Penulis: Afifah Alifia Alfiantie
Editor: Caroline Siane
Menyambut International Women’s Day, isu kesetaraan gender rasanya menjadi topik yang nggak pernah luput untuk dibahas dari tahun ke tahun. Selain karena adanya ketimpangan antar gender, tidak meratanya akses terhadap resources dan opportunity bagi perempuan di beberapa belahan dunia, terutama di negara-negara berkembang, dinilai menjadi beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya realisasi kesetaraan gender.
Nggak hanya itu, Prof. Laura Kray dari UC Berkeley berpendapat bahwa mindset mengenai stereotip gender roles di masyarakat juga memengaruhi lambatnya progres perealisasian kesetaraan gender. Dalam risetnya, ia menemukan bahwa dibandingkan dengan wanita, lebih banyak pria yang memercayai terdapat perbedaan peran antar gender yang bersifat mutlak dan tidak dapat saling digantikan di luar peranan biologis. Prof. Laura Kray menyebutkan bahwa ‘fixed mindset‘ terhadap gender roles inilah yang membuat banyak pria berusaha keras mencari pembenaran atas sistem dan norma dalam masyarakat yang timpang terhadap wanita.
Elizabeth Kelan dalam artikelnya di Harvard Business Review juga menyebutkan adanya fenomena ‘gender fatigue’. Seseorang yang mengalami ‘gender fatigue’ meyakini bahwa permasalahan kesetaraan gender benar adanya secara umum namun menolak untuk mengakui eksistensi permasalahan tersebut dalam lingkungan terdekatnya.
Dari kedua penjelasan tersebut, hal yang dapat kita garis bawahi adalah keengganan untuk membuka diri dan pikiran dalam menerima dan menghayati isu mengenai gender dan juga sifat abai terhadap isu-isu tersebut menjadi dua alasan utama ketimpangan gender atau gender gap masih persisten dalam kehidupan masyarakat global.
Apa yang dimaksud dengan ‘gender gap’?
Gender gap adalah kondisi di mana satu gender dinilai lebih unggul dari gender lainnya sehingga menciptakan sebuah kesenjangan di masyarakat. Hal ini tentu menyebabkan timbulnya ketidakadilan bahkan kerugian terhadap wanita sebagai gender yang seringkali masih dinilai inferior dari pria.
Mirisnya, gender gap nggak hanya terjadi di satu sektor kehidupan saja. Wanita masih belum bisa meraih kesetaraan hampir di semua sektor kehidupan mulai dari ekonomi, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan sektor-sektor kehidupan lainnya akibat dari adanya gender gap dalam sektor-sektor kehidupan tersebut.
Contoh gender gap dalam kehidupan bermasyarakat
Sektor Ekonomi

Fenomena ‘pink tax‘ merupakan salah satu isu yang timbul akibat adanya gender gap dalam sektor ekonomi. ‘pink tax‘ adalah fenomena dimana produk-produk consumer goods yang ditargetkan untuk wanita umumnya memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan produk identikal yang ditargetkan untuk pria.
Sekilas, fenomena ini memang terlihat sepele. Namun sebuah studi yang dilaksanakan oleh JP Morgan menyatakan bahwa mark-up harga pada produk yang ditargetkan untuk wanita membuat wanita kehilangan sekitar 1300 USD setiap tahunnya. Nggak cuma sampai di situ, studi ini juga memprediksikan nilai investasi dari jumlah tersebut selama periode 40 tahun bisa mencapai 160.000 USD atau setara dengan 2 milyar rupiah.
Sekarang udah lebih kebayang, ‘kan, girls, bagaimana fenomena-fenomena gender gap yang dianggap sepele ini bisa berdampak begitu besar bagi wanita?
Sektor Pendidikan
Di sektor pendidikan sendiri, Indonesia sudah menunjukkan adanya kemajuan signifikan dalam mengatasi gender gap. Gender Parity Index (GPI) adalah indeks yang digunakan untuk mengukur rasio jumlah siswa wanita dibandingkan dengan pria di suatu lokasi dan waktu tertentu. Jika sebelumnya di tahun 1970 GPI murid usia 7-12 tahun berada pada 0.8 (mengindikasikan adanya ketimpangan jumlah siswi dibandingkan dengan siswa), di tahun 2019 angka tersebut berhasil ditingkatkan menjadi 1.0 (jumlah siswi dan siswa seimbang).
Namun, pada kelompok murid dengan usia lebih tua, ketimpangan jumlah siswi dan siswa masih dapat dirasakan. Salah satu penyebabnya adalah masih maraknya pernikahan di bawah umur di Indonesia. Siswi yang dinikahkan biasanya akan mengundurkan diri dari institusi pendidikannya.
Sektor Kesehatan
Tingginya angka pernikahan di bawah umur juga meningkatkan risiko mortalitas ibu dan bayi. Hal ini tentunya berkaitan erat dengan kesehatan reproduktif wanita di Indonesia. Wanita yang belum menikah juga kerap menerima sentimen-sentimen negatif dari masyarakat ketika berkunjung ke layanan-layanan kesehatan reproduksi.
Nggak hanya di Indonesia, dalam lingkup global, 5 juta wanita, remaja, dana anak-anak meninggal akibat terjangkit penyakit-penyakit yang bersifat preventable atau dapat dicegah. Tingkat vaksinasi COVID-19 pada wanita juga lebih rendah dibandingkan dengan pria.
Upaya eliminasi gender gap di Indonesia
Walaupun begitu, Indonesia juga nggak serta merta diam saja dalam menghadapi gender gap yang masih banyak terjadi di lingkungan sosial masyarakatnya.
Salah satu progress yang menunjukkan titik terang terhadap upaya dalam mengatasi gender gap adalah keputusan presiden Joko Widodo yang menunjuk sembilan menteri perempuan untuk kabinet kerjanya. Jumlah tersebut membuat Indonesia menjadi negara dengan jumlah menteri perempuan yang lebih banyak dibandingkan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, dan United Kingdom.
Sejak tahun 2000, Indonesia juga sudah menerapkan sistem ‘gender mainstreaming‘ di mana seluruh instansi diharuskan untuk mengintegrasikan pengalaman dan concern baik pria maupun wanita dalam proses perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi kebijakan pemerintahan yang berlaku (INPRES No.9/2000).
Di tahun 2006, menteri keuangan juga mengeluarkan dokumen pedoman pengimplementasian Gender Equality and Diversity (GED).
Kebanyakan usaha yang dilakukan dalam melawan ketidaksetaraan gender memang berfokus pada hasil, seperti meningkatnya jumlah wanita yang dapat mengenyam pendidikan, turunnya angka mortalitas persalinan, dan lain-lain. Hal tersebut memang tak bisa dipungkiri merupakan berita baik dan menunjukkan kemajuan yang berarti dalam upaya individu, komunitas, dan negara untuk mengeliminasi gender inequality.
Namun, lebih daripada itu, jika kita bercermin dari isu gender gap yang kita bahas, dapat kita lihat bahwa permasalahan terberat yang harus diselesaikan dalam isu ketidaksetaraan gender berakar secara sistemik dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Oleh karena itu, perbaikan pola pikir terhadap wanita dan peranannya dalam masyarakat harus dapat ditumbuhkan dalam pribadi masing-masing.
Permasalahan tersebut sudah pasti bukan perkara mudah, namun itu bukan berarti kesetaraan gender merupakan tujuan yang tidak dapat diraih. Ciptakan growth mindset mengenai isu ini pada lingkungan sosial kita dan jangan gentar melawan fenomena gender gap dalam keseharian kita semua. Karena pada akhirnya, kesetaraan gender bukan hanya isu perempuan, melainkan semua gender.
Kabar baiknya, menurut laporan World Economic Forum tahun 2022 kemarin, Indonesia mendapatkan skor ketimpangan gender sebesar 0,697 dan menduduki peringkat 92 dari 146 negara, 9 peringkat lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Semoga kedepannya selalu lebih baik lagi ya, girls!
No Comments