gagal menampilkan data

ic-gb
detail-thumb

Anak Perempuan Pertama Sering Depresi, Kenali 3 Penyebab Eldest Daughter Syndrome

Written by Zefanya Pardede

Orang berkata bahwa anak sulung biasanya memikul beban yang lebih besar ketimbang saudara lainnya dan nggak bisa sebebas adik-adiknya. Hal ini benar dalam banyak keluarga. Mereka harus menjadi contoh yang baik bagi adik, membantu orang tua, menjadi orang pertama yang akan menafkahi orang tua dan adik ketika dewasa, serta dituntut untuk sempurna.

Stres banget nggak, sih?

Akan tetapi, hal ini lebih membebankan bagi anak perempuan pertama, loh. Anak perempuan tertua juga harus menghadapi masalah gender yang dibalut dengan tuntutan-tuntutan dari keluarga. Mereka akhirnya merasa tertekan, depresi, dan mudah cemas. Ini dikenal sebagai eldest daughter syndrome.

Banyak faktor yang dapat menyebabkan eldest daughter syndrome. Untuk memahami lebih lanjut, mari simak tiga alasan utama di balik kondisi ini!

Baca juga: Siap Membangun Healthy Relationship? Kenali Pertanda Kamu Punya Secure Attachment Style!

Dipaksa untuk Dewasa Duluan

Ilustrasi anak perempuan pertama yang sedih saat kecil. (FOTO/Ketut Subiyanto via Pexels)

Masyarakat berharap banyak dari perempuan dalam hal rumah tangga dan hal-hal domestik lainnya. Melansir Healthline, anak perempuan pertama dikondisikan untuk menjadi dewasa sejak kecil karena pola asuh orang tua yang terus-terusan memberi tanggung jawab yang tidak sepadan dengan tingkat kedewasaan mereka.

Orang tua juga memilih untuk mendewasakan anak perempuannya terlebih dulu dibandingkan laki-laki karena anggapan bahwa perempuan lebih “pengertian” dan “penyayang”.

Gambarannya adalah:

Ketika seorang anak dipaksa untuk bersikap seperti remaja berusia 19 tahun di usia mereka yang baru 9 tahun, ia akan kehilangan masa kecil yang seharusnya menjadi haknya. Berbagai hal direnggut oleh orang tua karena ini, seperti kebahagiaan anak di masa kecil. Anak perempuan pertama tidak diberi kesempatan untuk bertingkah sebagaimana anak kecil seharusnya bertingkah. Tidak adil, bukan?

Baca juga: Rekomendasi Buku yang Bahas Trauma Masa Kecil

Parentification

Ilustrasi parentification. (FOTO/Ahmed Akacha via Pexels)

Parentification terjadi ketika seorang anak diharapkan untuk berperan seperti orang tua bagi anggota-anggota keluarga. Dalam hal ini, seorang anak dituntut untuk memberi dukungan emosional, mengasuh, mengatur, dan bertanggung jawab atas kelangsungan adik-adiknya ataupun orang tuanya. Tanggung jawab yang seharusnya dipegang oleh orang tua akhirnya dilimpahkan ke anak pertama.

Bagi anak perempuan pertama, hal ini sudah mendarah daging. Secara umum, perempuan dipandang sebagai pengasuh atau figur domestik. Ini menjadi salah satu faktor yang mendorong orang tua untuk meng-orangtua-kan anak-anak perempuannya. Misalnya, para ibu yang berharap agar putri sulung mereka dapat mengambil peran sebagai ibu ketika mereka tidak dapat mengawasi anak-anak. 

Baca juga: Kepo Berlebihan Berujung Malapetaka: Kenalan dengan Doomscrolling

Menjadi Tikus Percobaan Orang Tua

Ilustrasi anak perempuan yang kecewa. (FOTO/Monstera via Pexels)

Kelahiran anak pertama juga melahirkan orang tua baru. Dengan demikian, seseorang yang terlahir sebagai anak tertua menjadi trial and error atau tikus percobaan parenting.  Ahli terapi keluarga Dara Winley, Ph.D. menyatakan bahwa anak-anak sulung, terutama mereka yang perempuan, mengalami tekanan psikologis akibat ini.

Ketika anak kedua dan anak-anak selanjutnya lahir, kemampuan parenting orang tua sudah lebih matang. Ini juga salah satu penyebab mengapa anak yang paling kecil menjadi anak yang paling disayang dalam kebanyakan kasus.

Sebenarnya, wajar bila orang tua baru melakukan kesalahan karena kebingungan cara menerapkan parenting dengan benar. Namun, ada beberapa kasus di mana orang tua menerapkan kekerasan kepada anaknya, baik verbal maupun non-verbal, lantaran kehilangan kesabaran atau tidak tahu cara mendisiplin anak. Perlu diingat bahwa kesalahan-kesalahan parenting ini mampu membawa dampak negatif kepada anak hingga dewasa.

Baca juga: Sulit Lepas dari Toxic Relationship, Bisa Jadi Kamu Terjebak Trauma Bonding

Apa yang Harus Dilakukan Bila Kamu Korban Eldest Daughter Syndrome?

Menghadapi tekanan dan dampak psikologis yang datang dengan menjadi anak perempuan tertua tidak mudah, apalagi ketika efeknya berkelanjutan. Berikut beberapa tips yang bisa kamu lakukan untuk memulihkan diri jika kamu merasa memiliki eldest daughter syndrome.

Pahami Bahwa Kamu Tidak Bersalah

Gail Gross, Ph.D., Ed.D. mengatakan bahwa orang tua menjadi pelaku sepenuhnya yang memiliki kontribusi terbesar dalam pembentukan pikiran, karakter, dan kesehatan mental anak semasa kecil. Pahami bahwa kamu mampu memilih bagaimana masa kecilmu berlangsung karena tanggung jawab tersebut ada di tangan orang tua. Pahami bahwa orang tuamu gagal menyediakan masa pertumbuhan yang baik bagimu.

Terapi Psikologis

Mengunjungi ahli terapi profesional adalah langkah terbaik dalam memulihkan diri. Seorang terapis bisa membimbingmu langkah demi langkah untuk mencari solusi, memaafkan dan melepaskan apa yang terjadi padamu, serta memberimu bantuan untuk terus bergerak maju. Cek rekomendasi layanan psikolog di sini.

Memutus Raintai Eldest Daughter Syndrome

Memutus rantai situasi ini merupakan cara paling tepat untuk memastikan bahwa hal ini tidak akan terulang pada generasi anak perempuan selanjutnya. Jika kamu berniat untuk mengasuh anak di masa depan, lakukan pendekatan parenting yang penuh kepedulian dan pengertian untuk anak. Dengan terputusnya siklus ini, kamu juga bisa perlahan menemukan kedamaian diri.

Baca juga: Mengenal Jenis-jenis Luka Inner Child, Penyebab, dan Cara Menyembuhkannya

Mau curhat soal tantangan menjadi anak pertama? Segera bergabung ke Girls Beyond Circle! Klik di sini untuk bergabung.