Penulis: Tara Reysa
Editor: Caroline Siane
“Representasi di dunia, seperti dunia itu sendiri, adalah buatan laki-laki,” tulis Simone de Beauvoir dalam bukunya, The Second Sex. Meskipun ditulis sebelum tahun 1949, kutipan tersebut masih relevan hingga kini, ketika perempuan tetap dianggap sebagai manusia kelas dua. Bahkan, di tengah kemajuan teknologi seperti sekarang.
Artificial Intelligence (AI) menjadi salah satu bukti diskriminasi terhadap perempuan. Meskipun digadang-gadang sebagai mesin super canggih yang menyamai kecerdasan manusia, AI tak luput dari seksisme dan bias gender. Misalnya, ketika menerjemahkan kata ‘nurse’ di mesin penerjemah, akan banyak muncul kata kunci yang berhubungan dengan perempuan, seperti kalimat, “She is nursing her son through his illness” dalam kamus Merriam-Webster. Sementara itu, ketika menerjemahkan kata ‘doctor’, kita akan menemukan lebih banyak kata ganti laki-laki.
Bias gender ini akan semakin merugikan perempuan ketika AI digunakan dalam pengambilan keputusan. Hal serupa pernah terjadi di perusahaan teknologi Amazon yang menggunakan AI dalam proses rekrutmen. Hasilnya, AI hanya menganalisis resume milik pelamar laki-laki, karena menganggap bahwa pekerja laki-laki lebih dibutuhkan di bidang teknologi dibanding perempuan. Baik manusia itu sendiri, maupun teknologi yang mereka hasilkan, masih terus membuktikan kata-kata Beauvoir tentang perempuan sebagai the second sex.
AI yang Bersifat Diskriminatif
Dalam prosesnya, AI melalui machine learning membutuhkan algoritma untuk menganalisis data dalam jumlah yang besar. Algoritma pun bekerja dengan mempelajari data-data tersebut, hingga bisa bergerak dengan sendirinya untuk memudahkan berbagai kegiatan. Kelengkapan data yang diberikan dan bagaimana AI dilatih pun menentukan ada atau tidaknya bias. Jika data yang dianalisis oleh algoritma AI tidak berperspektif gender, maka hasilnya adalah AI yang diskriminatif terhadap identitas gender tertentu.
Baca juga: Gender Gap: Ketimpangan Sistemik yang Menyulitkan Upaya Realisasi Kesetaraan Gender
Bias Data
Di sinilah masalah yang lebih besar akan kita temukan, yaitu bias data. Dalam buku Invisible Women: Exposing Data Bias in a World Designed for Men, Caroline Criado Perez memaparkan adanya kesenjangan data di berbagai sektor yang mengeksklusi perempuan. Salah satunya ada pada desain jok, sabuk pengaman, dan airbag mobil. Desain tersebut dibuat berdasarkan data rekayasa kecelakaan mobil yang menggunakan tubuh laki-laki sebagai contoh. Sayangnya, sampel perempuan absen dari data yang digunakan. Desain jok mobil pun menjadi kurang cocok bagi tubuh perempuan hamil. Akibatnya, perempuan 47% lebih rentan kecelakaan dibanding laki-laki.
Jika data yang bias gender terus diproduksi, maka AI juga akan terus mengeksklusi perempuan. Bias gender pun akan selalu terjadi, tak hanya dilakukan oleh manusia, juga oleh produk-produk teknologinya.
Sebab lain dari bias gender pada teknologi adalah karena kurangnya representasi perempuan di bidang tersebut. Dalam sebuah podcast milik McKinsey, software engineer Dr. Muneera Bano menyatakan bahwa hanya ada 20% perempuan di bidang teknis di perusahaan-perusahaan machine learning besar di dunia. Peneliti AI pun masih didominasi laki-laki, dengan hanya 12% peneliti tercatat sebagai perempuan. Secara total, menurut data World Economic Forum, perempuan ahli AI hanya berjumlah 22%.
Dengan perbedaan angka yang mencolok antara laki-laki dan perempuan, representasi perempuan pun perlu didorong secara maksimal. Terlebih, mengingat bahwa algoritma dan data juga dibangun oleh manusia, sehingga segala bias yang ada pun tak lepas dari tanggung jawab manusia. Berbagai inisiatif perlu dilakukan untuk mendorong perempuan di bidang science, technology, engineering and mathematics (STEM) melalui keadilan atau equity. Tidak hanya untuk menempuh pendidikan di bidang tersebut, tapi juga untuk memenuhi peran-peran vital dalam pembangunan algoritma. Kesempatan ini harus dibuka untuk lebih banyak perempuan.
Selain itu, perempuan yang telah masuk dalam sistem juga harus memiliki perspektif gender yang interseksional, dengan memperhitungkan keragaman ras, identitas gender, agama, dan orientasi seksual yang dimiliki manusia. Perspektif tersebut dibutuhkan untuk membangun ekosistem teknologi yang lebih inklusif dan menghentikan bias-bias selain gender.
There is still a long way to go. Untuk mencapai kesetaraan, perempuan perlu kesempatan untuk memaksimalkan potensinya yang telah lama dibelenggu budaya patriarki. But one day, we’ll make sure we’re no longer ‘the second sex’.
No Comments