Perempuan dan Tuli
Penulis: Aulia Nabila Fal
Editor: Zefanya Pardede
Tuli dalam huruf kapital “T” merupakan sebuah kelompok minoritas bahasa dan budaya yang memiliki nilai, norma, serta bahasa dan perilaku yang sama di budaya Tuli. Salah satunya bahasa yang sering digunakan oleh kelompok Tuli adalah Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO), yang merupakan bagian dari budaya Tuli.
BISINDO ini tentunya memiliki tata bahasa sendiri dan juga dikembangkan berdasarkan budaya, sehingga mampu mempresentasikan budaya Tuli Indonesia. BISINDO ini sangat kaya dalam bahasa, karena memiliki keragaman isyarat dalam logat dan dialek di tiap daerah yang berbeda.
Namun, masyarakat bahkan pemangku kepentingan masih belum mengakui bahwa BISINDO sebagai bahasa. Minimnya pengetahuan tentang dunia Tuli dan BISINDO, dan penerimaan terhadap kehadiran Tuli dengan adanya BISINDO juga masih kurang di Indonesia.
Baca juga: Menjadi Career Woman Setelah Menikah, Siapa Takut?
Sebagai Perempuan Tuli
Menjadi perempuan Tuli adalah sebuah tantangan untuk menghadapi diskriminasi yang cukup kompleks, yaitu audisme dan patriarki. Diskriminasi berlipat dua kali, yaitu Tuli dan perempuan. Seringkali kita dituntut untuk belajar (dengan tanda kutip) berbicara dan perempuan yang diharuskan. Beberapa pernyataan yang sering dilontarkan kepada saya:
“Kamu boleh berbahasa isyarat, tapi tetap berbicara ya, supaya bisa berkomunikasi dengan orang dengar. Mereka bisa berbicara sama kamu. Biar lancar komunikasinya”
“Tuh, perempuan A berbicaranya jelas dan pelan-pelan banget. Ayo, kaya gitu, sama kaya dia. Hebat tuh dia.”
“Gausah bergabung dengan komunitas Tuli, nanti kamu salah pergaulan.”
“Kamu itu perempuan tidak boleh pergi pulang malam-malam, karena kamu itu tidak bisa mendengar. Ibu khawatir!”
Ungkapan-ungkapan yang disebutkan diatas memang terlihat cukup menyebalkan bagi saya. Rasanya ingin menutup mata. Terkadang, hal itu membuatku ingin kabur dari tempat yang jauh untuk mengalirkan air mata sebagai penenang diri. Terkadang, saya harus mencari tempat untuk pulang sebagai rumah yang aman dan nyaman. Saya mempertanyakan diri, mengapa harus mengkotak-kotakan pendengaran dan perempuan dengan ekspektasi dan bias yang tidak masuk akal? Mengapa harus membanding-bandingkan antara perempuan memiliki kemampuan bahasa lisan yang bagus dan perempuan Tuli berbahasa isyarat? Bukankah setiap perempuan Tuli memiliki pilihan masing-masing dalam hidup mereka?
Baca juga: Budaya Patriarki pada Sektor Pekerjaan
Saya memahami bahwa masyarakat dengar ini dipengaruhi oleh adanya kontruksi sosial; mengkotak-kotakan pendengaran dan perempuan. Masyarakat dengar terlalu terpaku dengan kata yang berbicara dibanding bahasa. Artinya, mereka menganggap bahwa BISINDO bukanlah bahasa dan hal yang tidak biasa. Padahal, menurut saya, bahasa bukan tentang berbicara, tetapi tentang bahasa dimana ia mampu menyampaikan sebuah pesan atau ungkapan dengan menggunakan bahasa lisan, tulisan, bahasa Isyarat dan lain-lain. Setiap perempuan Tuli berhak untuk memilih bahasa baik itu BISINDO atau bahasa Indonesia lisan. Saya sangat menghargai kemampuan mereka.
Namun, menurut saya, BISINDO adalah sebuah hak untuk keadilan sosial dalam memperjuangkan hak-hak perempuan Tuli. Terutama mempertahankan bahasa kita untuk mempertahankan harga diri kita. Teruslah berjuang untuk melawan peluru yang ingin menghancurkan jati diri sebagai perempuan Tuli demi keadilan sosial!
Semoga kedepannya BISINDO bisa diakui oleh pemerintah dan bisa menerapkan kurikulum BISINDO dan dunia Tuli ke berbagai sekolah dan penguruan tinggi. Sangat amin!
Selamat Hari Perempuan Internasional, ya!
Comments
(0 comments)