gagal menampilkan data

Article

Menjadi Career Woman Setelah Menikah, Siapa Takut?

Written by collaborator

Penulis: Azka Malaica
Editor: Zefanya Pardede

Sejatinya, terlahir sebagai wanita adalah sebuah anugerah yang tidak tertandingi. Namun, hal ini seakan runtuh ketika menjadi seorang wanita yang tinggal di Indonesia dengan stigma yang melekat kuat dan mengakar.

Ini terbukti dari masih rendahnya dukungan bagi wanita untuk berkarier setinggi-tingginya. Fakta ini pahit, bahwasanya kehidupan wanita seolah berhenti setelah berusia 25 tahun, usia yang dianggap telah berkeluarga. Setelah berkeluarga, wanita seolah-olah diharuskan untuk memilih antara karier atau keluarga.

Pemikiran-pemikiran kuno yang memandang bahwa wanita setelah berkeluarga kodratnya di rumah untuk mengurus keluarga dan urusan dapur masih melekat, padahal wanita dengan kemampuannya dapat melakukan lebih dari itu.

Baca juga: Budaya Patriarki pada Sektor Pekerjaan

Mungkin, bukan masalah yang besar bila memang yang diinginkannya menjadi ibu rumah tangga. Namun, akan menjadi suatu masalah bila seorang wanita yang telah berkeluarga dengan impian berkarier yang tinggi terhalang karena anggapan tersebut. Wanita tampaknya seperti tidak punya pilihan. Berarti menjadi wanita memang harus memilih, ya?

Baik menjadi ibu rumah tangga penuh maupun wanita karier, keduanya sama-sama pekerjaan mulia. Tidak ada yang lebih unggul dan timpang sebelah. Keduanya mempunyai tantangannya dan nilai ekonomisnya masing-masing. Sebagai ibu rumah tangga dengan segudang pekerjaan rumah, rasa lelahnya sama juga dengan wanita karier yang tetap mengurus keluarga.

Apapun itu, rasanya di zaman saat ini anggapan bahwa wanita setelah berkeluarga hanya boleh mengurus pekerjaan domestik. Lebih dari itu, menjadi wanita harus bebas menentukan pilihannya tanpa terkekang stigma apapun. Kuatkan tekad dan percaya bahwa sebagai wanita, bisa kok menjadi apa saja yang diinginkan, apapun pilihannya!

Baca juga: Masihkan Kita Termasuk The Second Sex di Mata AI?

Sebagai seorang wanita dengan jiwa yang masih membara untuk mengeksplorasi banyak hal di masa yang akan datang, saya tidak ingin terkekang oleh pilihan tersebut. Bahkan, rasanya saya tidak perlu memilih jika dapat menjadi wanita berperan ganda.

Kalau bisa melakukan keduanya dengan seimbang, mengapa tidak? Bila selalu saja memikirkan apa yang dipikirkan masyarakat, wanita akan terkurung terus dalam belenggu konstruk sosial yang dibangun masyarakat.

Prinsipnya adalah pentingnya berbagai peran dalam rumah tangga agar tidak terjadinya ketimpangan oleh pihak yang merasa paling terbebani. Kesepakatan ini dapat dibangun sebelum pernikahan sehingga sangat penting untuk selektif dalam memilih pasangan yang dapat mendukung karier.

Baca juga: Gender Gap: Ketimpangan Sistemik yang Menyulitkan Upaya Realisasi Kesetaraan Gender

Setelah menikah, bukan berarti semua mimpi selesai. Justru saya rasa setelah menikah, perjalanan baru saja dimulai. Bukankah menyenangkan bila mempunyai pasangan yang dapat sama-sama mendukung jalannya masing-masing ataupun membangun impian bersama-sama? 

Sister Sites Spotlight

Explore Girls Beyond