gagal menampilkan data

Article

International Women's Day 2023: Dari RUU PPRT hingga Minimnya Ruang Politik, Ada Sederet Isu Gender yang Harus Diselesaikan Sebelum Pemilu 2024

Written by Zefanya Pardede

Pemilu 2024 semakin dekat. Sebentar lagi, Indonesia akan dihadapkan dengan pemimpin barunya. Namun, dengan setiap pergantian pemimpin yang dilakukan, masih ada segudang masalah yang belum terselesaikan. Masalah-masalah ini pun beragam, mulai dari kesejahteraan rakyat, isu sosial, diskriminasi, masalah lingkungan, hingga korupsi.

Pemerintah berulang kali mengatakan bahwa masalah-masalah tersebut sedang diupayakan solusinya. Sayangnya, pemerintah juga kerap melupakan perspektif gender sehingga banyak sekali isu perempuan yang terbengkalai. Bahkan, sebagian besar perempuan di Indonesia menilai bahwa justru jumlah masalah yang menimpa perempuan semakin meningkat.

Menurut indeks World Economic Forum (WEF) pada 2022, Indonesia menempati peringkat ke-92 dari daftar 146 negara dengan kesenjangan gender terbesar. Peringkat ini meningkat dari tahun 2021, ketika Indonesia masih berada di posisi ke-101. Hal ini membuktikan bahwa masalah gender di Indonesia kian memburuk.

Di International Women’s Day 2023, mari kita kilas balik beberapa masalah yang masih merugikan perempuan dan seharusnya menjadi agenda pemerintah sebelum Pemilu 2024.

Baca juga: Women’s World Cup 2023: Pertama Kali Diselenggarakan Dua Negara Sekaligus!

RUU PPRT

Saat ini, pengesahan RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) sedang didesak oleh masyarakat Indonesia, terutama para perempuan. Total pekerja rumah tangga di Indonesia per 2022 mencapai 4,2 juta. 75,5% di antaranya adalah pekerja perempuan dan 25% adalah pekerja di bawah umur atau anak-anak.

RUU PPRT perlu dijadikan kebijakan yang sah untuk melindungi para perempuan dan anak-anak yang telah menjadi korban dari banyaknya kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan bahwa terdapat 2.637 kasus kekerasan yang menimpa pekerja rumah tangga di Indonesia dari 2017 hingga 2022. Jumlah ini belum termasuk kasus-kasus yang tidak dilaporkan ke polisi dan Komnas HAM.

Bentuk-bentuk kekerasan ini pun beraneka macam, mulai dari kekerasan fisik, kekerasan verbal, hingga pelecehan seksual. Pelecehan seksual tidak hanya menimpa pekerja rumah tangga perempuan, tetapi juga anak-anak yang terpaksa dijadikan pekerja rumah tangga. 

Kekerasan terhadap pekerja rumah tangga tidak berhenti di situ. Ada pula kekerasan ekonomi yang dilakukan, seperti gaji yang dipotong, gaji yang sama sekali tidak dibayar, dan perampasan gaji oleh pihak agen, padahal ekerja-pekerja rumah tangga juga memiliki keluarga di rumah yang harus dinafkahi.

Salah satu alasan kenapa kekerasan terhadap pekerja rumah tangga terus terjadi adalah adanya diskriminasi pekerjaan dan gender. Pekerja rumah tangga masih dipandang sebagai profesi yang rendah di mata masyarakat lantaran pekerjaan ini tidak membutuhkan latar belakang pendidikan dan ekonomi yang kuat.

Meskipun demikian, pemerintah tak kunjung mengesahkan RUU PPRT.

Staf Pengembangan Kapasitas dan Pengorganisasian Jaringan Nasional untuk Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) Ari Ujianto menduga bahwa orang-orang yang menentang RUU PPRT belum sepenuhnya membaca dan memahami isi RUU ini. Adanya anggota DPR yang menganggap RUU PPRT sebagai undang-undang yang dapat mengkriminalisasikan para majikan pekerja rumah tangga menjadi alasan di balik hal ini.

Sayangnya, pemerintah masih memandang isu ini dari sudut pandang majikan dan pemberi kerja, bukan dari perspektif para pekerja rumah tangga yang mengalami kekerasan. Pekerja rumah tangga termasuk kelompok rentan yang harus dilindungi. RUU PPRT wajib dikawal hingga sah.

Baca juga: Mengenal Sextortion, Ketika Korupsi dan Kekerasan Seksual Bersatu

Kesenjangan Upah dan Pembagian Pekerjaan Berdasarkan Gender

Meskipun perempuan Indonesia sudah lebih maju ketimbang masa lalu, kesenjangan upah antar gender, atau yang juga dikenal sebagai gender pay gap, masih menjadi isu yang tak kunjung luput.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa upah laki-laki lebih tinggi 43% per 2021, sebuah angka yang mengkhawatirkan. Di beberapa tempat, pekerja perempuan dilaporkan menerima upah yang hanya setengah atau kurang dari setengah jumlah upah yang diterima oleh pekerja laki-laki.

Jika diperhatikan, mayoritas perempuan hanya mendapat upah yang besar saat bekerja di industri fashion dan kecantikan. Di bidang-bidang lain, kesenjangan ini sangat menonjol.

Tidak hanya kesenjangan upah, kerap kali kesempatan kerja yang seharusnya diberikan kepada perempuan malah direnggut oleh laki-laki. Masih banyak kasus-kasus perempuan yang tidak bisa bekerja lantaran posisi yang dilamar diberikan kepada laki-laki, padahal secara teknis, kemampuan dan keahlian yang dimiliki keduanya sama. 

Para perempuan ini kemudian ditunjuk untuk pindah ke posisi atau departemen lain yang “lebih cocok untuk perempuan”, seperti customer service dan perawat. Bukan berarti pekerjaan-pekerjaan tersebut lebih rendah, tetapi perlu diingat bahwa angka perempuan yang bekerja di profesi-profesi tertentu, seperti dokter, pengacara, dan politikus, lebih rendah dibandingkan angka laki-laki.

Ini terjadi karena patriarki dan pandangan bahwa laki-laki secara lahiriah lebih kompeten dalam bekerja, baik secara fisik maupun mental, masih menghantui perusahaan-perusahaan besar di Indonesia. Kenyataannya, anggapan bahwa laki-laki lebih cocok untuk menjalankan profesi-profesi penting karena secara biologis mereka lebih kuat dan cerdas sudah basi.

Oleh karena itu, perbedaan upah dan pembagian pekerjaan berdasarkan gender harus segera diselesaikan oleh pemerintah agar kesejahteraan perempuan Indonesia dapat diperbaiki.

Baca juga: Mengenali Taktik DARVO, Strategi Victim Blaming ala Pelaku Kekerasan Seksual

Minimnya Ruang Politik untuk Kempemimpnan Perempuan Masih Dipertanyakan

Posisi perempuan sebagai pemimpin masih diragukan dan dipertanyakan oleh sebagian besar masyarakat, terutama oleh pemerintah Indonesia sendiri. Tidak banyak partisipasi perempuan yang terlihat dalam ranah politik. Ini karena diskriminasi gender dan pemikiran misoginis yang terus melekat di benak masyarakat..

Pada Pemilu 2019, hanya ada 120 dari 575 anggota parlemen yang perempuan atau setara dengan 20,8%. Jumlah ini tidak banyak jika dibandingkan dengan angka laki-laki yang menjabat dalam parlemen.

Acapkali orang-orang memperhatikan aspek lain ketika dihadapkan oleh perempuan-perempuan yang memimpin, seperti penampilan fisik. Tak jarang orang beranggapan bahwa perempuan-perempuan tersebut berhasil dipilih menjadi pemimpin karena paras mereka yang cantik, padahal tidak sembarang orang bisa menjadi pemimpin. Perempuan-perempuan tersebut bisa menjabat karena kemampuan dan kompetensi mereka yang di atas rata-rata.

Stereotipe bahwa perempuan cenderung terlalu emosional untuk memimpin juga merupakan akar masalah ini. Pikiran bahwa perempuan tidak mampu berpikir dengan kepala dingin, tidak bisa bersikap tegas, dan tidak dapat memenuhi kriteria-kriteria seorang pemimpin yang baik menghambat perempuan menjabat sebagai anggota parlemen.

Di era teknologi seperti sekarang, tidak sedikit pemimpin perempuan yang menjadi korban kekerasan berbasis gender online (KBGO). Sri Mulyani merupakan salah satu perempuan yang kepemimpinannya diakui oleh masyarakat. Namun, bukan berarti beliau tidak jauh dari komentar-komentar diskriminatif di media sosial.

Walaupun pemerintah sudah meningkatkan kuota keterwakilan perempuan menjadi 30%, diskriminasi yang didapat oleh para perempuan yang berhasil menjabat tidak hilang. Regulasi atau aturan yang melindungi pemimpin perempuan harus ditegaskan.

Partisipasi politik perempuan masih rendah sampai hari ini. Ekosistem politik Indonesia dinilai belum ramah gender.

Bila ditelusuri lebih lanjut, ada banyak isu gender lainnya yang perlu dibahas. Berbagai persiapan terus dilakukan oleh pemerintah demi Pemilu 2024, tetapi mereka melupakan banyak sekali masalah yang harus diselesaikan sebelum pergantian pemimpin dilakukan.

Kesejahteraan, hak, dan keamanan perempuan Indonesia harus ditingkatkan. Hak perempuan adalah hak manusia. Pada International Women’s Day 2023, mari kita kawal terus hak dan perlindungan untuk seluruh perempuan Indonesia.

Baca juga: Di Tengah Kontroversi Karen’s Diner Indonesia, Ada Isu Emotional Labor yang Masih Diabaikan

Mau berbagi perspektif gender dan ingin tahu informasi mengenai Hari Perempuan Internasional 2023? Yuk, masuk Girls Beyond Circle! Klik di sini untuk bergabung.

Sister Sites Spotlight

Explore Girls Beyond