Rekomendasi Bacaan Non-Fiksi Seputar Feminisme yang Ringan tapi Berbobot
“Feminisme, tuh berat banget ya pembahasannya? Kayanya aku nggak bakal nyampe, deh kalau disuruh belajar feminisme!”
Girls, sering nggak, sih mendengar komentar di atas? Atau mungkin kamu sendiri pernah melontarkannya? Hingga kini, masih banyak orang-termasuk perempuan-yang menganggap feminisme sebagai topik diskusi yang “berat” dan eksklusif untuk kelompok tertentu saja. Hmm… apa benar begitu, girls?
Salah satu inti perjuangan feminisme adalah inklusivitas. Tentunya, feminisme harus menjadi sebuah gerakan yang inklusif dan merangkul semua orang tanpa pandang bulu. Upaya mewujudkan inklusivitas salah satunya dilakukan dengan cara memastikan ideologi feminisme dapat menyentuh semua lapisan masyarakat. Saat ini, banyak banget bacaan feminis yang dibawakan dengan bahasa yang sederhana, sehingga mudah dipahami oleh siapa saja.
Nah, kalau kamu masih bingung mencari bacaan feminis yang simple tapi berbobot, yuk simak rekomendasi buku feminisme di bawah ini!
Baca juga: 6 Rekomendasi Buku Bertema Women Empowerment yang Wajib Kamu Baca
“Feminisme untuk Semua Orang”, bell hooks
“Cuma perempuan yang boleh jadi feminis! Feminisme hanya menguntungkan perempuan, tapi menindas laki-laki! Ngakunya feminis, tapi kok rasis?” Meskipun feminisme telah diperjuangkan sejak abad ke-18, tetapi hingga kini ideologi dan gerakannya masih sering diperdebatkan, bahkan di kalangan feminis sendiri. Sebab, nggak sekali atau dua kali saja kita menemui pegiat atau diskursus feminis yang terkesan eksklusif untuk golongan tertentu saja.
Dalam bukunya yang berjudul “Feminisme untuk Semua Orang”, bell hooks hendak menyampaikan bahwa feminisme harus menjadi gerakan yang inklusif bagi siapa saja. Ia mengemukakan analisisnya terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi feminisme kontemporer, seperti hak reproduksi, rasisme, kesenjangan kelas, dan sebagainya. Sesuai judulnya, “Feminisme untuk Semua Orang” dibawakan dengan gaya bahasa yang santai, sehingga cocok dibaca oleh siapa saja.
“Kita Semua Harus Menjadi Feminis”, Chimamanda Ngozi Adichie
Kalau kesetaraan gender adalah bagian dari HAM, mengapa masih ada orang yang menentang feminisme? Bukankah itu artinya mereka menentang pemenuhan HAM? Lalu, apa arti feminisme yang sesungguhnya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab oleh Chimamanda Ngozi Adichie dalam bukunya yang berjudul “Kita Semua Harus Menjadi Feminis”.
Adichie memaparkan bagaimana kesenjangan gender nggak cuma merugikan perempuan, tetapi juga laki-laki. Ia juga menyoroti soal seksualitas perempuan yang kerap dijadikan sebagai alat politik. Akibatnya, diskriminasi gender seringkali menjadi sebuah masalah yang bersifat sistematis. Dalam buku ini, Adichie mengajak agar gerakan feminisme nggak hanya berhenti di pembaca, tetapi juga diajarkan kepada generasi selanjutnya.
Baca juga: Perempuan Tangguh Afrika Nggak Cuma Ada di Film “Wakanda Forever”
“Membicarakan Feminisme”, Nadya Karima Melati
Sejak awal kelahirannya di abad ke-18, ideologi feminisme terus berkembang dan mengalami perubahan. Kemunculan gelombang feminisme yang baru di setiap era nggak hanya menuai perdebatan dari masyarakat awam, tetapi di kalangan feminis itu sendiri. Mulai dari feminisme liberal hingga kontemporer, semuanya saling berdialog dan mengkritik.
Nadya Karima Melati menuangkan pemikirannya dalam buku “Membicarakan Feminisme”. Buku ini merupakan kumpulan esai mengenai perkembangan feminisme di Indonesia. Ia juga menggunakan sudut pandang sejarah untuk membedah keterkaitan antara satu ideologi feminisme dengan yang lainnya, serta bagaimana pengaruhnya terhadap permasalahan feminisme kontemporer saat ini.
“Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan”, Ester Lianawati
Hidup sebagai perempuan di tengah masyarakat patriarkal memang serba salah. Rasanya apa pun yang kita lakukan akan selalu menuai kritik dari orang lain. Bahkan sekalipun kita tunduk pada apa yang dianggap benar oleh masyarakat, belum tentu kita luput dari cibiran.
Buku “Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan” mengajak pembaca untuk lebih mengenali diri sendiri. Melalui perpaduan sudut pandang psikologi dan feminisme, penulis meyakinkan pembaca bahwa setiap perempuan memiliki kekuatan luar biasa dalam dirinya. Hanya saja, banyak yang belum menyadari kekuatannya tersebut akibat terkungkung budaya patriarki.
Baca juga: 5 Film Indonesia yang Bahas Kesehatan Mental
“Feminisme untuk 99%”, Cinzia Arruzza, Tithi Bhattacharya, & Nancy Fraser
Feminisme liberal sudah cukup lama dikritik oleh gelombang feminisme lainnya. Sebab, gelombang feminisme pertama tersebut dianggap nggak inklusif alias hanya menguntungkan 1% perempuan saja, yaitu perempuan-perempuan yang punya privilege. Lantas, bagaimana nasib 99% perempuan lainnya?
Memang benar bahwa perempuan harus ditempatkan setara dengan laki-laki. Faktanya, hanya perempuan-perempuan ber-privilege saja yang berhasil mencapai posisi tersebut. Setelahnya, nggak ada jaminan bahwa mereka memiliki empati untuk memberdayakan perempuan yang underprivileged serta masih belum setara. Buku “Feminisme untuk 99%” terdiri dari 11 tesis yang dikemukakan oleh tiga orang penulis sekaligus. Ketiganya menyatakan bahwa feminisme harus anti-kapitalis, anti-rasis, anti-imperialis, internasionalis, serta ekososialis.
“Sister Fillah, You’ll Never Be Alone”, Kalis Mardiasih
Kenapa, ya banyak banget buku-buku tentang perempuan yang ditulis oleh laki-laki? Udah gitu isinya selalu saja menghakimi perempuan. Perempuan harus begini, harus begitu, kalau nggak nanti masuk neraka!
Kalis Mardiasih menghadirkan sudut pandang lain melalui bukunya yang berjudul “Sister Fillah, You’ll Never Be Alone”. Melalui buku ini, Kalis mengajak pembaca untuk memahami pengalaman perempuan dari kacamata perempuan. Buku ini menguak berbagai permasalahan yang dialami perempuan yang alih-alih mendapatkan solusi, justru dijadikan sebagai bahan untuk menghakimi mereka. Misalnya, korban pernikahan dini, ibu tunggal yang harus banting tulang menafkahi anak, hingga buruh yang nggak diupah dengan layak.
Baca juga: Tak Kalah Seru dari “Sri Asih”, Ini Film Action dengan Tokoh Utama Perempuan yang Wajib Kamu Tonton
“Good Boys Doing Feminism”, Nur Hasyim
Emangnya laki-laki nggak boleh jadi feminis, ya? Apakah feminisme cuma urusannya perempuan saja? Pertanyaan-pertanyaan tersebut seringkali muncul di kalangan masyarakat awam. Melalui buku “Good Boys Doing Feminism”, Nur Hasyim memberikan jawabannya.
“Good Boys Doing Feminism” menekankan bahwa perjuangan kesetaraan gender adalah urusan semua orang. Sebab, pada dasarnya bukan hanya perempuan yang dirugikan oleh patriarki, tetapi laki-laki juga. Misalnya, laki-laki dianggap lemah ketika menangis. Sebaliknya, ketika laki-laki melampiaskan emosi dengan tindak kekerasan, mereka justru dibenarkan dan dianggap maskulin. Karenanya, buku “Good Boys Doing Feminism” mengajak laki-laki untuk ambil bagian dalam upaya melawan patriarki.
“Demi Keset dan Rapet”, Angela Frenzia
Sejak dahulu kala, masyarakat seolah memiliki obsesi terhadap vagina yang sempit dan wangi. Kita mengenal berbagai metode atau produk yang diklaim dapat menjaga lubang vagina tetap sempit meski sudah melakukan hubungan seks dan melahirkan berkali-kali. Bahkan kita memiliki mindset bahwa vagina yang ideal adalah vagina yang beraroma manis seperti buah-buahan atau harum seperti bunga.
Berkat kemajuan zaman, kini dunia medis telah mengenal prosedur rejuvenasi vagina untuk mengembalikan “keremajaan” vagina. Di satu sisi, perempuan yang melakukan rejuvenasi vagina atas keinginannya sendiri adalah perempuan yang sadar akan otoritas tubuhnya. Namun, seringkali mereka mengambil keputusan tersebut karena dihantui oleh obsesi budaya patriarki terhadap vagina yang ideal. Melalui buku “Demi Keset dan Rapet”, Angela Frenzia membahas mengenai kuasa vagina di hadapan ilmu kedokteran dan budaya patriarki.
Baca juga: Lagu K-Pop Bertema Feminisme yang Super Empowering
“Membunuh Hantu-hantu Patriarki”, Dea Safira
Indonesia telah memerdekakan diri dari penjajah sejak tahun 1945. Di saat yang hampir bersamaan, seluruh dunia beramai-ramai menyerukan narasi anti-penjajahan. Puluhan tahun setelahnya, kita seringkali bertanya-tanya, apakah benar bahwa kita sudah merdeka?
Nyatanya, perempuan masih hidup di bawah tekanan budaya patriarki. Setiap tindakan perempuan diawasi, dinilai, dan dihakimi sesuai dengan standar moral yang misoginis dan hanya menguntungkan laki-laki. Melalui buku ini, Dea Safira mengajak pembaca untuk menantang penjajahan patriarki. Kita nggak cuma didorong untuk melawan, tetapi juga membunuh “hantu-hantu patriarki”. Buku “Membunuh Hantu-hantu Patriarki” terdiri dari 38 esai yang ringan, tetapi bergizi bagi kamu yang sedang mencari bacaan seputar kesetaraan gender.
“Mitos Inferioritas Perempuan”, Evelyn Reed
Katanya, feminisme itu melawan kodrat perempuan yang sudah dari sananya ada di bawah laki-laki. Apakah benar seperti itu? Anggapan ini dipatahkan oleh Evelyn Reed dalam bukunya yang berjudul “Mitos Inferioritas Perempuan”.
Dalam buku ini, Reed mengupas tuntas asal-usul mitos inferioritas perempuan dari sudut pandang sejarah dan ekonomi. Ia juga berbicara tentang relasi kuat antara patriarki dan kapitalisme. Jika kamu ingin belajar feminisme dengan perspektif antropologi, maka buku “Mitos Inferioritas Perempuan” ini wajib banget kamu baca.
Baca juga: Fenomena Objektifikasi Perempuan dalam Media
Itulah sejumlah buku non-fiksi seputar feminisme yang direkomendasikan untukmu. Semoga setelah ini nggak ada lagi anggapan bahwa feminisme adalah ilmu yang eksklusif, ya! Sebab, feminisme untuk semua orang dan kita semua bisa menjadi feminis! Selamat membaca, girls!
Kalau kamu pengen sharing lebih banyak seputar rekomendasi bacaan dan feminisme, yuk bergabung dengan Girls Beyond Circle! Klik di sini untuk join, ya!