
Nur Giani: Dikunci di Rumah Agar Tidak Ikut Tes PTN, Gap Year Sampai Dua Tahun, hingga Diterima UI
Bagi kebanyakan anak muda Indonesia, masuk perguruan tinggi negeri (PTN) adalah impian. Tak jarang ada orang tua mendorong anaknya untuk mendaftarkan diri masuk PTN terbaik. Ada kebanggaan tertentu yang dirasakan keluarga ketika seorang anak berhasil tembus tes seleksi PTN.
Namun, hal yang sama tidak terjadi pada Nur Giani. Kini, Nur sedang menjalankan studinya di Universitas Indonesia (UI) jurusan Ilmu Gizi. Di usianya yang sudah 21 tahun, Nur masih semester dua kuliah.
Rupanya, ia harus mengambil gap year selama dua tahun supaya lolos tes seleksi. Perjuangannya selama gap year bukan main-main.
Mulai dari kedua orang tuanya yang tidak menyetujui pilihannya untuk masuk PTN, dikurung di rumah supaya tidak bisa menghadiri tes UTBK, hingga akhirnya berhasil diterima FKM UI Ilmu Gizi, ini kisah jatuh bangun seorang Nur Giani.
Diam-diam Belajar UTBK Sejak Kelas 10 SMA
Sejak mulai duduk di bangku SMA, Nur sudah mengenal cita-citanya. Ia tahu betul apa yang ingin dilakukannya setelah lulus. Menjadi ahli gizi merupakan impiannya sejak remaja.
Untuk mencapai cita-cita ini, Nur berniat untuk mengambil jurusan gizi setelah SMA di salah satu PTN ternama di Indonesia. Ia mulai mempersiapkan materi belajar untuk tes UTBK di akhir kelas 10 SMA.
“Di akhir kelas 10 itu aku mulai cari-cari buku latihan UTBK di perpustakaan sekolah, terus aku juga sampai pinjam buku latihan sana-sini ke orang lain untuk belajar.”
Segala rencana untuk kuliah sudah dipersiapkan matang-matang. Namun, ada satu hal yang masih menjadi beban bagi Nur kala itu: restu orang tuanya.
Selama bertahun-tahun, orang tua Nur selalu menganjurkan dirinya untuk melanjutkan studi di sekolah bisnis, seperti kakaknya dan ayahnya. Orang tuanya bahkan mendorong Nur untuk mencari beasiswa di luar negeri agar mendapat gelar bisnis.
Bagi kedua orang tua Nur, seseorang hanya bisa sukses bila jadi pengusaha. Mereka beranggapan bahwa Nur akan mengikuti jejak ayah dan kakaknya di masa depan.
Hal ini membuat Nur harus belajar untuk tes UTBK secara diam-diam. Ia tidak pernah belajar di rumah karena alasan ini. Ia selalu melakukan sesi belajarnya di perpustakaan, kafe, rumah teman, dan di sela-sela kelas.
Dikurung di Rumah Supaya Tidak Bisa Ikut UTBK
Setelah kurang lebih 1,5 tahun merahasiakan persiapannya untuk UTBK dari orang tua, Nur terpaksa berbicara jujur di pertengahan kelas 12 SMA.
“Pertengahan kelas 12 itu momen di mana semua orang hectic untuk persiapan kuliah. Orang tuaku juga mulai bertanya-tanya soal sekolah bisnis mana yang aku pilih. Kena pressure, jadi aku terpaksa harus jujur,” cerita Nur.
Seperti dugaan, reaksi orang tuanya negatif. Nur dibentak dan bahkan dimaki-maki oleh ayah dan ibunya.
“Aku disumpahin nggak sukses lah, bodoh lah, Terus mereka marah-marah. Aku sempat dikasih silent treatment selama seminggu sama Ayah dan Ibu,” katanya.
Nur mengaku bahwa respons orang tuanya membuat dirinya sakit hati. Dirinya sudah bekerja keras sejak awal SMA untuk mengejar cita-cita. Perkataan orang tuanya seolah-olah menyingkirkan segala jerih payah Nur dan menyepelekan impian besarnya.
Namun, Nur tetap melanjutkan persiapannya untuk masuk PTN pilihan hingga akhirnya, hari pelaksanaan tes UTBK pun tiba.
“Aku ingat betul hari itu, tanggal 5 Juli 2020. Aku sudah bangun dari pagi untuk mempersiapkan diri sekali lagi sebelum ujian. Eh, pas mau berangkat, orang tuaku melarang aku keluar,” bicara Nur.
Hari itu, orang tuanya sengaja mengunci pintu rumah dan menyembunyikan kuncinya, termasuk kunci rumah cadangan yang seharusnya dipegang oleh Nur.
Nur menjerit dan menangis, memohon kepada orang tuanya untuk membiarkannya mengikuti tes UTBK yang bertahun-tahun ia pelajari. Orang tuanya seolah-olah tidak mendengar suara Nur dan menyuruhnya untuk diam.
“Aku kehilangan harapan sekali. Nggak bisa ngapa-ngapain. Aku nangis di kamar sampai ketiduran. Aku nggak bisa makan, minum, bergerak saja susah.”
Ia hampir memutuskan untuk menuruti keinginan orang tuanya dan masuk sekolah bisnis setelah insiden tersebut. Akan tetapi, ia tidak ingin perjalanannya berhenti sampai situ saja. Akhirnya, Nur memutuskan untuk mengambil gap year demi mengikuti tes UTBK di tahun depannya.
Tidak Lolos UTBK Meski Sudah Gap Year
Di awal gap year, Nur perlahan kehilangan motivasi belajarnya. Ia mengaku bahwa ia menjadi sering merasa lelah.
“Entah kenapa, aku jadi mudah lelah. Mungkin karena capek hati karena nggak bisa UTBK sebelumnya, terus harus mengulang perjuangan dari awal lagi sambil menghadapi sikap orang tua yang nggak suportif,” ucap Nur.
Untuk mengatasi masalah ini, Nur memvisualisasikan dirinya sebagai ahli gizi sukses. Imajinasi dan visualisasi yang sering ia buat di kepala berhasil mendorongnya untuk terus menghadapi segala cobaan.
“Semacam manifesting, begitu. Aku membayangkan diriku sebagai seorang ahli gizi di masa depan, supaya aku terdorong untuk tetap belajar,” katanya.
Setelah kembali meluangkan hampir satu tahun untuk persiapan seleksi PTN, tiba hari pelaksanaan UTBK Nur yang kedua.
“Aku cukup percaya diri waktu itu. Aku belajar UTBK selama dua tahun ketika SMA, dan ditambah lagi satu tahun saat gap year. Tiga tahun lamanya persiapanku,” jelas Nur.
Nasib berkata sebaliknya. Rupanya, Nur tidak lolos UTBK dan gagal masuk PTN.
“Lagi-lagi aku gagal. Bingung banget harus bagaimana. Tiga tahun perjuangan hangus begitu saja. Ayah dan Ibu langsung bilang kalau aku terlalu memang bodoh untuk jadi ahli gizi,” tuturnya.
Nur memutuskan untuk mengambil gap year sekali lagi. Ia paham bahwa ini merupakan kesempatan terakhirnya untuk menggapai cita-cita. Jika ia gagal lagi, ia harus masuk sekolah bisnis untuk mengikuti kemauan orang tua.
Dalam percobaan terakhirnya mengikuti UTBK, Nur memberikan seluruh tenaga, kemampuan, dan hatinya. Segala usaha Nur terbayarkan ketika ia diterima Universitas Indonesia (UI) setelah dua tahun gap year.
“Aku sangat bahagia. Akhirnya, aku bisa membuktikan kepada orang tuaku bahwa aku masih ada kesempatan untuk jadi ahli gizi. Sekarang, aku sedang menjalankan semester dua jurusan Ilmu Gizi di UI.”
Tidak Malu Paling Tua di Kalangan Maba
Bagi sebagian besar orang, ada rasa malu yang menemani setelah gap year, entah karena FOMO atau merasa tua di antara mahasiswa baru lainnya.
“Aku paham bahwa gap year pasti bikin orang merasa minder atau malu. Aku pun lebih tua dari anak-anak maba lainnya,” jelas Nur.
Namun, Nur tidak menjadikan situasi ini alasan untuk malu. Untuk Nur, perjuangannya selama menjalani gap year dua tahun merupakan hal yang sepatutnya dibanggakan. Ia telah berjuang mati-matian untuk mencapai titik ini.
“Aku gap year dua tahun. Aku lebih tua daripada anak-anak lain di angkatanku. Dua hal ini adalah bukti perjuanganku untuk mengejar cita-cita,” ucapnya.
Perjalanan Nur belum selesai. Masih banyak yang harus dikerjakan untuk menjadi ahli gizi sukses.
“Aku masih banyak belajar. Tapi, ya, ngapain malu gap year?”
Itulah kisah jatuh bangunnya Nur Giani selama dua tahun gap year demi mempersiapkan seleksi masuk PTN. Kalau kamu juga tengah mengambil gap year, jangan pernah putus asa, ya!
Nur Giani bukan satu-satunya perempuan yang sedang berjuang untuk cita-cita. Baca kisah Lina, seorang penyanyi virtual yang sedang membangun karier sebagai mixing engineer.
Mau kenalan dengan cewek-cewek hebat lainnya? Yuk, bergabung ke Girls Beyond Circle sekarang juga!
Comments
(0 comments)