gagal menampilkan data

ic-gb
detail-thumb

Perayaan Hari Ibu 2022: Intip Sejarah Feminisme di Indonesia, Sudah Ada Sebelum Proklamasi Kemerdekaan

Written by Angela Ranitta

Setiap tahun, Hari Ibu Nasional dirayakan pada tanggal 22 Desember. Perayaan ini umumnya identik dengan ungkapan terima kasih kepada figur ibu yang telah melahirkan dan merawat kita. Selain itu, Hari Ibu kerap diramaikan dengan perlombaan yang identik dengan femininitas, seperti kompetisi memasak, berdandan, peragaan busana, dan sebagainya. 

Namun, tahukah kamu dari mana sejarah Hari Ibu bermula?

Baca juga: Rekomendasi Film tentang Kemerdekaan Perempuan yang Wajib Kamu Tonton

Kongres Perempuan Indonesia I

Ternyata, sejarah perayaan Hari Ibu berawal dari diselenggarakannya Kongres Perempuan Indonesia I. Pernah nggak, sih mendengar tuduhan kalau feminisme adalah ideologi kebarat-baratan? Jangan salah, girls, gerakan feminisme sudah berkembang di Indonesia bahkan jauh sebelum negara kita merdeka. 

Sebelum abad ke-20, perjuangan rakyat pribumi masih bersifat kedaerahan. Hal ini termasuk perjuangan kesetaraan gender. Lahirnya pergerakan nasional ditandai dengan berdirinya organisasi pemuda Budi Utomo (20 Mei 1908), serta pelaksanaan Kongres Pemuda pada tahun 1926 dan 1928. Kongres Pemuda II yang diadakan pada tanggal 27-28 September 1928 sendiri berhasil melahirkan Sumpah Pemuda. 

Peserta Kongres Pemuda Kedua, Sumpah Pemuda
Kongres Pemuda II yang berhasil melahirkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 September 1928.

Kesuksesan Kongres Pemuda dalam menyatukan para pemuda pribumi menginspirasi tokoh perempuan Jong Java untuk melakukan hal serupa. Bedanya, kongres yang ingin mereka gelar bakalan dikhususkan untuk membahas isu-isu perempuan. 

Pada tanggal 22-25 Desember 1928, puluhan organisasi perempuan dari berbagai wilayah Indonesia (saat itu Hindia Belanda) berhasil mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I. Kongres tersebut diadakan di pendopo Dalem Jayadipuran, Yogyakarta. Saat ini, pendopo Dalem Jayadipuran difungsikan sebagai Balai Pelestarian Nilai Budaya D. I. Yogyakarta.

Kongres Perempuan Indonesia I dihadiri oleh 30 organisasi perempuan dari sejumlah kota di Pulau Jawa dan Sumatra, serta lebih dari seribu orang peserta. Kegiatan ini juga diikuti oleh peserta laki-laki dari beberapa organisasi pemuda, serta pers yang pro-pribumi.

Baca juga: Mahsa Amini Protest dan Pergerakan Perempuan yang Mengubah Dunia

Hasil Kongres Perempuan Indonesia I

Kongres Perempuan Indonesia I, 1928

Kongres Perempuan Indonesia I sukses menghasilkan sejumlah keputusan. Pertama, pembentukan badan federasi bersama, Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). Saat itu, PPPI berbasis di Mataram (Yogyakarta) dan beranggotakan organisasi-organisasi perempuan yang sudah ada di berbagai daerah. 

Keputusan kedua dari Kongres Perempuan Indonesia I adalah penerbitan surat kabar yang redaksinya dikelola oleh pengurus PPPI. Selanjutnya, mereka sepakat untuk menggalang dana pendidikan bagi anak-anak perempuan miskin, serta memperkuat pendidikan kepanduan putri. Mereka juga berkomitmen dalam upaya pencegahan perkawinan anak yang saat itu marak di kalangan pribumi. 

Selain itu, Kongres Perempuan Indonesia I juga menghasilkan mosi yang ditujukan kepada pemerintah Hindia Belanda. Mosi tersebut terdiri dari tiga permintaan. Pertama, pemberian dana bantuan bagi janda dan anak-anak yatim piatu. Kedua, memperbanyak sekolah-sekolah putri. Ketiga, meminta agar pemberian keterangan seputar janji dan syarat perceraian dalam perkawinan diwajibkan. 

Baca juga: Para Perempuan Pembela HAM yang Mengubah Dunia

Kongres Perempuan Indonesia I juga menyatakan mosi kepada Raad Agama (Pengadilan Agama) agar pengajuan talak (gugatan cerai) diperkuat dengan dokumen tertulis sesuai dengan peraturan agama. 

Selanjutnya, Kongres Perempuan Indonesia kembali diadakan sebanyak tiga kali. Kongres Perempuan Indonesia IV pada tanggal 25-28 Juli 1941 merupakan kongres terakhir di masa pemerintahan Hindia Belanda. Pada tahun 1942, pemerintah Jepang mengambil alih wilayah Hindia Belanda. Seluruh kegiatan organisasi pemuda dan perempuan, termasuk Kongres Perempuan Indonesia dilarang oleh pemerintah Jepang.

Kongres Perempuan Indonesia II pada tahun 1936.

Tokoh Penting dalam Kongres Perempuan Indonesia I

Keberhasilan Kongres Perempuan Indonesia I tentu tak lepas dari kerja keras tokoh-tokoh di baliknya. Susunan kepanitiaan Kongres Perempuan Indonesia I terdiri dari 15 orang perempuan yang berasal dari berbagai organisasi perempuan. Berikut adalah sejumlah tokoh kunci dalam Kongres Perempuan Indonesia I:

Baca juga: 5 Pahlawan Perempuan Indonesia Super Inspiratif yang Sering Terlupakan

Nyi Hajar Dewantara (1890-1971)

Nyi Hajar Dewantara (1890-1971)

Perempuan ini lahir dengan nama Raden Ajeng Sutartinah. Ia dikenal sebagai Nyi Hajar Dewantara setelah menikah dengan Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara. Sama seperti suaminya, Nyi Hajar Dewantara menaruh perhatian yang sangat besar terhadap pendidikan masyarakat pribumi. Ia juga aktif dalam pergerakan perempuan. 

Sesaat setelah Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa, sang istri menyusul dengan organisasi perempuan bernama Wanita Taman Siswa. Organisasi tersebut bertujuan mendorong terbukanya kesempatan pendidikan bagi para perempuan pribumi. Selain itu, Wanita Taman Siswa juga menaruh perhatian pada isu poligami, kawin paksa, dan berbagai permasalahan kesenjangan gender lainnya. 

Nyi Hajar Dewantara merupakan inisiator pelaksanaan Kongres Perempuan Indonesia I. Ia terinspirasi dari kesuksesan Kongres Pemuda yang berhasil melahirkan Sumpah Pemuda. Meski begitu, Nyi Hajar Dewantara menjabat sebagai anggota biasa dalam susunan kepanitiaan Kongres Perempuan Indonesia I. Namun, ia sempat menyampaikan pidato yang berjudul “Keadaban Isteri”. 

R. A. Sukonto (1889-1969)

R. A. Sukonto (1889-1969)

R. A. Sukonto lahir dengan nama Siti Aminah di Temanggung, Jawa Tengah. Ia akrab dipanggil Ny. Sukonto sejak menikah dengan dr. Sukonto pada tahun 1907. Nggak jauh beda dengan perempuan pribumi pada umumnya, R. A. Sukonto tak pernah mengenyam pendidikan formal. Ia hanya belajar mengaji serta baca-tulis huruf Jawa. R. A. Sukonto baru belajar baca-tulis huruf latin setelah menikah dengan sang suami.

Selanjutnya, R. A. Sukonto bergabung dalam organisasi pergerakan nasional, Wanita Oetomo. Organisasi tersebut diprakarsai oleh istri dari para pengurus Budi Oetomo pada tahun 1921 dan berbasis di Yogyakarta. Akhirnya pada tahun 1928, R. A. Sukonto ditunjuk sebagai ketua Kongres Perempuan Indonesia I. Dalam kongres tersebut, ia membacakan pidato yang berjudul “Kewajiban Perempuan di Dalam Rumah Tangga”.

Siti Munjiyah (1896-1955)

Siti Munjiyah (1896-1955)

Sebagai ketua Kongres Perempuan Indonesia I, R. A. Sukonto tentunya nggak bekerja sendirian. Ia didampingi oleh wakil ketuanya yang bernama Siti Munjiyah. Siti Munjiyah merupakan anak keenam dari Hasyim Ismail, abdi dalem keagamaan di Kesultanan Yogyakarta. Ia tumbuh besar dalam lingkungan Islami yang sangat kental. Bersama saudara-saudaranya, Siti Munjiyah mendapat pendidikan agama langsung dari Siti Walidah, istri pendiri organisasi Muhammadiyah, K. H. Ahmad Dahlan. 

Dalam Kongres Perempuan Indonesia I, Siti Munjiyah menyampaikan pidato berjudul “Derajat Perempuan”. Pidatonya berisi tentang kewajiban perempuan dalam Islam, sekaligus kritik terhadap ideologi feminisme Barat. Pidato Siti Munjiyah sempat menuai kritik dari sejumlah peserta Kongres Perempuan Indonesia I. Meski begitu, keberaniannya berpidato dianggap sebagai bentuk kemajuan perempuan pada masa itu.

Siti Munjiyah menjabat sebagai ketua umum Aisyiyah, organisasi perempuan Muhammadiyah. Ia menjabat selama lima periode pada tahun 1932-1936. Ia aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan Aisyiyah hingga akhir hayatnya. Bahkan sesaat sebelum Siti Munjiyah meninggal pada tahun 1955, ia masih menghadiri konferensi Aisyiyah di Tasikmalaya, Jawa Barat.

Siti Sukaptinah (1907-1991)

Siti Sukaptinah (1907-1991)

Siti Sukaptinah lahir di Yogyakarta, 28 Desember 1907. Ia merupakan putri sulung dari R. Sastrowetjana, abdi dalem Kesultanan Yogyakarta. Karenanya, ia mendapat kesempatan menempuh pendidikan formal di HIS Keputran. Saat itu, Siti Sukaptinah sudah menunjukkan ketertarikannya dalam organisasi. Ia bergabung dalam organisasi Siswapraja Wanita Muhammadiyah yang menjadi cikal-bakal Nasiyatul Aisyiyah. 

Lulus dari HIS Keputran, Siti Sukaptinah melanjutkan pendidikan di MULO Ngupasan dan mulai aktif dalam organisasi Jong Java. Pada tahun 1924, ia pindah ke Taman Guru Taman Siswa dan diajar langsung oleh pasutri Hajar Dewantara. Setelah lulus pada tahun 1926, ia berprofesi sebagai guru di Taman Siswa. Di sana, ia bertemu dengan tokoh-tokoh perempuan yang juga menaruh perhatian pada isu kesetaraan gender. 

Siti Sukaptinah berperan sebagai Sekretaris I dalam susunan kepanitiaan Kongres Perempuan Indonesia I. Ia juga menciptakan lagu pembuka kongres yang ditulis dalam Bahasa Jawa. Pada masa penjajahan Jepang, Siti Sukaptinah menjabat sebagai ketua Fujinkai (Bagian Wanita) di Kantor Pusat Jawa Hokokai, Jakarta. Kemudian pada tahun 1944, ia menjadi salah satu anggota BPUPKI yang merumuskan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Ia juga merupakan perempuan pertama yang terpilih sebagai anggota DPR sekaligus Dewan Konstituante melalui Pemilu 1955.

Sujatin Kartowijono (1907-1983)

Sujatin Kartowijono (1907-1983)

R. A. Sujatin merupakan Bendahara II dalam susunan kepanitiaan Kongres Perempuan Indonesia I. Perempuan ini dikenal juga dengan nama R. Ay. S. Kartowijono. Sebagai keturunan bangsawan Jawa, Sujatin berkesempatan menempuh pendidikan di HIS dan MULO. Keprihatinannya terhadap kesenjangan gender di Hindia Belanda muncul sejak dirinya membaca surat-surat R. A. Kartini yang diterbitkan dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”. 

Sujatin pun mulai aktif dalam organisasi pemuda Jong Java. Ia sering menulis untuk koran Jong Java dengan nama pena Garbera. Setelah lulus dari MULO, Sujatin melanjutkan pendidikannya ke sekolah guru dan mulai mengajar sejak tahun 1926. Di tahun yang sama, Sujatin mendirikan organisasi Poetri Indonesia yang berbasis di Yogyakarta. Poetri Indonesia membuka kursus dan pendidikan bagi rakyat pribumi, terutama perempuan. 

Meski lahir dari keluarga bangsawan, tetapi Sujatin memiliki kepedulian besar terhadap masyarakat miskin. Ia kerap terlibat advokasi masyarakat pribumi yang terlilit utang maupun mengalami diskriminasi di tempat kerja. Kiprah Sujatin Kartowijono masih berlanjut setelah proklamasi kemerdekaan. Ia beberapa kali terjun dalam organisasi-organisasi perempuan. Di masa Orde Baru, Sujatin sempat menjabat sebagai konsultan Departemen Sosial (1974-1978). 

Baca juga: Kisah Perempuan Indonesia yang Sukses Bangun ‘Empire’ Mereka Sendiri

Pergeseran Makna Hari Ibu Nasional

ibu dan anak di pinggir pantai

Saat ini, perayaan Hari Ibu Nasional telah mengalami pergeseran makna. Hari Ibu Nasional seolah ditujukan hanya kepada perempuan yang telah memiliki anak alias menjadi seorang ibu. Pergeseran makna Hari Ibu Nasional tersebut nggak lepas dari nilai-nilai patriarki. 

Salah satu narasi budaya patriarki yang mungkin sering kamu dengar, yaitu perempuan sejati adalah perempuan yang telah menjadi ibu. Anggapan ini kerap digunakan untuk merendahkan perempuan. Misalnya, perempuan yang memilih untuk nggak berkeluarga atau perempuan yang nggak bisa memiliki anak karena kondisi kesehatan tertentu. Narasi tersebut juga memberi kesan seakan-akan budaya patriarki memuliakan perempuan yang menjadi ibu. Nyatanya, setiap perempuan sama-sama dirugikan oleh nilai-nilai patriarki, terlepas dari status atau peran mereka. 

Baca juga: Rekomendasi Film Indonesia yang Bicara soal Hubungan Orang Tua dan Anak

Tentunya, para ibu berhak mendapatkan apresiasi atas kerja keras mereka. Namun, kita nggak boleh lupa dengan esensi Kongres Perempuan Indonesia I yang menjadi cikal-bakal perayaan Hari Ibu. Kita nggak boleh lupa bahwa hampir 100 tahun silam, ada ratusan perempuan dari berbagai latar belakang dan pemikiran yang bersatu dalam visi mewujudkan kesetaraan gender di tengah masyarakat. 

Kamu pun berhak dirayakan dalam Hari Ibu, girls. Terima kasih sudah menjadi sosok perempuan hebat dengan caramu sendiri. Semoga kita bisa menciptakan dunia yang lebih inklusif dan setara, ya. Selamat Hari Ibu, selamat hari pergerakan perempuan nasional!

Baca juga: Rekomendasi Novel yang Angkat Tema Feminisme

Kepengen ngobrol lebih banyak seputar women empowerment? Yuk, gabung ke Girls Beyond Circle, safe space buat cewek-cewek keren yang pengen level up bareng! Klik di sini untuk bergabung, ya!