Sebagai pekerjaan yang umum dan lekat dengan masyarakat luas, retail merupakan jenis bisnis yang berfokus pada kegiatan jual-beli produk. Meskipun secara teknis pekerjaan ini terkesan sederhana, bekerja di retail memiliki dampak-dampak yang berbahaya, salah satunya terhadap mental.
Emotional labor adalah tenaga mental dan emosi yang dibutuhkan untuk memenuhi kriteria dan tanggung jawab pekerjaan. Hal ini biasa ditemui di sektor pelayanan atau pekerjaan-pekerjaan yang banyak berhadapan dengan publik, seperti customer service, pramusaji, psikologis, dan pekerja retail.
Sebagai pekerja retail, Angelina Wibowo menghabiskan kesehariannya di toko butik tempat ia bekerja dan melayani setiap pelanggan yang masuk. Gadis usia 21 tahun ini juga tidak terhindar dari tantangan-tantangan yang dihadapi saat bekerja di retail, termasuk dampak emotional labor.
Angelina membagikan pengalamannya sebagai seseorang yang sudah bekerja di retail selama hampir setahun.
Baca juga: Venezia Guishella: Tantangan Seorang Seniman Modern di Tengah Negara yang Minim Apresiasi Seni
Kebanyakan Pekerja Retail Memiliki Lebih dari Satu Pekerjaan
Karena harus menjalani studinya jauh dari rumah, Angelina tinggal seorang diri tanpa orang tuanya. Ini membuat dirinya harus bisa menopang biaya hidup dan kebutuhan sehari-hari. Namun, bekerja di satu tempat saja tidak cukup. Angelina memutuskan untuk bekerja di dua tempat yang berbeda sebagai pekerja retail.
Angelina bukan pekerja full time, melainkan pekerja shift yang datang sesuai dengan jadwal yang ditetapkan setiap minggu sebelum Angelina bekerja. Ia menjelaskan bahwa bekerja full time belum bisa menjadi opsi yang tepat lantaran masih harus menjalani kuliah.
“Aku belum mampu full time soalnya harus sambil kuliah,” katanya.
Setiap toko memberi ketentuan shift yang berbeda. Ada yang memperbolehkan pekerjanya untuk datang tujuh hari seminggu dan ada pula yang tidak. Ketentuan jumlah shift yang berbeda-beda di setiap tempat menjadi salah satu faktor yang mendorong Angelina untuk bekerja di dua tempat.
Upah pekerja retail rata-rata dihitung per jam. Di toko pertama, durasi setiap shift yang diberikan tidak bisa mencukupi kebutuhan Angelina. Alhasil, ia memilih untuk bekerja di toko lain untuk mendapat penghasilan yang sesuai.
“Di toko pertama, shift aku nggak cukup untuk cover pengeluaran aku. Akhirnya aku mengambil shift di toko lain supaya penghasilan lebih cukup,” jelasnya.
Angelina bercerita bahwa rekan-rekan kerjanya juga melakukan hal yang serupa. Upah pekerja retail memang kecil dan sering kali tidak bisa mencukupi biaya hidup, apalagi bagi mahasiswa yang juga harus mengeluarkan uang untuk keperluan akademis.
“Biaya hidup lumayan mahal, kerja di satu tempat saja nggak cukup,” kata Angelina.
Baca juga: Danya Tjokroardi: Aktivis Muda Pembangun Media Digital We The Genesis di Usia 14 Tahun
Pekerja Retail Menghadapi Tantangan Fisik
Bekerja di sektor retail menuntut tenaga fisik yang besar. Para pekerja harus berdiri berjam-jam menjaga produk. Mereka juga diharuskan untuk mengangkat barang dan berpindah dari gudang di belakang dan pajangan produk.
“Berdiri 8 jam tanpa duduk pasti bakal bikin badan sakit. Belum lagi kalau harus bolak-balik ke ruang belakang untuk mengambil barang dan harus pindah-pindah barang display,” ucap Angelina.
Tidak semua pekerja memiliki kemampuan fisik yang sama. Ini menjadi salah satu kendala yang harus dihadapi oleh orang-orang yang bekerja di retail.
“Tubuh aku secara fisik dari dulu nggak sekuat orang lain. Aku lebih mudah sekali lelah dan sakit, tapi tetap harus lanjut bekerja,” katanya.
Angelina hanya bisa beristirahat sekali-dua kali dalam satu shift. Istirahat yang diberikan pun sekitar 20–30 menit, mungkin 1 jam kalau beruntung. Terkadang, ia tidak beristirahat sama sekali.
“Kadang nggak istirahat. Kalau toko lagi padat dan ramai, aku nggak bisa istirahat.”
Baca juga: Ona: Berani Mendalami Passion Cosplay Meski Mendapat Ancaman Sosial
Emotional Labor yang Membahayakan Mental Pekerja Retail
Emotional labor menjadi isu besar di lingkungan retail. Retail merupakan pekerjaan yang banyak berhadapan dengan pelanggan secara langsung. Ini mewajibkan para pekerja untuk bersikap ramah, bahagia, dan murah senyum kepada pelanggan.
Penelitian oleh Prof. Dr. Dieter Zapf dari Goethe University Frankfurt menunjukkan bahwa kebahagiaan atau senyum yang dipaksa secara terus-menerus dapat menimbulkan stres. Stres ini bisa berujung pada depresi dan penyakit fisik lainnya, seperti penyakit jantung, penyakit lambung, dan masalah pernapasan.
Zapf menyebut hal ini sebagai ‘fake happiness’ yang berarti kebahagiaan palsu.
“Bayangkan, sudah berdiri dan berjalan selama berjam-jam, kepala sakit dan secara mental juga capek banget, tapi tetap harus senyum dan terlihat happy di depan pelanggan,” kata Angelina.
Meskipun dihadapkan dengan pelanggan yang kasar dan tidak sopan, pekerja retail tetap dipaksa untuk selalu tersenyum dan melayani pelanggan dengan bahagia. Angelina pernah mendapat perlakuan tidak baik dari seorang pelanggan. Sayangnya, ia hanya bisa tersenyum dan meminta maaf karena tidak bisa berbuat banyak.
“Aku pernah dibilang nggak becus oleh customer karena aku kurang paham mengenai suatu produk,” cerita Angelina. “Padahal itu baru hari pertama aku bekerja di sana.”
Emotional labor tidak hanya timbul dari kebahagiaan palsu tersebut. Ada juga dampak negatif terhadap mental akibat rutinitas, lingkungan, dan suasana kerja retail.
“Toko-toko itu rata-rata nggak besar. Dan kita harus berdiri berjam-berjam di ruangan tertutup yang kecil. Setiap hari pemandangannya itu-itu saja, cuma display produk dan jendela,” jelasnya.
Ruangan yang tertutup biasanya minim udara segar; hanya udara daur ulang yang diproduksi oleh AC. Studi menunjukkan bahwa ini memengaruhi otak, konsentrasi, dan kondisi mental seorang individu.
“Pengen banget cari udara segar sebenarnya kalau lagi kerja. Kepala suka sakit. Tapi nggak bisa soalnya harus stay di dalam toko selama kerja,” tutur Angelina.
Baca juga: Bella Fedora: Lika-liku Sebagai Model Hingga Jadi Finalis Puteri Indonesia Jawa Tengah
Mengatasi Tekanan Pekerjaan Retail
Angelina menjelaskan bahwa banyak cara untuk mengatasi stres saat bekerja. Baginya, me time menjadi solusi utama.
“Me time di akhir pekan atau kalau ada waktu luang. Biasanya aku gunakan untuk diri sendiri atau bersama teman-teman,” katanya.
Angelina berpendapat bahwa sebenarnya tidak ada cara yang dapat “memulihkan” emotional labor pekerjaan retail. Emotional labor akan berdampak pada berbagai aspek dan meninggalkan jejak-jejak yang signifikan bagi tubuh dan pikiran.
Pekerja retail hanya akan sepenuhnya pulih dari emotional labor tersebut ketika mereka berhenti bekerja di retail.
“Nggak mungkin bisa 100% sembuh dari hal ini. Mungkin ada kalanya kita nggak terlalu stres seperti biasanya, lebih santai. Tapi bukan berarti benar-benar hilang. Satu-satunya cara adalah quit,” kata Angelina.
Hal ini tidak semudah yang dibicarakan. Melepas pekerjaan berarti melepas sumber penghasilan. Sebagai seorang mahasiswa, sumber penghasilan lain tidak cukup bagi dirinya.
“Sebagian perusahaan nggak memberi gaji ke intern. Mau part time di perusahaan juga nggak bisa soalnya belum memungkinkan bagiku. Retail benar-benar satu-satunya pekerjaan yang bisa aku lakukan untuk sekarang ini,” ucapnya.
Namun, ini bukan berarti Angelina akan bekerja di retail untuk waktu yang lama.
“Semester depan, aku sudah bisa magang dan mencari pekerjaan lain. Harapannya dalam beberapa bulan, aku bisa stop bekerja di retail,” tambahnya.
Tidak ada pekerjaan yang tanpa tantangan dan masalah, terutama pekerjaan retail. Menjadi pekerja retail berarti menjadi subjek emotional labor yang membahayakan fisik dan mental. Semoga kelangsung pekerja retail di seluruh dunia dapat lebih diperhatikan. Mari kita hargai pekerjaan mereka!
Penasaran soal emotional labor di profesi lainnya? Yuk, cari tahu di Girls Beyond Circle! Klik di sini untuk bergabung.
No Comments