gagal menampilkan data

Article

Amanda Lestari: Kabur ke Korea Seorang Diri untuk Kuliah dan Lepas dari Diskriminasi Gender Keluarga

Written by Zefanya Pardede

Misogini merupakan sikap dan ideologi yang merendahkan dan menyimpan prasangka yang mendarah daging terhadap perempuan. Meskipun zaman sudah berubah dan Indonesia semakin maju, misogini masih banyak ditemukan di tengah masyarakat dalam berbagai bentuk.

Dilahirkan dalam keluarga yang sangat tradisional, Amanda Lestari dipaksa untuk tumbuh dikeliling sikap-sikap anggota keluarganya yang masih memandang perempuan sebelah mata. Gadis usia 20 tahun ini diperlakukan jauh berbeda dari saudara laki-lakinya.

Parahnya, ia dilarang untuk melanjutkan pendidikan setelah SMA. Akan tetapi, ia tidak ingin nasibnya sama seperti saudara perempuan lainnya yang datang dari keluarganya.

Berawal dari keinginan untuk lanjutnya, mendapat beasiswa penuh, hingga akhirnya “kabur” dari rumah ke Korea Selatan sendiri, Amanda menceritakan perjuangannya untuk mempertahankan hak gender melalui pendidikan.

Dibesarkan Tanpa Rasa Hormat

Amanda saat kecil.

Budaya, tradisi, agama, dan bahasa keluarganya serba tradisional. Saat kecil, fakta ini tidak menjadi masalah baginya. Namun semakin ia bertumbuh, ia menyadari bahwa tidak hanya tradisi keluarganya yang tradisional, tetapi juga ideologi yang dianut.

“Keluargaku sangat, sangat, sangat tradisional. Konservatif juga. Waktu kecil aku belum paham, tapi lama-lama aku sadar dan mulai nggak suka,” kata Amanda.

Amanda adalah putri kedua dari tiga bersaudara. Ia dan kakaknya perempuan. Sementara itu, adiknya laki-laki. 

Ditambah dengan pandangan keluarganya yang konservatif, perlakuan orang tua Amanda terhadap adiknya berbeda karena adanya perbedaan gender. 

“Aku dan kakakku nggak pernah dikasih akses ke hal-hal sama dengan adikku, padahal kita semua berhak mendapat hal yang sama. Adikku jadi favorit orang tuaku,” ceritanya.

Meskipun tinggal di bawah atap yang sama, Amanda merasa bahwa ia dan kakak perempuannya berada di dunia yang berbeda dari adiknya. Orang tuanya memperlakukan adik Amanda dengan kasih sayang, rasa hormat, dan kebanggaan yang tidak terima oleh dirinya dan kakaknya.

“Adikku sekolah di private school, aku dan Kakak sekolah di sekolah yang kecil. Kami pun masuk sekolahnya lebih telat dibandingkan adikku,” jelasnya. “Aku pun nggak boleh punya teman. Kalau mau ketemu sahabat, harus diam-diam.”

Namun, sikap misoginis ini tidak sampai situ saja. Amanda dan kakaknya hanya diperbolehkan untuk bersekolah sampai SMA.

“Aku dan Kakak nggak boleh kuliah. Setelah SMA, pokoknya kami berdua wajib cari suami. Padahal, orang tuaku sudah mulai menyiapkan uang untuk adikku kuliah di Jerman. Dan masih SMP, loh!” ucap Amanda.

Selama bertahun-tahun, Amanda diperlakukan dengan tidak adil––tanpa dihargai dan dipandang baik.

Ingin Mengubah Nasib

Potret Amanda.

Perbedaan usia Amanda dan kakaknya jauh. Setelah lulus SMA pada 2015, kakaknya dijodohkan dengan seorang laki-laki berusia 28 tahun oleh orang tuanya. Keduanya langsung menikah setelah kakak Amanda menerima ijazah SMA.

“Aku ingat kakakku menangis semalaman sebelum pernikahannya. Kami sekamar waktu itu. Aku lihatnya nggak kuat, sakit hati aku,” bicara Amanda.

Amanda mengakui bahwa ketakutan akan masa depan mulai merenggutnya di hari itu. Ia tahu bahwa nasibnya tidak akan beda jauh dari kakaknya suatu hari.

“Kakak sekarang punya anak dan jujur, hidupnya nggak sebahagia itu. Setiap hari, Kakak jaga anak di rumah dan nggak boleh ke mana-mana. Dilarang kerja, dilarang belajar, dilarang have fun,” tuturnya. “Kakak kayak burung di dalam sangkar sekarang.”

Ia pun memberanikan diri untuk bernegosiasi dengan orang tuanya tentang masa depannya setelah lulus SMA.

“Aku mencoba untuk membuat perjanjian dengan orang tuaku. Aku minta mereka coba bolehin aku kuliah untuk setahun, kalau aku nggak menunjukkan prestasi yang signifikan, mereka boleh keluarin aku dan menjodohkan aku dengan siapa pun,” jelas Amanda.

Baginya, hal ini berbahaya. Amanda bukan seseorang dengan sejarah akademik yang bagus. Ia berkata bahwa nilai-nilainya di sekolah hanya mampu mencapai garis rata-rata. Peluangnya untuk gagal di kuliah sangat besar. Jika ia gagal, ia harus menikah dengan orang yang tidak dikenal.

“Awalnya orang tuaku menentang keras-keras. Mereka berkata bahwa kuliah nggak guna. Mereka bilang, “Ngapain cewek sekolah? Ujung-ujungnya juga ngurus anak!’” katanya.

Setelah berbulan-bulan bernegosiasi dan berargumen, orang tuanya pun mengizinkan Amanda untuk berkuliah selama setahun. Meskipun Amanda ditempatkan di sebuah universitas kecil yang akreditasinya tidak tinggi, Amanda sangat bahagia atas kesempatan tersebut.

“Daripada nggak kuliah sama sekali, ‘kan?” katanya.

Mendapat Beasiswa dan Melarikan Diri ke Korea

Amanda di Korea Selatan.

Selama setahun, Amanda berusaha dengan keras. Ia berjuang untuk mempertahankan nilai yang maksimal dan mendapatkan peringkat tertinggi. Meskipun kala itu Amanda hanyalah mahasiswa semester pertama, ia mengikuti berbagai perlombaan dan kegiatan.

“Aku lumayan ambis waktu itu. Aku sadar bahwa setiap hal yang nggak aku lakuin adalah kesempatan kebebasan yang terlewatkan,” kata Amanda.

Upayanya membuahkan hasil yang sesuai ekspektasi. Ia menjadi mahasiswa dengan nilai tertinggi di angkatannya dan memenangkan tiga medali emas dalam kurang dari setahun.

Di akhir semester keduanya, Amanda dipertemukan dengan kesempatan emas. Seorang dosen menawarkan Amanda untuk mengikuti sebuah program beasiswa kuliah ke Korea Selatan. Rupanya, nilai dan prestasi yang dimilikinya sudah cukup untuk membuktikan bahwa ia mampu untuk menjadi kandidat penerima beasiswa.

Tanpa berpikir panjang, ia menerima tawaran tersebut.

“Aku pikir, ini nggak bisa dilewatkan. Pokoknya yang di otak aku adalah: Kalau aku berhasil kuliah di luar, aku bisa makin membuktikan kemampuanku ke orang tua,” jelasnya. “Ya, sama biar bisa makin jauh dari orang tua, sih.”

Amanda bergegas untuk persiapan tes bahasa, wawancara, esai, dan pendaftaran program tersebut. Akhirnya, ia berhasil mendapat beasiswa tersebut.

Amanda mengaku bahwa ia baru mengabarkan orang tuanya tentang program beasiswa yang dimenangkan beberapa jam sebelum keberangkatannya. 

“Aku kabarin mereka sengaja beberapa jam sebelumnya, pas lagi di bandara. Dengan begitu, mereka nggak bisa melarang aku karena sudah terlanjur di perjalanan ke Korea. Ya, memang semacam kabur dari rumah, sih. Tapi kaburnya ke negara lain,” ceritanya sambil tertawa.

Kini, ia menjalankan studinya di Solbridge International School of Business, Daejeon, jurusan Business Administration.

Masih Mencoba untuk Membuka Mata Orang Tua

Amanda di salah satu kegiatannya di Korea Selatan

Setelah mengetahui statusnya sebagai mahasiswi di Korea Selatan, orang tua Amanda mulai melihat dirinya dan kakaknya dengan sudut pandang baru, walau masih perlahan.

“Mereka menanyakan apa yang akan aku lakukan setelah kuliah di Korea. Ya, aku jawab bahwa aku akan cari beasiswa S2 di negara lain yang lebih jauh. Muka mereka pasrah gitu, sih,” kata Amanda. “Tapi aku tahu mereka juga ada rasa kagum sedikit.”

Sampai sekarang, masih banyak opini orang tuanya yang misoginis. Amanda tetap kerap didorong untuk menikah setelah lulus.

“Aku masih ditanya kapan nikah, sih. Tapi bedanya, sekarang aku ada alasan untuk nggak nikah dan mereka terima-terima saja karena ada bukti prestasi.”

Meskipun pandangan orang tuanya belum sepenuhnya berubah, Amanda bertekad untuk membuktikan bahwa semua perempuan di dunia bisa melakukan apa pun yang mereka inginkan.

Hak dan kesetaraan gender merupakan dua hal yang paling mendasar. Baca kisa Danya Tjokroardi, seorang remaja yang membangun koran digitalnya sendiri di usia 14 tahun demi menyadarkan masyarakat terkait kesenjangan sosial dan hak asasi manusia.

Mau kenalan dengan perempuan hebat lainna? Bergabung ke Girls Beyond Circle sekarang juga!

Sister Sites Spotlight

Explore Girls Beyond