Mengenali Taktik DARVO, Strategi Victim Blaming ala Pelaku Kekerasan Seksual
Girls, sering nggak, sih lihat kasus kekerasan seksual yang viral, tapi ujung-ujungnya korban yang minta maaf? Bahkan kadang korban juga yang dilaporin ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik. Hal ini nggak jarang melahirkan anggapan kalau orang-orang yang mengaku sebagai korban kekerasan seksual cuma cari sensasi dan ada dendam pribadi sama orang yang dituduh sebagai pelaku.
Baca juga: Romantis atau Manipulatif? Yuk, Kenalan dengan Love Bombing!
Mengenal Taktik DARVO
Tahukah kamu bahwa pelaku kekerasan seksual sering menggunakan taktik DARVO? DARVO merupakan singkatan dari deny, attack, and reverse victim and offender. Taktik ini digunakan untuk memanipulasi korban, sehingga seolah-olah kini ia berada pada posisi pelaku, sedangkan pelaku ada di posisi korban.
D: Deny
Ketika korban angkat bicara mengenai kasus yang dialaminya, reaksi spontan yang kerap diberikan oleh pelaku adalah penyangkalan. Mereka menyanggah pernyataan korban dengan kalimat-kalimat seperti,”Itu bohong.” “Aku nggak pernah melakukannya.” “Mana mungkin aku melakukan hal seperti itu?”
A: Attack
Jika menyangkal saja nggak cukup, pelaku akan mulai menyerang korbannya, umumnya secara verbal. Misalnya, menuduh korban punya gangguan kejiwaan, sehingga pernyataannya nggak dapat dipertanggungjawabkan. Pelaku juga seringkali menyerang korban dengan kalimat, seperti,”Kamu nggak menolak waktu itu.” atau,”Kamu yang minta aku melakukannya.”
R: Reverse Victim and Offender
Tahap terakhir dalam taktik DARVO adalah memutarbalikkan posisi korban dan pelaku. Di sini, korban diposisikan sebagai pelaku, dan begitu pula sebaliknya. Ada banyak cara yang dilakukan pelaku untuk memutarbalikkan posisi. Misalnya, menuduh korban punya dendam pribadi dan ingin mencoreng nama baiknya sekaligus menjebaknya.
“Dulu kita memang pernah berhubungan seks, tapi saat itu statusnya kita masih pacaran. Dia ngaku-ngaku diperkosa karena nggak terima putus hubungan denganku.” Itu merupakan salah satu contoh upaya reverse victim and offender yang dilakukan pelaku.
Baca juga: Sulit Lepas dari Toxic Relationship, Bisa Jadi Kamu Terjebak Trauma Bonding
Menurut hasil studi pada tahun 2017, hanya 22% korban kekerasan seksual yang mendengar pernyataan bersalah dari pelaku. Namun, pernyataan tersebut umumnya bersifat sementara. Selanjutnya, pelaku akan melakukan taktik DARVO untuk menyelamatkan dirinya. Dari penelitian tersebut, ditemukan bahwa 44% pelaku melakukan penyangkalan, 22% mengklaim kejadian atau laporan dari korban hanyalah bentuk kesalahpahaman, dan 44% lainnya menuduh korban memiliki gangguan kejiwaan.
Dampak Taktik DARVO
Dalam kata lain, DARVO merupakan strategi victim blaming terhadap korban. Strategi ini kerap berujung dengan permohonan maaf serta penarikan laporan dari korban. Bahkan, nggak jarang victim blaming tersebut berlanjut hingga ke kriminalisasi korban secara hukum. Misalnya, melaporkan korban atas tuduhan pencemaran nama baik atau perbuatan tidak menyenangkan.
Selain itu, korban dapat mengalami reviktimisasi (menjadi korban untuk kedua kalinya) akibat taktik DARVO. Mereka dicibir, dihujat, dan dikucilkan oleh masyarakat. Bahkan mereka dapat kehilangan pekerjaan, diusir dari rumah, dan mengalami berbagai bentuk penyerangan (doxxing, ancaman pembunuhan, teror, dll.).
Berdasarkan studi dari University of California, Santa Cruz pada tahun 2020, taktik DARVO dapat mengubah pandangan partisipan terhadap korban kekerasan seksual. Mereka cenderung lebih skeptis serta menyalahkan korban karenanya. Taktik DARVO dapat membentuk persepsi publik yang keliru terhadap kasus kekerasan seksual. Akibatnya, jika kasus terulang di kemudian hari, publik nggak akan bersimpati atau menganggapnya serius.
Dari segi korban, taktik DARVO juga dapat memengaruhi persepsi mereka terhadap diri sendiri. Mereka kerap melakukan second guessing hingga gaslighting terhadap diri sendiri. Hal ini dapat mempersulit pemulihan trauma dalam diri korban. Bahkan korban bisa mengalami gangguan jiwa berat dan memiliki keinginan bunuh diri.
Taktik DARVO Menyulitkan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual
Ironisnya, taktik DARVO bisa dikatakan cukup “efektif” dalam upaya victim blaming di Indonesia. Hal ini salah satunya didukung oleh hukum Indonesia yang masih diskriminatif gender. Meski UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) telah disahkan sejak tanggal 12 April 2022, tetapi implementasinya masih jauh dari ekspektasi. Baru-baru ini, korban pemerkosaan di Kementerian Koperasi dan UKM dipaksa untuk menikahi pelaku. Bahkan aparat kepolisian diduga terlibat dalam upaya membujuk korban untuk menikahi pelaku.
Taktik DARVO juga sering digunakan oleh pelaku kekerasan seksual yang berasal dari kalangan terpandang, seperti pejabat atau selebriti. Mereka memanfaatkan ketimpangan relasi kuasa yang ada untuk menindas korban. Umumnya, selebriti memiliki basis penggemar yang cukup loyal, bahkan tak sedikit yang rela membela idolanya mati-matian. Loyalitas dan simpati penggemar sering dimanfaatkan oleh selebriti dalam melancarkan taktik DARVO.
Baca juga: Halu Pacaran sama Idola Wajar Nggak, Sih? Serba-serbi Hubungan Parasosial ala Penggemar K-Pop
Melawan Taktik DARVO
Ada banyak hal yang bisa kamu lakukan untuk melawan taktik DARVO. Jika kamu ada di posisi korban, pastikan bahwa kamu menyimpan semua bukti kekerasan seksual yang telah terjadi. Misalnya, jika kekerasan dilakukan secara online, simpanlah bukti dalam bentuk tangkapan layar (screenshot) atau rekaman audiovisual.
Apabila kekerasan terjadi secara langsung, usahakan untuk segera melakukan visum di fasilitas kesehatan terdekat. Saat ini, beberapa fasilitas kesehatan maupun lembaga bantuan korban kekerasan telah menyediakan layanan visum gratis untuk korban kekerasan seksual. Alat bukti tersebut berguna untuk memperkuat laporanmu, serta mempersempit celah pelaku untuk melakukan victim blaming.
Selanjutnya, pastikan bahwa kamu berada di tempat yang aman dari jangkauan pelaku. Sebab, nggak jarang pelaku melakukan teror atau penyerangan secara langsung terhadap korban. Kamu bisa mengamankan diri di tempat tinggal keluarga atau teman yang kamu percayai. Selain itu, kamu juga bisa pergi ke rumah aman yang disediakan oleh lembaga bantuan korban kekerasan. Kamu bisa mengakses informasi mengenai rumah aman terdekat di daerahmu melalui website Cari Layanan.
Menjadi Support System bagi Korban
Jika kamu ada di posisi orang awam, kamu bisa terus menyebarkan informasi seputar isu kekerasan seksual, termasuk taktik DARVO. Hal ini guna membangun kesadaran masyarakat akan realita kekerasan seksual yang selama ini terjadi. Semakin banyak orang yang paham mengenai taktik DARVO, maka semakin banyak pula yang akan tetap mendukung korban meski pelaku berusaha keras untuk melakukan victim blaming.
Kamu juga bisa menjadi support system bagi para korban kekerasan seksual. Berikanlah ruang aman bagi mereka untuk berbagi cerita mengenai pengalamannya. Selain itu, kamu juga bisa membantu menghubungkan mereka dengan lembaga bantuan korban kekerasan, mulai dari LBH, polisi, rumah aman, fasilitas visum, hingga psikolog.
Perlawanan terhadap kekerasan seksual membutuhkan upaya kolektif. Semua orang harus sama-sama terlibat dalam menekan angka kekerasan seksual dan meningkatkan kesadaran publik akan pentingnya kesetaraan gender. Maka dari itu, yuk kita sama-sama ciptakan dunia yang lebih inklusif dan setara!
Baca juga: Mahsa Amini Protest dan Pergerakan Perempuan yang Mengubah Dunia
Kalau kamu butuh safe space untuk bicara seputar kekerasan seksual dan women empowerment, kamu bisa bergabung dengan Girls Beyond Circle. Klik di sini untuk join, ya!