gagal menampilkan data

ic-gb
detail-thumb

Perempuan dan Stereotipenya

Written by collaborator

Penulis: Hadhira Aulia Tarish
Editor: Zefanya Pardede

Banyak orang yang bilang kalau masa SMA itu masa yang paling indah. Main sama teman-teman sepulang sekolah, pergi keliling kota dengan kekasih tersayang, atau melakukan hal seru lainnya bersama teman-teman. Berbicara soal masa SMA, aku jadi teringat akan kegiatanku di masa SMA dulu, yaitu berorganisasi. Satu hal yang paling aku ingat dari semua memori yang ada adalah hari ketika aku melakukan debat calon ketua majelis perwakilan kelas (MPK). 

Di saat yang sama, aku merasa bersemangat dan gugup waktu itu. Aku berusaha untuk mengatasi kegugupanku dengan berlatih dan mempersiapkan argumen-argumen sebaik mungkin agar bisa tampil maksimal.

Baca juga: Menjadi Career Woman Setelah Menikah, Siapa Takut?

Aku ingat kala itu, kami, para calon ketua MPK, memiliki tim pendukungnya masing-masing. Ternyata, hampir semua temanku memihak pada teman laki-lakiku sebagai calon ketua MPK karena beberapa alasan, seperti aku sebagai perempuan lebih rapi sehingga lebih cocok untuk menjadi sekretaris, aku sebagai perempuan terlalu sensitif dan emosional untuk memimpin, dan lainnya.

Rasanya hari itu semangatku memudar keragukan diriku yang muncul dari penilaian mereka.

Ternyata pengalaman yang pernah kualami termasuk fenomena glass ceiling. Banyak hal yang tanpa sadar menjadi penghambatku sebagai seorang perempuan untuk melakukan lebih, misalnya menjadi seorang pemimpin atau berkarier. Hal-hal ini tak terlihat dengan mata dan tak terucap jelas, tetapi tersirat dan terasa, seperti perspektif sosial mengenai perempuan dengan laki-laki. 

Laki-laki menjadi seorang pemimpin, mereka keren.

Perempuan menjadi seorang pemimpin, mereka bossy

Laki-laki marah, mereka berkuasa. 

Perempuan marah, mereka histeris.

Laki-laki mendapat spotlight, mereka pantas.

Perempuan mendapat spotlight, mereka cari perhatian.

Laki-laki bergaul dengan lawan jenis, mereka hebat.

Perempuan bergaul dengan lawan jenis, mereka murahan.

Perspektif sosial mengenai perempuan dengan laki-laki saja yang sering dihadapi oleh seorang perempuan bukan satu-satunya alasan yang menyebabkan perempuan kehilangan percaya diri dan meragukan potensi dirinya untuk menjadi lebih. Ada pula perspektif sosial yang membandingkan para perempuan karena pilihan yang mereka ambil.

Dengan adanya beragam pilihan di dunia ini, seperti pilihan untuk menjadi seorang dan menjadi perempuan yang feminin atau tidak, rasanya seolah-olah salah jika memilih lebih dari satu pilihan. 

Baca juga: Budaya Patriarki pada Sektor Pekerjaan

Misalnya, seorang independent woman yang kerap dianggap “aneh” karena memiliki kekasih, padahal menjadi seorang independent woman bukan berarti tidak boleh memiliki kekasih. Ada pula perspektif lain yang memandang seolah menjadi alpha woman adalah hal yang keren, tapi nyatanya beta dan omega woman pun juga tidak kalah keren.

Kenapa harus saling membandingkan antar perempuan, ketika semua perempuan keren dengan cara dan gayanya masing-masing?

Bagaimanapun perspektif sosial yang ada, aku rasa seorang perempuan tetap bisa jadi apa pun yang mereka mau. Mau menjadi seorang independent woman atau bukan, mau bekerja atau menjadi seorang ibu rumah tangga, dan hal-hal lainnya, bukanlah sesuatu yang salah. 

Tak apa-apa memilih lebih dari satu peran. Aku juga berharap semua perempuan di Indonesia tidak berhenti berjuang demi mimpi-mimpinya terlepas dari keberadaan perspektif sosial tersebut.

Aku tahu jalannya tidak akan mudah dan butuh waktu lama, tapi aku percaya kita semua bisa melampaui itu semua dan menjadi lebih dari yang diharapkan.