dari orang asing. 

Saat ini, sudah banyak komunitas support system yang dibuat khusus untuk menaungi para korban kekerasan. Mereka yang berasal dari berbagai daerah dan latar belakang berkumpul menjadi satu dan saling menguatkan atas dasar perasaan senasib sebagai korban. Beberapa komunitas support group yang bisa diakses korban, yaitu Perempuan Tanpa Stigma (PENTAS), #SaveJanda, dan Lentera Sintas Indonesia

Support system sangat penting bagi korban KDRT.

Korban juga bisa mencari lebih banyak lagi layanan bantuan bagi korban kekerasan melalui website carilayanan.com. Fakta uniknya, Cari Layanan bisa diakses melalui link palsu, yaitu belipotbunga.com. Kalau kamu mengetik link tersebut di mesin pencarian, kamu akan langsung diarahkan ke website Cari Layanan. Link palsu tersebut dibuat untuk korban kekerasan yang gadget-nya diawasi atau disadap oleh pelaku, sehingga menyulitkan mereka untuk mencari bantuan lewat internet atau media sosial. 

Korban KDRT yang kesulitan melapor juga bisa menggunakan gestur di bawah ini, loh. Gestur ini dibuat oleh Canadian Women’s Foundation untuk memudahkan korban kekerasan yang diisolasi dan diawasi oleh pelaku, sehingga tidak dapat mengakses bantuan dari luar. 

Source: Koalisi Ruang Publik Aman

Melepaskan diri dari belenggu kekerasan memang tidak mudah. Jadi, yuk kita kurangi sikap judgemental dan ciptakan ruang aman buat para korban KDRT dan kekerasan lainnya. Stay safe and be kind, girls

Baca juga: Nggak Cuma Fella dan Sarah, 5 Tokoh Perempuan dalam Film Indonesia Ini Nggak Kalah Keren!

Kamu butuh safe space buat sharing seputar isu relationship dan gender lainnya? Yuk, gabung dengan Girls Beyond Circle! Klik di sini untuk join, ya!

No Comments

    Leave a Reply