gagal menampilkan data

Article

Bahaya Dampak Kekerasan Seksual: Dari Fisik Hingga Mental

Written by collaborator

Apakah kamu pernah melihat publik melakukan victim blaming alias menimpakan kesalahan pada korban kekerasan seksual? Sayangnya hal seperti ini masih banyak terjadi terutama pada masyarakat yang mendapat pengaruh patriarki yang kuat. Ditambah hukum di Indonesia yang belum berpihak pada korban.

Contohnya kasus Baiq Nuril, seorang pekerja honorer di SMA 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat. Ia adalah korban dari pelecehan seksual yang dilakukan kepala sekolah tersebut yaitu Muslim. Ia memiliki bukti jelas rekaman percakapan telepon yang menunjukkan pelecehan telah terjadi. Namun Baiq Nuril malah dituntut balik dengan UU ITE dan dipenjara.

Seringkali, dampak kekerasan seksual dikecilkan. Kekerasan seksual dianggap tidak merugikan atau membekas pada korban. Teman-teman sudah membaca kasus pelecehan seksual yang dilakukan karyawan Starbucks pada pembeli melalui layar CCTV dan diunggah ke media sosial? Ketika polisi memproses kasus ini, pendapat publik terbelah. Sebagian orang menganggap ini adalah kasus kecil dan pelaku hanya perlu dimaafkan.

Padahal ketika kita menyederhanakan kasus kecil, maka kasus-kasus ini dapat menjadi besar. Pelaku yang merasa bahwa ia bisa lolos dengan mudah dan tidak mendapatkan efek jera. Akhirnya ia berpikir bahwa ia bisa melakukan kekerasan seksual lainnya karena merasa tidak akan mendapatkan hukuman.

M adalah seorang perempuan, ia adalah karyawan retail ternama di Indonesia. Karena tuntutan pekerjaan ia hidup sendiri di ibukota, jauh dari keluarga besarnya. Selama pandemi ia tetap tidak luput dari catcalling. Padahal saat itu ia menggunakan pakaian yang tertutup dan menggunakan masker. Kondisi jalan juga ramai karena berada di area padat penduduk. Ia merasa kesal. Cerita seperti M banyak kita dengar dari kaum perempuan di Indonesia. Dampak fisik memang tidak ada tapi secara mental bekasnya jelas.

Secara umum ada tiga dampak yang dialami oleh korban kekerasan seksual yaitu secara fisik, mental, dan sosial. Tingginya kasus kekerasan seksual di ranah personal terutama yang dilakukan oleh anggota keluarga sendiri —seperti inses— juga memiliki dampak buruk kepada korban. Penelitian yang dilakukan Soetji Andari (2017) menunjukkan korban inses berisiko tertular penyakit seksual. Selain itu ada risiko terjadinya pendarahan internal karena korban tidak memiliki kekuatan melawan pelaku terutama korban yang berusia jauh lebih muda.

Dari segi mental, korban dapat menanggung trauma berkepanjangan. Korban mengalami kemurungan, depresi, dan sulit diajak berkomunikasi. Sementara secara sosial korban mendapat stigma karena masyarakat yang masih patriarki dan sering menyalahkan. Keluarga korban juga dapat dijauhi oleh masyarakat. Berdasarkan penelitian, 80% kasus inses terjadi di dalam rumah. Ini akan membuat korban merasa tidak aman dan mengasosiasikan rumah sebagai tempat kejahatan.

Dampak kekerasan seksual pada korban tidak sebatas penyakit menular seksual saja. Dampak tersebut juga termasuk dengan kehamilan yang tidak diinginkan. Menurut WHO, 17% korban perkosaan di Ethiopia mengalami kehamilan. Sementara di Meksiko korban perkosaan yang hamil mencapai 18% dan di Amerika sebanyak 5%. Risiko jangka panjang adalah korban terpaksa harus menanggung kehamilannya sendiri atau melakukan aborsi ilegal. Pada beberapa kasus seperti inses, korban dipaksa aborsi. Inilah mengapa RUU PKS berupaya menghukum pelaku pemaksaan aborsi.

J bercerita ia terkejut sekali ketika pulang kampung dan mendengar kalau tetangganya menjadi korban perkosaan. Korban dicekoki obat dan alkohol hingga tak sadarkan diri. Pelaku berjumlah 9 orang dan masih di bawah umur. Keluarga pelaku justru mengintimidasi korban. Mereka yakin korban tidak akan berani lapor karena korban dari kalangan tidak mampu. Saat ini korban depresi berat dan tidak mampu menjalani kehidupannya sehari-hari.

Kasus yang diceritakan J banyak terjadi di daerah tersebut. Padahal letaknya tak jauh dari ibukota. Kasus lain dikisahkan oleh D di daerah yang sama juga menggunakan modus operandi serupa. Korban dibuat tidak sadarkan diri sehingga tidak mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Dampaknya korban mengalami pendarahan internal. Luka fisik ini dapat mengancam nyawa korban.

Ini seperti kasus perkosaan yang dialami Yuyun pada tahun 2016 di Bengkulu. Korban meninggal dunia. Pelaku berjumlah 14 orang. Keluarga korban malah diintimidasi hingga harus pindah tempat tinggal. Kasus seperti ini menunjukkan bahaya dari pengaruh budaya patriarki yang mengakar kuat di masyarakat. Walaupun korban meninggal pun ia masih dipersalahkan atas kejadian yang menimpanya. Sayangnya dengan semua kasus yang terjadi, RUU PKS masih belum disahkan.

Perkosaan juga membuat korban berpikir bahwa seksualitasnya tidak bisa dikontrol. Korban perkosaan yang berjenis kelamin perempuan kemudian cenderung tidak menggunakan kontrasepsi. Perkosaan dapat membuat vagina korban mengalami pendarahan, tumbuh daging dalam rahim (fibroid), menurunnya hasrat seksual, rasa sakit saat berhubungan seksual, sakit panggul, dan terkena infeksi saluran kencing.

Korban kekerasan seksual memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk melakukan bunuh diri. Ini karena korban merasa dirinya tidak berharga karena menjadi target kekerasan seksual. RAINN (Rape, Abuse, and Incest National Network) LSM yang berbasis di Amerika menjelaskan bahwa daftar dampak dari kekerasan seksual lebih banyak lagi.

Korban kekerasan seksual dapat mengalami kecenderungan menyakiti dirinya sendiri, mengalami gangguan makan, hingga kesulitan tidur di malam hari. Rasa sedih, takut, marah, frustasi, dan lainnya membuat korban tidak dapat hidup tenang. Korban dihantui rasa marah karena mendapat kekerasan seksual juga frustasi karena tidak dapat menghindarinya.

Perlu digaris bawahi bahwa korban kekerasan seksual tidak selalu perempuan. Laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan seksual. Walau tidak mengalami kehamilan bukan berarti tidak ada dampak yang diterima oleh korban laki-laki. Penelitian yang dilakukan Patrick O’Leary, Scott D. Easton, dan Nick Gould (2015) menunjukkan korban kekerasan seksual yang laki-laki pun merasakan depresi. Ditambah lagi budaya patriarki membuat korban laki-laki merasa lemah.

Masyarakat mengasosiasikan laki-laki sebagai makhluk kuat sehingga menjadi korban mereka merasa gagal memenuhi label tersebut. Ini membuat laki-laki merasa kurang kelelakiannya. Pemikiran ini menyebabkan korban memiliki risiko menyakiti diri sendiri dan melakukan bunuh diri. Korban pun memandang dirinya secara negatif.

Perlu diingat bahwa kekerasan seksual bisa terjadi dimanapun, oleh siapapun, kepada siapapun. Maka dari itu penting bagi kita untuk memahami isu ini lebih dalam. Mulai dari bagaiamana kita bisa melindungi diri sendiri, apa saja bentuk-bentuk kekerasan seksual, hingga apa yang harus kita lakukan jika melihat kasus kekerasan seksual terjadi di sekitar kita. Kalau menurut kamu, penting nggak sih untuk mempelajari lebih dalam tentang isu kekerasan seksual?

Comments

(0 comments)

Sister Sites Spotlight

Explore Girls Beyond