“Potret Wulan Guritno Setelah Menjanda, Tetap Menawan Meski Tak Lagi Muda”
“Intip Pose Seksi Atlet Bulutangkis Australia, Bikin Ngilu!”
“Kronologi Siswi SMA Cantik yang Diperkosa Tukang Ojek”
Girls, sering nggak, sih kamu melihat judul-judul berita seperti itu bertebaran di dunia maya? Apa yang kamu pikirkan waktu membacanya? Biasa saja, atau merasa nggak nyaman? Sekilas, contoh judul berita di atas tampak biasa saja. Toh, kalau diklik, isi beritanya sesuai sama judulnya, kok. Jadi, bagian mana yang salah?
Mengenal Objektifikasi Perempuan

Contoh judul berita yang ada di atas sangat kental dengan objektifikasi perempuan. Objektifikasi perempuan adalah penempatan tubuh perempuan secara seksual. Artinya, perempuan dianggap sebagai objek yang boleh dipandang, dinilai, bahkan dipakai sesuka hati, tanpa perlu memperhatikan pendapat si pemilik tubuh.
Objektifikasi seksual umumnya terjadi dalam pemikiran maupun perbuatan yang memberikan perhatian khusus terhadap tubuh atau bagian tubuh seorang perempuan. Namun, objektifikasi juga dapat terjadi ketika perempuan tersebut melakukan atau mengucapkan hal-hal yang dianggap berkaitan dengan seksualitas. Teori objektifikasi yang dikemukakan oleh Fredrickson dan Roberts (1997) menyebutkan bahwa perempuan mengalami objektifikasi seksual serta diperlakukan sebagai objek yang dapat dinilai dan dimanfaatkan oleh orang lain.
Objektifikasi perempuan dapat terjadi di mana saja, termasuk media. Contohnya, judul berita sensasional seperti yang telah disebutkan di atas. Objektifikasi perempuan di media juga bisa ditemui dalam fenomena akun kampus cantik. Akun tersebut adalah akun media sosial yang digunakan untuk mengkurasi foto serta informasi pribadi mahasiswi yang dianggap cantik. Selain mengobjektifikasi, akun kampus cantik kerap melakukan pelanggaran privasi karena mencantumkan data pribadi seseorang tanpa seizin mereka.
Mengapa Objektifikasi Perempuan Bermasalah?

Pertanyaannya, apa yang salah dari objektifikasi perempuan? Emangnya nggak boleh, ya kita memuji penampilan fisik perempuan?
Secara umum, objektifikasi terhadap perempuan adalah bentuk dari seksisme atau kesenjangan gender. Budaya patriarki menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan mengalami pembatasan ruang gerak, kehilangan otoritas atas tubuh dan keputusan hidupnya, serta dipandang sebagai objek semata alih-alih manusia yang utuh dan berakal budi. Nilai seorang perempuan seringkali hanya diukur dari penampilan fisik dan daya tarik seksualnya, sehingga objektifikasi kerap dijadikan sebuah pengalihan dari isu tertentu yang tengah dibahas.
Misalnya, judul berita “Intip Pose Seksi Atlet Bulutangkis Australia, Bikin Ngilu!” Alih-alih membahas prestasi sang atlet, jurnalis maupun masyarakat malah fokus kepada penampilan fisiknya saja. Padahal, pose seksi atlet tersebut sama sekali nggak ada kaitannya dengan kemampuan bulutangkisnya.

Pengalihan isu dalam bentuk objektifikasi seksual ini dapat menjadi masalah yang serius, terutama dalam pemberitaan mengenai kasus kekerasan terhadap perempuan, seperti pemerkosaan atau pembunuhan. Contohnya, judul berita “Kronologi Siswi SMA Cantik yang Diperkosa Tukang Ojek”. Penggunaan kata “cantik” di judul tersebut sangat nggak relevan dengan isi beritanya. Bahkan, kata “cantik” di sini seolah hendak memberi pemakluman terhadap tindakan pelaku.
Pernah nggak, sih kamu mendengar komentar,”Wah, pantas dia dilecehkan, soalnya dia memang cantik banget. Cowok mana yang tahan lihat cewek secantik itu?” terhadap kasus kekerasan seksual? Objektifikasi dengan menggunakan kata “cantik”, “seksi”, dan sebagainya kerap digunakan untuk melakukan victim blaming terhadap korban kekerasan seksual. Padahal, seharusnya kita fokus untuk mendorong adanya tindakan tegas terhadap pelaku kekerasan seksual.
Dampak Objektifikasi Perempuan

Objektifikasi nggak cuma berdampak pada persepsi masyarakat secara umum mengenai perempuan, tetapi juga memiliki imbas negatif di kalangan para perempuan itu sendiri. Internalisasi anggapan bahwa nilai seorang perempuan hanya ditentukan oleh fisik dan daya tarik seksualnya membuat perempuan merasa perlu untuk bersaing secara kurang sehat. Perempuan saling berkompetisi dalam hal penampilan, memandang perempuan lain yang dianggap lebih menarik sebagai sebuah ancaman, serta menunjukkan sikap agresif terhadap mereka.
Objektifikasi perempuan juga dapat berkembang menjadi objektifikasi terhadap diri sendiri, sehingga perempuan lebih mementingkan penampilan fisiknya daripada aspek-aspek lain dalam dirinya, seperti kepribadian, prestasi, bakat, dan sebagainya. Ketidakpuasan terhadap penampilan ini lantas berimplikasi pada obsesi untuk terus mempercantik diri sendiri yang seringkali ditempuh dengan cara-cara yang kurang tepat. Sebut saja diet ekstrem, pemakaian kosmetik atau obat-obatan dengan substansi berbahaya, atau menjalani prosedur yang nggak terjamin secara medis.
Dari segi psikologis, ketidakpuasan terhadap penampilan diri sendiri juga dapat memengaruhi kesehatan mental seseorang. Kondisi ini dapat berkembang menjadi berbagai gangguan kejiwaan serius, seperti depresi, kecemasan, gangguan makan, hingga keinginan bunuh diri.
Melawan Objektifikasi Perempuan
Objektifikasi perempuan merupakan produk budaya patriarki yang nggak boleh kita lestarikan. Jika kamu ingin mewujudkan dunia yang lebih inklusif dan setara, maka kamu bisa mulai dari melawan objektifikasi terhadap perempuan. Berikut adalah beberapa hal yang bisa kamu lakukan:
Melakukan Kampanye Self Love/Body Positivity

Objektifikasi perempuan sangat erat kaitannya dengan standar kecantikan. Perempuan yang dianggap memenuhi standar akan diagung-agungkan, sedangkan yang lain dibandingkan bahkan direndahkan.
Karenanya, kamu bisa melawan objektifikasi perempuan dengan memperbanyak narasi mengenai self love serta body positivity. Kamu bisa memanfaatkan media sosial untuk mengampanyekan self love atau body positivity. Misalnya, membuat konten berupa artikel, microblog, video, dan sebagainya.
Kampanye self love dan body positivity juga bisa kamu lakukan melalui diskusi, baik formal maupun informal. Kamu bisa membicarakannya secara virtual dalam webinar, Twitter Space, Discord Voice Chat, dan sebagainya. Selain itu, kamu bisa berdiskusi secara langsung ketika sedang berkumpul dengan keluarga, teman, atau komunitas.
Menegur Media atau Jurnalis yang Melakukan Objektifikasi

Media massa sering melakukan objektifikasi untuk menarik perhatian audiens. Apalagi di era digital ini, kualitas sebuah berita seringkali nggak cuma dinilai dari substansinya, melainkan traffic atau engagement-nya. Nggak heran, banyak jurnalis yang membuat berita sensasional dengan judul-judul clickbait.
Maka dari itu, kita perlu untuk bersikap tegas terhadap media yang masih melakukan objektifikasi. Media massa merupakan salah satu sarana edukasi masyarakat. Bahkan, media massa memiliki kekuatan untuk membentuk opini publik. Jika kita membiarkan mereka terus mengobjektifikasi perempuan, maka semakin banyak orang yang menganggap hal tersebut wajar.
Menunjukkan Sikap Asertif

Seringkali objektifikasi perempuan disampaikan melalui candaan, sehingga kerap diabaikan begitu saja. Adapun anggapan “boys will be boys” yang sering digunakan untuk menormalisasi laki-laki yang melakukan objektifikasi.
Maka dari itu, kamu perlu menunjukkan sikap asertif untuk melawan objektifikasi. Jangan ragu untuk menegur ketika menyaksikan atau menjadi korban objektifikasi. Katakan kepada pelaku bahwa tindakannya itu melecehkan dan merendahkan perempuan. Menunjukkan sikap asertif dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa objektifikasi bukanlah sesuatu yang patut dibenarkan.
Melawan objektifikasi perempuan memang bukan hal mudah. Hasilnya pun nggak selalu instan. Namun, kita nggak boleh lelah untuk terus berusaha demi mewujudkan dunia yang lebih inklusif dan setara. Mungkin saja hasil dari upayamu melawan diskriminasi gender akan dinikmati oleh generasi yang akan datang nanti. Jadi, jangan pernah merasa usahamu sia-sia, ya!
Kalau kamu butuh ruang aman untuk sharing seputar isu gender dan women empowerment, yuk gabung ke Girls Beyond Circle! Klik di sini untuk join, ya!
No Comments