Kamu pastinya familiar banget sama Cinderella. Ia adalah princess kedua yang diperkenalkan oleh Disney melalui sebuah film animasi pada tahun 1950. Alkisah, Cinderella adalah seorang gadis miskin yang hidup bersama ibu dan dua saudari tiri yang selalu bersikap kasar padanya. Suatu hari, putra mahkota kerajaan, Prince Charming mengadakan pesta untuk mencari calon istri. Berkat bantuan Ibu Peri, Cinderella dapat menghadiri pesta tersebut dan mencuri hati Prince Charming. Keduanya pun menikah dan hidup bahagia selamanya.
Film “Cinderella” ala Disney menceritakan bagaimana nasib Cinderella berubah drastis setelah bertemu dengan Prince Charming. Kehadiran Prince Charming seakan-akan menyelamatkan Cinderella dari penderitaannya karena hidup di bawah tekanan ibu dan dua saudari tirinya. Ternyata, Cinderella nggak cuma ada di film atau cerita fiksi saja, tetapi juga di dunia nyata.
Pada tahun 1955, penulis asal Inggris, Agatha Christie mencetuskan istilah “Cinderella complex” dalam karyanya, “Hickory Dickory Dock“. Istilah tersebut dipopulerkan oleh terapis Amerika Serikat, Collete Dowling pada tahun 1981. Dowling menerbitkan buku “The Cinderella Complex: Women’s Hidden Fear of Independence” yang membahas tentang ketergantungan perempuan terhadap sosok laki-laki.
Baca juga: “I Can Fix Him”: Sindrom Pahlawan ala “F4 Thailand” yang Bikin Kamu Terjebak Toxic Relationship
Apa Itu Cinderella Complex?

Sindrom Cinderella complex merujuk pada sebuah kondisi psikologis yang menyebabkan perempuan memiliki ketergantungan terhadap laki-laki. Perempuan-perempuan ini merasa akan bahagia apabila telah bertemu dengan “Prince Charming” yang menyelamatkan diri mereka dari segala permasalahan hidupnya.
Di dunia psikologis, sindrom Cinderella complex memang belum dikategorikan sebagai gangguan mental. Namun, Cinderella complex yang parah dapat berkembang menjadi sebuah gangguan, seperti Dependent Personality Disorder (DPD). DPD adalah gangguan kejiwaan yang membuat pengidapnya selalu bergantung kepada orang lain.
Penyebab dan Gejala Cinderella Complex

Sindrom Cinderella complex umumnya disebabkan oleh pola asuh dan lingkungan sekitar. Dalam budaya patriarki, perempuan ditempatkan pada posisi yang lebih inferior daripada laki-laki. Perempuan dididik untuk bergantung pada laki-laki dalam berbagai aspek.
Pemikiran ini nggak jarang dibawa oleh orang tua dalam pola asuhnya terhadap anak perempuan. Orang tua terlalu memanjakan serta bersikap protektif terhadap anak perempuannya. Mereka terbiasa dilayani, dituruti, bahkan nggak diperbolehkan untuk menghadapi masalahnya sendiri. Akibatnya, mereka tumbuh menjadi pribadi yang sangat bergantung pada orang lain.
Ciri-ciri seseorang yang mengalami sindrom Cinderella complex, antara lain:
- Mengidentifikasi femininitas dengan sifat lemah lembut, penurut, dan inferior.
- Mendambakan pasangan dengan kualitas maskulin tradisional yang dapat menyelamatkan, menjaga, dan menyediakan segala kebutuhannya.
- Menyukai peran gender tradisional, yaitu laki-laki sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai pengurus rumah tangga.
- Mempercantik penampilan hanya supaya disukai laki-laki.
- Sulit membuat keputusan sendiri dan mudah mengikuti pendapat orang lain.
- Tidak bisa atau takut apabila harus hidup sendirian.
- Kesulitan melakukan pekerjaan yang berat dan menyangkut kepentingan banyak orang.
- Merasa dirinya membutuhkan perhatian ekstra dari orang lain.
- Merasa dirinya diperlakukan buruk ketika bertemu dengan seseorang yang nggak sesuai ekspektasi.
Seseorang yang mengalami sindrom Cinderella complex bahkan memiliki rasa takut atau benci terhadap konsep perempuan yang mandiri. Menurutnya, kemandirian akan mengurangi esensi femininitas seorang perempuan. Ketika sudah memiliki pasangan, mereka menjadi sangat bergantung dalam segala hal. Bahkan dalam pembuatan keputusan yang sepele dan nggak ada sangkut pautnya dengan orang lain pun, mereka cenderung mengandalkan pasangannya.
Dampak Negatif Cinderella Complex

Sindrom Cinderella complex dapat mengganggu hubungan pengidapnya dengan orang-orang di sekitar mereka. Mereka mungkin akan dianggap merepotkan karena sangat bergantung pada orang lain dan nggak bisa bikin keputusan sendiri. Nggak jarang, stigma “manja” atau “nggak bisa ngapa-ngapain” dilekatkan pada pengidap Cinderella complex.
Seorang pengidap Cinderella complex seringkali memiliki ekspektasi yang muluk-muluk terhadap orang lain. Ketika mereka bertemu dengan orang yang cuek, misalnya, mereka akan merasa diperlakukan buruk oleh orang tersebut. Sebab, pengidap Cinderella complex berharap semua orang memperhatikan, memanjakan, dan melayani dirinya.
Cinderella complex juga bikin kamu rentan terjebak dalam toxic relationship. Ketergantungan berlebihan terhadap pasangan, serta ketakutan untuk hidup mandiri bikin kamu rela bertahan bersama pelaku kekerasan. Pelaku pun merasa bisa memperlakukanmu seenaknya karena tahu kamu nggak bakal pernah kabur atau melawan.
Baca juga: Mengenal Battered Woman Syndrome yang Bikin Korban KDRT “Bucin” sama Pelaku
Mencegah Cinderella Complex

Cinderella complex memang bukanlah sesuatu yang mudah untuk diatasi. Semakin dewasa usia pengidapnya, maka semakin sulit pula mengatasinya. Sebab, kemunculan sindrom ini merupakan efek dari pola asuh sejak dini.
Berikut adalah beberapa cara mencegah serta mengatasi terjadinya Cinderella complex pada perempuan:
Mendidik Anak Secara Adil, Setara, dan Inklusif

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, Cinderella complex disebabkan oleh pola asuh dan lingkungan yang bias gender. Karenanya, kemunculan sindrom ini dapat dicegah dengan mendidik anak dengan prinsip-prinsip kesetaraan.
Ajarilah anak bahwa setiap manusia setara terlepas dari jenis kelamin maupun identitas gendernya. Katakanlah kepada anak bahwa perempuan bisa feminin tanpa bersikap manja atau inferior. Begitu pula laki-laki bisa maskulin tanpa berperilaku kasar serta superior.
Baca juga: Menghapus Stereotip Perempuan Sempurna
Mengajarkan bahwa Value Perempuan Tidak Bergantung pada Laki-laki

Perempuan dengan Cinderella complex nggak hanya berharap laki-laki menyelamatkan serta melindungi dirinya. Mereka seringkali berdandan hanya untuk memuaskan dan menarik perhatian laki-laki.
Maka dari itu, kita perlu menekankan bahwa value seorang perempuan tidak bergantung pada pendapat orang lain. Kitalah yang bisa menentukan value kita sendiri, melalui penerimaan dan apresiasi terhadap diri sendiri.
Membiasakan Perempuan untuk Memiliki Kemandirian

Pengidap Cinderella complex memiliki ketakutan terhadap kemandirian. Mereka bahkan menganggap kemandirian dapat mengurangi nilai-nilai feminin dalam diri seorang perempuan. Padahal, pada dasarnya kemandirian perlu dimiliki oleh setiap orang tanpa terkecuali. Sebab, setiap orang akan dihadapkan dengan situasi-situasi di mana mereka harus melakukan berbagai hal serta membuat keputusan sendiri.
Kemunculan Cinderella complex dapat dicegah dengan menumbuhkan kemandirian dalam diri perempuan. Biarkan mereka belajar menghadapi masalah, memenuhi kebutuhan, serta membuat keputusan sendiri. Selain melatih kemandirian, hal ini juga dapat mengasah kemampuan mereka untuk berpikir kritis dan tangguh dalam menghadapi situasi sulit.
Baca juga: Ada Apa dengan Anak Perempuan Tertua? Kenalan dengan Eldest Daughter Syndrome
Mencari Bantuan Profesional

Jika kamu mengidap sindrom Cinderella complex pada tahap yang sudah sangat mengganggu, maka sebaiknya kamu berkonsultasi pada psikolog. Sebelumnya, telah disebutkan bahwa Cinderella complex yang dibiarkan semakin parah dapat berkembang menjadi gangguan kejiwaan, seperti Dependent Personality Disorder (DPD). Kamu juga menjadi lebih rentan terjebak dalam hubungan toxic.
Psikolog akan membantu kamu untuk mencari akar permasalahan kamu, serta memulihkanmu dari sindrom Cinderella complex yang kamu alami.
Baca juga: Hindari Self Diagnosis, Segera ke Psikolog atau Psikiater Kalau Kamu Alami 10 Gejala Ini
Pada dasarnya, setiap perempuan punya pilihan atas hidupnya sendiri. Kamu bisa menjadi siapa pun yang kamu mau tanpa perlu kehilangan otoritas atas diri dan pilihan hidupmu. Let’s empower each other to be a better version of us!
Pengen ngobrol lebih banyak seputar women empowerment dan mental health? Girls Beyond Circle is the right place for you! Yuk, klik di sini untuk bergabung!
No Comments