Strategi Hadapi Quarter-Life Crisis untuk Kamu yang Mulai Masuk Usia 20an
Hai kamu yang mulai memasuki usia 20an! Pernah nggak, sih kamu merasa kehilangan arah? Tiba-tiba kamu merasa salah jurusan kuliah, mempertanyakan pilihan karirmu, dan berandai-andai apakah kamu bakal punya masa depan yang sesuai dengan rencana serta harapanmu selama ini. Atau mungkin kamu merasa iri dengan teman-teman sepantaran kamu yang menurutmu sudah jauh lebih berprestasi dan produktif? Mungkin juga kamu merasa cemas menghadapi kenyataan dan rasanya ingin kembali jadi anak kecil saja yang kerjanya cuma main-main dan masalah hidup terbesarnya cuma PR matematika.
Bahkan ketakutan yang dialami oleh seseorang dalam menyongsong usia 20an pernah diutarakan oleh penyanyi Indonesia, Idgitaf, dalam lagunya yang berjudul “Takut”. “Takut tambah dewasa, takut aku kecewa, takut tak seindah yang kukira.” Begitulah kira-kira penggalan liriknya.
Baca juga: Adulting Itu Menakutkan Nggak Sih?
Apa yang kamu alami itu bukan tanpa alasan, loh, bahkan ada istilahnya sendiri. Quarter-life crisis atau krisis seperempat abad merupakan sebuah fase dalam kehidupan seseorang ketika mereka merasa kehilangan jati diri, kehilangan motivasi, hingga kehilangan arah dan tujuan hidup. Biasanya fase ini terjadi dalam rentang usia 18-30 tahun, dan mencapai puncaknya sekitar usia 20an.
Penyebab & Ciri-ciri Quarter-Life Crisis
Mengapa seseorang bisa mengalami quarter-life crisis? Usia 18-30 tahun merupakan masa peralihan dari remaja menjadi dewasa muda atau young adult. Dalam fase ini, seseorang akan mengalami banyak perubahan dalam diri mereka, seperti perubahan pola pikir dan cara pandang. Selain itu, biasanya banyak hal baru yang terjadi dalam rentang usia tersebut, seperti menjadi mahasiswa, memasuki dunia kerja, mengelola keuangan, menikah dan punya anak, merantau ke daerah atau bahkan negara lain, dan masih banyak lagi.
Quarter-life crisis dapat terjadi ketika ekspektasi atau idealisme yang kita miliki ternyata tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Inginnya, sih lulus S1 langsung lanjut S2 di luar negeri. Eh, ternyata uangnya nggak cukup buat kuliah S2. Sudah cari beasiswa ke mana-mana pun nggak ada yang lolos. Inginnya, sih menikah sebelum genap berumur 25 tahun. Tapi sudah umur 24 tahun, kok belum punya pasangan juga? Inginnya, sih penghasilannya ditabung buat beli mobil. Tapi orang tua bilang mulai sekarang biaya pendidikan adik jadi tanggungan kita.
Nah, selain faktor internal, quarter-life crisis juga dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal, seperti tuntutan orang-orang terdekat atau masyarakat. Kamu yang tadinya senang-senang aja menjomblo, tiba-tiba dikomentari,”Haduh, sudah umur segini kok masih belum kelihatan juga jodohnya? Hati-hati nanti jadi perawan tua!” Kamu yang merasa lebih cocok bekerja freelance dikomentari,”Jadi PNS aja! Kesejahteraannya lebih terjamin. Kerja freelance, kan penghasilannya nggak menentu.” Kamu yang mengidolakan selebriti dicibir,”Ya ampun, masih kayak ABG aja! Teman-teman kamu, tuh sudah pada nabung buat beli rumah, kamu masih suka menghamburkan uang buat beli merchandise dan nonton konser!”
Baca juga: Tantangan Menjadi Perempuan #GBBreakTheStereotype
Tidak sinkronnya antara ekspektasi pribadi dengan kenyataan yang ada di depan mata, serta tuntutan yang datang dari lingkungan sekitar ini terkadang membuat kita tanpa sadar jadi suka membandingkan diri sendiri dengan orang lain. “Wah, temanku sudah mau lanjut S2, tapi aku sidang skripsi aja belum.” “Dia masih muda tapi sudah bisa jadi founder startup. Lah, aku? Cuma pegawai kantoran biasa.” “Temanku yang dulu kuliah ambil jurusan X sekarang sudah bisa ngajak orang tuanya jalan-jalan ke luar negeri. Coba dulu aku kuliah jurusan itu juga, pasti sekarang nasibku seperti dia.” “Padahal dia lebih muda dari aku, tapi sudah menikah. Aku kapan, ya?” Dan mungkin masih banyak lagi.
Beberapa tanda-tanda bahwa kamu sedang mengalami quarter-life crisis, antara lain merasa bingung dan cemas mengenai masa depan, merasa terjebak dalam situasi yang tidak nyaman, sulit membuat keputusan saat dihadapkan dengan beberapa opsi, kehilangan motivasi untuk menjalani aktivitas sehari-hari, merasa iri dan minder dengan teman sebaya yang dianggap lebih sukses, mempertanyakan pilihan-pilihan yang sudah kita ambil dan jalani, bingung harus mengikuti kata hati atau kemauan orang lain, dan masih banyak lagi.
Cara Menghadapi Quarter-Life Crisis
Pertanyaannya, apakah quarter-life crisis itu normal? Jawabannya, ya. Quarter-life crisis mungkin dapat dialami oleh siapa saja. Namun, permasalahannya adalah dapatkah kita mengelola diri agar dapat menghadapi quarter-life crisis? Sebab, quarter-life crisis yang tidak dikelola dan ditangani dengan baik dapat berkembang menjadi masalah yang lebih serius. Dari segi psikis, misalnya, hal ini dapat meningkatkan potensi seseorang mengalami gangguan depresi, gangguan kecemasan, serta kondisi-kondisi kejiwaan lainnya. Quarter-life crisis yang tidak dikelola juga dapat mengganggu relasi kita dengan orang-orang di sekitar kita. Misalnya, menjauhi teman-teman karena merasa iri dengan pencapaian mereka, konflik dengan keluarga karena selalu dituntut atau dibandingkan dengan orang lain, konflik dengan pasangan karena perbedaan cara pandang maupun pilihan, dan sebagainya.
Lantas bagaimana cara menghadapi quarter-life crisis?
Kenali dan Terima Diri Kamu Apa Adanya
Hal yang paling sering dialami oleh seseorang dalam fase quarter-life crisis adalah mempertanyakan potensi dirinya sendiri, serta membandingkan diri dengan orang lain.
Maka dari itu, kamu perlu untuk mengenali dirimu sendiri secara lebih mendalam untuk mengatasinya. Apabila kamu merasa bingung harus memulai dari mana, kamu dapat menggunakan bantuan tes kepribadian, seperti Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) atau 16 Personality Factor Questionnaire, serta melakukan analisis SWOT.
Namun, mengenali diri saja nggak cukup! Setelahnya, kamu harus belajar untuk menerima diri kamu sendiri apa adanya. Iya, termasuk menerima kekurangan kamu maupun kesalahan-kesalahan yang pernah kamu buat selama ini. Tapi, self-acceptance bukan berarti kita pasrah begitu saja pada keadaan, ya. Memahami serta menerima kekurangan diri hanyalah langkah awal supaya kita tahu apa saja yang bisa diperbaiki dari diri kita, serta bagaimana cara memperbaikinya.
Baca juga: What Self-Love Means to Me
Hiduplah di Masa Sekarang
Ketika mengalami quarter-life crisis, kita seringkali sibuk menyesali masa lalu. “Andai dulu aku pilih jurusan A… andai dulu aku ambil tawaran kerja di perusahaan B… andai dulu aku lebih memilih lanjut S2 daripada menikah…” dan masih banyak “andai-andai” lainnya. Kita juga seringkali cemas berlebihan terhadap masa depan. “Gimana kalau aku nggak bisa lulus tepat waktu? Gimana kalau aku nggak segera ketemu jodoh? Gimana kalau sudah lewat umur 25 tahun aku masih belum bisa beli mobil? Gimana kalau aku susah dapat kerja sesuai passion?”
Maka dari itu, penting bagi kita untuk menerapkan mindfulness alias memiliki kesadaran penuh serta fokus pada apa yang ada saat ini. Boleh saja kita merefleksikan apa yang pernah terjadi di masa lalu, atau berandai-andai mengenai masa depan. Tapi kita juga harus sadar bahwa masa lalu tidak akan pernah bisa diubah, dan masa depan masih belum pasti.
Mindfulness dapat dilatih dengan melakukan meditasi, loh. Kamu bisa melakukan meditasi singkat selama 5-10 menit setiap baru bangun atau sebelum tidur. Meditasi tidak hanya melatih pikiran kamu agar lebih fokus, tetapi juga mampu mengurangi stres dan membantu mengelola emosi, sehingga kamu dapat menjalani aktivitas sehari-hari dengan suasana hati dan pikiran yang lebih baik.
Hargai Pencapaian Sekecil Apa Pun
Sadar nggak, sih seringkali kita sulit merasa bersyukur karena memiliki pandangan bahwa definisi sukses adalah ketika kita berhasil mencapai sesuatu yang “besar”? Misalnya, selalu jadi ranking 1 di kelas, lulus dengan IPK 4.00, bisa beli rumah sebelum memasuki usia kepala 3, punya gelar S2 dari universitas luar negeri, dan sebagainya.
Karenanya, mulailah membiasakan diri kamu untuk menghargai hal-hal kecil. Bersyukurlah hari ini kamu masih bangun dalam keadaan sehat dan segar bugar. Atau biasanya kamu yang sulit berkonsentrasi dan suka menunda pekerjaan hanya bisa fokus bekerja 4 jam dalam sehari, tapi hari ini kamu berhasil fokus selama 6 jam. Walaupun tidak mendapatkan IPK sempurna, tapi kamu sudah mendapat tawaran pekerjaan meskipun belum resmi lulus kuliah.
Masih banyak lagi pencapaian-pencapaian yang tampaknya sepele, tapi patut kamu hargai. Apresiasi terhadap hal-hal kecil membuat kita jadi lebih mencintai diri sendiri, jarang merasa iri, serta lebih menikmati hidup.
Berhenti Membandingkan Diri dengan Orang Lain
Pepatah lama mengatakan bahwa rumput tetangga selalu tampak lebih hijau. Kita seringkali membandingkan diri sendiri dengan orang lain, merasa iri dan kurang percaya diri, padahal belum tentu kita jauh lebih buruk daripada mereka.
Ingatlah bahwa setiap orang punya jalan hidupnya masing-masing. Pencapaian tiap-tiap orang tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan diri serta bagaimana seseorang mengambil keputusan, tetapi juga faktor keberuntungan atau privilege. Kamu tidak perlu membandingkan dirimu sendiri dengan orang lain yang jelas memiliki garis start berbeda dengan kamu, karena selamanya perbandingan tersebut tidak akan apple to apple, dan selamanya pula kamu akan merasa kurang.
Kuncinya adalah jangan jadikan keberhasilan orang lain sebagai pemacu untuk menyaingi mereka, tetapi jadikan itu sebagai motivasi untuk mencapai tujuan-tujuan yang kamu punya, serta jadi versi diri kamu yang lebih baik lagi.
Pasang Goals yang Realistis
Kehilangan tujuan hidup, kekhawatiran terhadap masa depan yang tidak pasti, serta ketidakpuasan terhadap diri sendiri kadang disebabkan oleh kita yang menetapkan goals yang tidak jelas atau terlalu muluk-muluk.
Karenanya, mulai tentukan tujuan hidup kamu secara lebih detail dan realistis. Ingat, ya, life goals itu nggak harus sesuatu yang “besar”. Life goals itu bisa sesederhana ingin mengurangi konsumsi kafein agar pola tidur jadi lebih teratur, atau nggak apa-apa nggak dapat IPK sempurna yang penting nilainya di atas C semua.
Menetapkan tujuan hidup yang jelas dan realistis nggak cuma bikin kamu lebih baik dalam mengelola ekspektasi terhadap masa depan, tetapi juga tahu langkah apa saja yang harus kamu ambil untuk mewujudkan goals-mu tersebut.
Beri Dirimu Waktu untuk Istirahat
Salah satu kunci dalam mengelola quarter-life crisis adalah jangan terlalu memforsir diri sendiri untuk selalu bekerja keras, alias healing itu penting!
Eits, definisi healing itu nggak melulu harus staycation ke tempat yang jauh atau belanja di e-commerce sampai jutaan rupiah, loh. Healing bisa sesederhana makan comfort food favorit kamu, menonton variety show grup K-Pop idolamu, atau jogging sore keliling komplek sambil menikmati sunset!
Mengistirahatkan diri sejenak dari hiruk-pikuk kesibukan kita sehari-hari adalah cara untuk me-refresh diri, sehingga selanjutnya kita dapat kembali beraktivitas dengan suasana hati yang baik dan pikiran yang jernih.
Jangan Ragu Cerita ke Orang Lain
Terakhir, yang tidak kalah penting adalah memiliki support system. Kamu bisa curhat ke orang-orang terdekatmu, entah itu meminta masukan dari mereka atau sekadar minta didengarkan.
Kamu juga bisa minta bantuan profesional, seperti psikolog. Ingat, ya, psikolog bukan hanya untuk orang yang memang sudah didiagnosis dengan kondisi kejiwaan tertentu. Meminta bantuan psikolog juga nggak perlu menunggu sampai kondisi kamu jadi sangat parah dan mengganggu kehidupan sehari-hari.
Dengan menceritakan uneg-unegmu ke orang lain, kamu akan merasa jauh lebih lega. Selain itu, masukan dari orang lain juga dapat membantu kamu melihat permasalahan yang kamu hadapi dengan sudut pandang yang berbeda.
Fase quarter-life crisis memang tidak mudah untuk dilalui. Tapi kamu nggak sendirian, kok! Jadi jangan merasa takut lagi, ya. You got this, girls!