Andrea Caroline: Mengidap Gangguan Bipolar Akibat Kekerasan Orang Tua dan Dirundung karena Status ODGJ
Gangguan bipolar adalah gangguan mental yang identik dengan fluktuasi emosi berlebih, suasana hati, dan memiliki hubungan erat dengan depresi. Kondisi ini bukan sekadar mood swing, melainkan perubahan emosi yang serius dan dapat menyebabkan seseorang untuk melukai diri dan orang lain.
Andrea Caroline pertama merasakan gejala gangguan bipolar saat masih remaja akibat masa lalunya yang sangat traumatis. Ia pun dirawat di rumah sakit jiwa (RSJ) selama tiga tahun dan harus melewati proses pengobatan yang intensif.
Ditambah dengan stigma masyarakat, perundungan dari mahasiswa di kampus, dan sikap dosen-dosen yang merendahkan kemampuannya akibat gangguan bipolar, ini cerita Andrea dan tantangannya untuk pulih.
Kekerasan Fisik dan Verbal dari Ayah
Gangguan bipolar tidak datang dengan sendirinya kepada Andrea. Kondisi ini dipicu oleh beberapa alasan, seperti ketidakseimbangan zat kimia dalam otak, faktor keturunan, obat-obatan dan pengalaman traumatis di masa lalu.
Bagi Andrea, kekerasan yang ia alami saat kecil memiliki peran dalam terpicunya gangguan bipolar.
“Banyak alasan gangguan bipolar, dan sebenarnya nggak bisa diperkirakan juga penyebabnya buat orang lain,” kata Andrea. “Tapi aku yakin bahwa kekerasan yang aku alami dulu bisa jadi alasan yang signifikan.”
Ketika Andrea berusia sembilan tahun, ayah dan ibunya berpisah. Ia dibesarkan oleh ayahnya, dan adiknya oleh ibunya. Namun, di saat adiknya hidup dengan tenang dengan ibunya, ia mengalami kekerasan fisik dan verbal dari ayahnya.
“Aku sering dipukul, didorong, dan dibentak-bentak. Padahal aku nggak ada salah apa-apa. Aku juga sering dikurung dalam ruangan gelap. Benar-benar masa yang paling menyakitkan buat aku,” ceritanya.
Ia tidak memiliki cara untuk menghubungi ibunya untuk meminta bantuan. Pada 2017, ketika ia berusia 15 tahun, ayahnya meninggal dunia. Andrea mengaku bahwa ia merasa terbebaskan setelah ayahnya meninggal dan ia pun hidup bersama ibunya.
Sayangnya, ini hanya awal dari kesengsaraan yang dialami Andrea.
“Traumaku berat banget. Aku mulai merasa tidak baik-baik saja, jadi depresi, aku nggak bisa kontrol emosi, sering bingung, dan badanku ikut sakit,” tambahnya. “Aku pikir aku sudah merasakan neraka waktu sama Papa. Oh, ternyata ada neraka setelah neraka.”
Dirawat di Rumah Sakit Jiwa
Munculnya gangguan bipolar awalnya hanya berupa rasa lelah yang lebih sering dirasakan dari biasanya. Kemudian, gejala tersebut bertambah. Andrea jadi susah mengingat hal-hal sederhana, kehilangan motivasi untuk beraktivitas, dan merasa sedih tanpa alasan.
“Aku jadi kosong. Seolah-olah cuma tubuh manusia yang nggak ada isinya. Jiwa dan pikiranku kayak nggak tahu ke mana. Aku sering nggak sadar kalau aku sudah duduk di posisi yang sama, menatap bagian tembok yang sama, selama berjam-jam,” jelas Andrea.
Awalnya, ia mengira bahwa ia sedang depresi akibat trauma kekerasan. Akan tetapi, ia mulai merasakan perubahan emosi yang tidak normal seiring berjalannya waktu.
“Aku jadi gampang marah dan sedih. Dan tingkat marah dan kesedihannya aneh. Aku merasa pengen pukul tembok, teriak-teriak, bahkan sampai mau melukai diri karena bingung harus diapakan semua emosi ini,” bicaranya.
Emosi yang dirasakan membawa tekanan ke kepala, telinga, leher, bagian tubuh lain. Hal ini membuatnya lelah dengan diri sendiri. Ditambah dengan depresi akibat trauma masa lalu, ia beberapa kali mencoba untuk menyakiti diri.
Pada 2020, ia memutuskan untuk konsultasi ke ahli karena sudah terlalu parah. Ia pun didiagnosis gangguan bipolar.
Andrea diberi obat sesuai dengan resep psikiater. Namun, obat-obat tersebut rupanya tidak cukup. Ia tetap harus dirujuk ke rumah sakit jiwa (RSJ) untuk mendapat penanganan profesional.
“Aku dirawat inap di RSJ. Keluar masuk di sana selama dua tahun demi sembuh. Susah banget perjalanannya,” katanya.
Selama di RSJ, ia menjalankan terapi dan pengobatan yang dibutuhkan sembari kuliah online. Di sana, ia mendapati bahwa stigma masyarakat mengenai gangguan bipolar sangat kuat.
Dirundung Mahasiswa Lain, Direndahkan Dosen
Semasa perkuliahannya, tak jarang Andrea menjadi korban cyberbullying akibat kondisi mentalnya. Ketika informasi mengenai gangguan bipolarnya “bocor” ke mahasiswa lain, ia mendapati bahwa dirinya sering menjadi bahan obrolan.
“Aku nggak tahu gimana caranya mereka bisa tahu soal gangguan aku. Tapi aku sadarnya waktu aku lagi ngomong di Zoom, anak-anak lain suka chat secara publik di chat Zoom,” ucap Andrea. “Katanya, ‘Si freak lagi ngomong,’ terus ‘Ada orang depresi nih’.”
Tidak hanya itu, setiap kali ia mendaftarkan diri untuk menjadi anggota organisasi kampus dan panitia kegiatan mahasiswa, satu pertanyaan yang muncul di setiap rekrutmen adalah: “Memangnya kamu bisa? ‘Kan kamu ODGJ.”
Aktivitasnya sebagai mahasiswi banyak terhadang akibat prasangka orang-orang di kampus, termasuk dosen.
“Dosen sering bilang kalau aku nggak sanggup, nggak aktif di kelas atau nggak mengerjakan tugas juga nggak apa-apa. Aku tahu maksud mereka baik. Tapi mereka nggak sadar bahwa ini justru seolah-olah membenarkan pikiran orang lain bahwa aku lemah dan tidak berdaya,” jelas Andrea.
Mikroagresi yang dibalut dengan “tindakan kebaikan” yang ditunjukan para dosen membuatnya justru terpojok.
“Benar aku ODGJ. Tapi bukan berarti aku nggak bisa beraktivitas dan berkuliah seperti orang lain. Aku masih bisa belajar, aku masih bisa ikut kelas, aku pintar, kok. Kenapa dosen treat aku seperti aku fragile? Kenapa mahasiswa ngira aku freak?” tambahnya.
Hal yang bisa dilakukan oleh Andrea adalah bersabar dan menutup telinga.
“Selama aku nggak peduli dengan mereka, aku fine-fine aja. Setiap dosen pikir bahwa aku lemah, aku selalu mencoba untuk membuktikan kekuatan dan kepintaranku lewat prestasi yang aku raih,” bicara Andrea.
Sudah Membaik, Walau Belum Sepenuhnya Pulih
Pulih dari gangguan mental bukan proses yang instan. Meskipun sudah keluar dari RSJ setelah lima tahun menjalani pengobatan dan berbagai program terapi, Andrea tetap harus berkonsultasi secara rutin dengan psikiater.
“Masih ada beberapa gejala yang belum pergi. Mood aku kadang masih suka ke mana-mana, aku kadang merasakan perasaan depresi secara tiba-tiba. Aku masih butuh konsultasi juga,” katanya.
Namun, ia optimis bahwa kondisinya akan membaik.
“It’s all good. Aku sudah jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya, and I’m getting better every day,” kata Andrea sambil tersenyum.
Ia juga berharap bahwa prasangka dan stigma terhadap ODGJ akan membaik.
“ODGJ juga manusia, mereka bukan freak, mereka bukan abnormal. Mereka juga seperti kita!”
Begitulah kisah pemulihan diri Andrea dari gangguan bipolar dan tantangannya sebagai seseorang yang hidup dengan status ODGJ.
Andrea bukan satu-satunya perempuan yang dalam perjalanan menuju pemulihan. Baca juga kisah pemulihan diri perempuan-perempuan hebat lainnya di sini.
Mau kenalan dengan cewek-cewek keren? Bergabung ke Girls Beyond Circle sekarang!
Comments
(0 comments)