gagal menampilkan data

Article

Para Perempuan Pembela HAM yang Mengubah Dunia

Written by Angela Ranitta

Tanggal 29 November diperingati sebagai Hari Perempuan Pembela HAM Sedunia. Pada hari ini, dunia nggak hanya memberikan penghormatan terhadap para perempuan hebat pejuang HAM. Namun, kita juga diingatkan mengenai kerentanan yang dihadapi oleh perempuan pembela HAM. Mereka jauh lebih rentan mengalami kekerasan dan diskriminasi daripada aktivis HAM laki-laki. Bahkan seringkali nyawa yang menjadi taruhannya. 

Itulah sebabnya Hari Perempuan Pembela HAM Sedunia masuk ke dalam rangkaian 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP). Kita diajak untuk menciptakan dunia yang lebih aman bagi para perempuan yang berada di garis terdepan perjuangan HAM. 

Nah, di bawah ini ada sejumlah tokoh perempuan pembela HAM di seluruh dunia. Penasaran siapa saja? Yuk, kenalan sama mereka!

Baca juga: Mahsa Amini Protest dan Pergerakan Perempuan yang Mengubah Dunia

Rosa Parks

Rosa Parks (1913-2005) dikenal sebagai ibu dari gerakan hak masyarakat sipil di Amerika Serikat. Sejak tahun 1943, Parks aktif dalam gerakan hak masyarakat sipil yang melawan segregasi di AS. Namun, puncak aktivismenya terjadi pada tanggal 1 Desember 1955 di Kota Montgomery, Alabama. 

Saat itu, orang kulit hitam hanya boleh duduk di bagian belakang bus. Jika bus dalam keadaan penuh, kursi-kursi yang ada akan diprioritaskan bagi penumpang kulit putih. Sore itu, Parks menolak memberikan kursinya dalam perjalanan pulang dari tempat kerjanya. Aksi tersebut membuat Parks ditangkap aparat kepolisian setempat karena melanggar hukum segregasi di Montgomery. 

Walau begitu, keberanian Parks menyulut gerakan pemboikotan bus di Montgomery yang berlangsung pada tanggal 5 Desember 1955-20 Desember 1956. Pemboikotan tersebut berhasil mendorong Pengadilan Tinggi AS untuk menghapuskan segregasi di transportasi umum. Aksi boikot bus di Montgomery merupakan salah satu momentum signifikan dalam gerakan hak masyarakat sipil Amerika Serikat.

Malala Yousafzai

Malala Yousafzai dikenal akan keberaniannya melawan Taliban di usia yang masih belia. Pada tahun 2007, kelompok radikal tersebut menguasai Pakistan, tanah kelahiran Malala. Salah satu diskriminasi yang dilakukan Taliban adalah larangan bersekolah bagi perempuan. 

Pada tahun 2008, Malala yang masih berusia 11 tahun menuliskan pengalaman pribadinya hidup di bawah kekuasaan Taliban. Ia menulis di bawah nama samaran Gul Makai untuk blog BBC Urdu. Di tahun yang sama, ia berpidato untuk pertama kalinya di hadapan kelompok jurnalis lokal di Kota Peshawar. Pidato bertajuk ”Beraninya Taliban Merampas Hak Pendidikanku” itu dimuat di koran dan acara televisi lokal. 

Bersama sang ayah yang merupakan pendiri sekolah sekaligus guru, Malala mulai aktif mengampanyekan hak pendidikan di Pakistan. Bahkan pada tahun 2011, ia dinominasikan dalam Nobel Perdamaian Anak Internasional, serta menerima penghargaan National Youth Prize

Namun, pada tahun 2012, Malala ditembak tepat di kepala oleh seorang pemuda Taliban. Ia dilarikan ke rumah sakit militer di Peshawar, sebelum diterbangkan ke Birmingham, Inggris untuk mendapatkan perawatan yang lebih mumpuni. Beruntung, nyawa Malala berhasil diselamatkan. Kini, ia masih aktif sebagai aktivis pendidikan dan pembela HAM di dunia internasional. 

Lita Anggraini

Lita Anggraini merupakan salah satu aktivis Indonesia yang bergelut dalam isu hak pekerja rumah tangga (PRT). Kepeduliannya terhadap PRT muncul sejak dirinya masih anak-anak. Saat itu, Lita menyaksikan keluarga teman sekolahnya yang mempekerjakan PRT usia anak. Namun, Lita memulai kiprahnya sebagai aktivis isu PRT ketika duduk di bangku perkuliahan. 

Pada tahun 1992, Lita mendirikan Jaringan Nasional Advokasi (JALA) PRT. Sesuai namanya, JALA PRT bergerak dalam perjuangan hak-hak PRT, seperti upah dan jam kerja layak serta perlindungan dari kekerasan. JALA PRT juga mengorganisir serikat-serikat PRT di berbagai daerah di Indonesia. 

Perjalanan Lita Anggraini sebagai aktivis isu PRT memang nggak mudah. Sebab, isu ini dianggap nggak urgent seperti isu-isu lainnya. Nggak jarang Lita dicibir dan dipandang sebelah mata. Bahkan RUU Perlindungan PRT yang ia perjuangkan sejak tahun 2004 hingga kini tak kunjung disahkan oleh DPR RI. Namun, Lita tetap konsisten dengan dedikasinya terhadap perjuangan hak PRT. Sebab, bagi Lita Anggraini, memperjuangkan PRT adalah panggilan hidup yang akan terus ia lakukan hingga akhir hayatnya. 

Leymah Gbowee

Leymah Gbowee merupakan seorang aktivis perdamaian asal Liberia, Afrika Barat. Ketika ia masih berusia 17 tahun, tanah kelahirannya dilanda Perang Sipil I yang berlangsung selama tahun 1989-1996. Sekitar tiga tahun setelahnya, Perang Sipil II meletus di bawah kepemimpinan Presiden Charles Taylor.

Gbowee menyadari bahwa perempuan adalah kelompok yang paling rentan selama peperangan terjadi. Mereka harus mencari makanan dan air bersih di tengah kekacauan politik dan ekonomi. Selain itu, mereka rentan mengalami pembunuhan dan pemerkosaan. Berawal dari keprihatinan tersebut, Gbowee menginisiasi aksi perdamaian yang dinamai “Women of Liberia Mass Action for Peace”.

Gerakan tersebut diprakarsai oleh perempuan-perempuan yang mengampanyekan anti-kekerasan dan perdamaian di Liberia. “Women of Liberia Mass Action for Peace” berhasil mendesak Charles Taylor untuk mengakhiri Perang Sipil II pada tahun 2003. Selain itu, mereka juga membantu Ellen Johnson Sirleaf terpilih sebagai presiden perempuan pertama di Liberia sekaligus Afrika pada tahun 2005. 

Atas perjuangannya tersebut, Gbowee dianugerahi Nobel Perdamaian pada tahun 2011 bersama Ellen Johnson Sirleaf dan aktivis Yaman, Tawakkul Karman. Hingga kini, Leymah Gbowee masih berkiprah dalam aktivisme perdamaian dan kekerasan berbasis gender (KBG). 

Baca juga: Tak Cuma Ratu Elizabeth II, Berikut 5 Pemimpin Perempuan Hebat dari Seluruh Dunia

Tawakkul Karman

Tawakkul Karman merupakan seorang jurnalis sekaligus aktivis HAM asal Yaman. Pada tahun 2005, Karman mendirikan kolektif Women Journalists Without Chains (WJWC) dengan 7 jurnalis perempuan asal Yemen lainnya. WJWC memperjuangkan hak asasi manusia, terutama dalam hal kebebasan berpendapat. Bersama WJWC, Karman aktif menuntut kebebasan pers di Yemen yang saat itu sangat dibatasi oleh pemerintah. Sepanjang tahun 2007-2010, Karman aktif mengorganisir aksi unjuk rasa di Tahrir Square, Sana’a.

Kiprah Karman sebagai aktivis HAM tentu jauh dari kata “mudah” dan “aman”. Ia berkali-kali mengalami pelecehan hingga ancaman pembunuhan dari pemerintah, serta kelompok konservatif. Bahkan pada tahun 2010, seorang perempuan melakukan percobaan pembunuhan terhadap Karman yang tengah memimpin demonstrasi di Tahrir Square.

Karman mendapatkan perhatian dunia internasional karena keterlibatannya dalam Revolusi Yaman tahun 2011. Ia bahkan dijuluki sebagai ibu revolusi di Yaman. Di tahun yang sama, Karman dianugerahi Nobel Perdamaian bersama Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf dan aktivis Leymah Gbowee. 

Gloria Steinem

Gloria Steinem merupakan jurnalis dan aktivis Amerika Serikat. Ia dikenal sebagai salah satu ikon dalam gelombang kedua feminisme yang mengusung ideologi radikal. Gelombang feminisme radikal eksis pada akhir tahun 1960an hingga awal tahun 1970an. 

Pada tahun 1963, Steinem menulis artikel untuk majalah Show yang mengekspos praktik objektifikasi perempuan di Playboy Club, Kota New York. Ia mulai aktif menyuarakan ideologi feminisme, salah satunya dalam esai berjudul,”After Black Power, Women’s Liberation”. Lalu, pada tahun 1971, Steinem mendirikan majalah Ms. bersama sejumlah tokoh feminis AS lainnya, seperti Letty Cottin Pogrebin dan Margaret Sloan-Hunter. Majalah Ms. merupakan majalah feminis pertama di AS. Sejak tahun 2001, majalah tersebut dikelola oleh Feminist Majority Foundation dengan jadwal terbit per tiga bulan sekali. 

Steinem juga merupakan tokoh penting di balik berdirinya berbagai gerakan, kolektif, dan organisasi feminis serta hak masyarakat sipil. Sebut saja Coalition of Labor Union Women, Voters for Choice, Women Against Pornography, dan Women’s Media Center. Pada tahun 2013, Gloria Steinem dianugerahi Presidential Medal of Freedom atas kiprahnya dalam gelombang feminisme kedua di Amerika Serikat. 

Baca juga: Rekomendasi Bacaan Non-Fiksi Seputar Feminisme yang Ringan tapi Berbobot

Waris Dirie

Waris Dirie merupakan model, aktivis, sekaligus penulis asal Somalia. Saat usianya masih 5 tahun, ia menjadi korban sunat perempuan (female genital mutilation). Kemudian di usia 13 tahun, ia melarikan diri ke Kota Mogadishu karena hendak dinikahkan dengan pria berusia 60 tahun. Dirie kemudian melarikan diri ke London dan sempat bekerja sebagai PRT serta cleaning service. Di usia 18 tahun, ia bertemu dengan fotografer bernama Mike Goss yang membawanya masuk ke dunia modelling

Pada tahun 2002, Waris Dirie mendirikan Desert Flower Foundation di Vienna, Austria. Organisasi tersebut memiliki misi untuk menghapuskan praktik sunat perempuan secara global. Desert Flower Foundation secara aktif berkampanye serta melakukan advokasi, terutama di negara-negara Afrika yang kerap mempraktikkan sunat perempuan. Sejak tahun 2013, Dirie mulai mendirikan fasilitas kesehatan untuk perawatan korban sunat perempuan. 

Program “Save A Little Desert Flower” yang diluncurkan pada tahun 2014 berhasil menyelamatkan seribu anak perempuan di Sierra Leone dari praktik sunat perempuan. Di negara tersebut, Waris Dirie juga mendirikan sekolah, rumah aman, perpustakaan, dan computer center. Dirie juga menulis beberapa buku yang mengangkat isu sunat perempuan dan realita kekerasan berbasis gender (KBG) di Afrika. Sepanjang tahun 1997-2003, Waris Dirie adalah duta anti-sunat perempuan PBB. 

Baca juga: Perempuan Tangguh Afrika Nggak Cuma Ada di Film “Wakanda Forever”

Sophie Cruz

Sophie Cruz merupakan aktivis muda kelahiran 17 Desember 2010. Ia lahir di Amerika Serikat dari pasutri asal Oaxaca, Meksiko yang berstatus sebagai imigran yang tak terdokumentasi secara resmi. Karenanya, mereka bisa dideportasi kapan saja.

Pada tahun 2015, Paus Fransiskus mengunjungi para imigran tanpa dokumen di Washington D. C. Cruz yang saat itu masih berusia 5 tahun nekat menerobos penjaga keamanan untuk memberikan sebuah surat bagi Paus Fransiskus. Saat itu, Cruz meminta agar Paus Fransiskus melakukan advokasi agar para imigran tanpa dokumen seperti orang tuanya bisa tetap tinggal di AS. 

Keberanian Cruz sontak mencuri perhatian publik dan media. Dalam sebuah wawancara, ia menyatakan bahwa para imigran seperti orang tuanya memiliki hak diakui oleh pemerintah AS karena negara turut menikmati hasil kerja keras mereka. Pada tanggal 21 Januari 2017, Sophie Cruz diundang untuk berorasi dalam unjuk rasa Women’s March di Washington D. C. yang memprotes pelantikan Presiden Donald Trump. 

Arundhati Roy

Suzanna Arundhati Roy merupakan penulis asal India. Ia juga dikenal akan kiprahnya sebagai aktivis politik, terutama dalam isu HAM dan lingkungan. Roy merupakan lulusan prodi arsitektur dari School of Planning and Architecture di Delhi, India. Namun, ia memulai karier sebagai penulis naskah untuk film dan acara televisi.

Pada tahun 1997, Roy menerbitkan novel pertamanya yang berjudul “The God of Small Things”. Buku tersebut merupakan semi-autobiografi yang terinspirasi dari masa kecil Roy di Aymanam, Kerala, India. Roy berhasil menuai popularitas hingga ke kancah global dengan novel perdananya. Ia bahkan memenangkan Booker Prize for Fiction di tahun yang sama. 

Sejak saat itu, Roy mulai aktif menulis esai yang banyak membahas isu-isu sosial, termasuk alter-globalisation dan neo-imperalisme. Ia kerap mengkritik kebijakan di negaranya, serta berbagai kebijakan luar negeri Amerika Serikat, tak terkecuali invasi militer ke Afghanistan. Pada tahun 2004, Arundhati Roy dianugerahi Sydney Peace Price atas upayanya mengampanyekan keadilan sosial dan perdamaian. 

Baca juga: Rekomendasi Buku yang Bahas Trauma Masa Kecil

Sylvia Rivera & Marsha P. Johnson

Sejarah perjuangan hak kelompok LGBTQIA+ di Amerika Serikat tak lepas dari kiprah Sylvia Rivera (1951-2002) dan Marsha P. Johnson (1945-1992). Keduanya dikenal sebagai ikon transgender AS meski selama hidupnya, baik Rivera maupun Johnson tak pernah menyatakan secara gamblang identitas mereka sebagai transpuan.

Rivera dan Johnson merupakan dua wajah penting dalam peristiwa Pemberontakan Stonewall yang terjadi selama 28 Juni-3 Juli 1969. Peristiwa tersebut merupakan serangkaian unjuk rasa spontan yang dilakukan oleh komunitas LGBTQIA+ di Lower Manhattan, Kota New York. 

Keduanya juga membentuk kolektif aktivis LGBTQIA+ yang bernama Street Transvestite Action Revolutionaries (STAR) pada tahun 1970. STAR menyediakan rumah aman bagi muda-mudi LGBTQIA+ serta pekerja seks yang dikucilkan oleh keluarga mereka. Hingga akhir hayatnya, baik Rivera maupun Johnson tak pernah berhenti menyuarakan isu-isu LGBTQIA+, terutama di kalangan masyarakat non-kulit putih (black, indigenous, and people of color alias BIPOC). 

Baca juga: Rekomendasi Film tentang Kemerdekaan Perempuan yang Wajib Kamu Tonton

Itulah 10 tokoh perempuan pembela HAM dari berbagai belahan dunia. Beberapa di antara mereka telah meninggal dunia, tetapi beberapa masih terus berjuang hingga kini. Semoga kisah para perempuan hebat di atas dapat menjadi inspirasi bagi kita untuk terus memperjuangkan hak asasi manusia di tengah masyarakat.

Kalau kamu pengen sharing lebih banyak seputar isu sosial dan women empowerment, yuk gabung ke Girls Beyond Circle! Klik di sini untuk join, ya!

Sister Sites Spotlight

Explore Girls Beyond