Rekomendasi Novel yang Angkat Tema Feminisme
Katanya, feminisme adalah topik yang berat dan serius. Jadi, cuma orang yang pintar aja yang bisa mempelajari feminisme. Waduh, apakah benar seperti itu, girls?
Tentu saja nggak, dong! Belajar feminisme nggak melulu harus teoritis, kok! Kamu bisa mempelajari nilai-nilai feminisme, maupun isu-isu seputar kesetaraan gender melalui media fiksi. Berikut adalah sejumlah novel bertema feminisme yang direkomendasikan untukmu:
Baca juga: Para Perempuan Pembela HAM yang Mengubah Dunia
“Perempuan di Titik Nol”, Nawal El Saadawi
Firdaus merupakan seorang anak petani yang miskin. Meski begitu, ia adalah anak yang cerdas dan rajin Di usia yang masih sangat belia, Firdaus telah mengalami pelecehan seksual oleh temannya sendiri. Namun, ia memilih untuk bungkam. Ketika orang tua Firdaus meninggal, ia tinggal bersama pamannya di Kairo yang kemudian sering melecehkannya. Lagi-lagi, Firdaus memilih untuk tak ambil pusing, sebab sang pamanlah yang membiayai pendidikannya.
Setelah Firdaus lulus, sang paman beserta istrinya menikahkan perempuan muda itu dengan seorang pria tua, lantaran tak sanggup lagi menanggung biaya hidupnya. Firdaus terpaksa menerimanya, dan benar saja, setelah menikah ia justru menjadi korban KDRT oleh sang suami. Akhirnya, Firdaus memutuskan untuk kabur dari rumah. Ia kemudian menjadi pekerja seks untuk menghidupi dirinya sendiri.
Novel “Perempuan di Titik Nol” terinspirasi dari kisah nyata Nawal El Saadawi ketika bertemu dengan seorang narapidana di Penjara Qanatir. Narapidana tersebut merupakan pekerja seks yang divonis hukuman gantung. Di novel ini, Nawal El Saadawi mengisahkan bagaimana perempuan, terutama di Mesir, selalu menjadi warga kelas dua yang hidup di bawah penindasan patriarki.
“Cantik Itu Luka”, Eka Kurniawan
Sejak kecil, Dewi Ayu tak pernah merasakan kasih sayang orang tua akibat perkawinan sedarah yang membuat keduanya diusir dari rumah. Ia pun diasuh oleh kakek-neneknya, dan tumbuh menjadi gadis yang pemberani. Ketika ia ditawan oleh tentara Jepang, Dewi Ayu merelakan kesuciannya demi membantu temannya di barak penampungan.
Dua tahun kemudian, ia bersama belasan gadis lainnya dipindahkan ke sebuah rumah bordil yang dikelola oleh Mama Kalong. Sejak saat itu, Dewi Ayu menjadi pekerja seks. Namanya tenar di kalangan tentara Jepang yang menjadi pelanggannya.
Dewi Ayu memiliki empat orang putri dari profesinya sebagai pekerja seks. Sebagaimana dirinya, tiga putri Dewi Ayu memiliki paras yang rupawan. Ketika Dewi Ayu melahirkan anak keempatnya, ia meninggal sebelum sempat melihat wajah sang anak. Namun, ia sempat memberinya nama Si Cantik. Ironisnya, Si Cantik memiliki paras yang buruk rupa. Ia pun menjalani kehidupan yang penuh luka karena memiliki nama dan wajah yang sangat kontradiktif.
Baca juga: Lagu-lagu tentang Self Love yang Bisa Membangun Kepercayaan Dirimu Lagi
“Kim Ji-young, Born 1982”, Cho Nam-ju
Kim Ji-young, seorang perempuan di usia 30an, baru saja meninggalkan kariernya demi mengasuh sang anak yang baru saja lahir. Namun, lambat laun Ji-young menunjukkan gejala gangguan jiwa. Suaminya yang khawatir pun memeriksakan Ji-young ke psikiater. Dari situ, terungkaplah hal-hal dalam hidup Ji-young yang selama ini tampak biasa saja, tetapi ternyata berdampak pada kesehatan mentalnya.
Sejak kecil, Ji-young selalu menjalani hidup yang biasa-biasa saja. Namanya, Kim Ji-young, merupakan nama yang pasaran di Korea Selatan. Orang tuanya selalu menganakemaskan adik laki-lakinya. Ia adalah mahasiswi yang tidak pernah direkomendasikan untuk magang di perusahaan ternama, dan pegawai teladan yang tidak pernah mendapatkan promosi. Seumur hidup, Ji-young dikelilingi oleh laki-laki yang selalu menuntut dan mengaturnya. Salah satunya adalah sang suami yang menginginkan agar Ji-young mengorbankan kariernya demi keberlangsungan rumah tangga mereka.
Novel “Kim Ji-young, Born 1982” memotret realita kehidupan perempuan di Korea Selatan yang terhimpit oleh nilai-nilai patriarki. Saat ini, Korea Selatan dikenal sebagai salah satu negara dengan kemajuan teknologi dan ekonomi yang paling pesat di dunia. Namun, di sisi lain, ada diskriminasi berbasis gender yang secara terang-terangan dinormalisasi di tengah masyarakat.
Baca juga: 5 Perempuan dari Drama Korea Ini Nggak Kalah Hebat dari Queen Hwa-ryeong
“Pasung Jiwa”, Okky Madasari
Sejak kecil, Sasana selalu merasa seluruh hidupnya adalah perangkap. Bahkan tubuhnya yang berjenis kelamin sebagai laki-laki ia sebut sebagai perangkap pertamanya. Ia hidup di dunia yang sangat maskulin, padahal sejatinya Sasana menyukai segala yang berbau feminin.
Saat duduk di bangku kuliah, Sasana bertemu dengan seorang pengamen bernama Jaka Wani atau Cak Jek. Bersama Jaka Wani, Sasana menemukan identitas sejatinya, sosok feminin bernama Sasa. Ia mulai sering berdandan dan memakai pakaian yang mencolok, lalu ikut mengamen bersama Jaka Wani.
Sesuai judulnya, novel “Pasung Jiwa” mengisahkan tentang jiwa-jiwa yang terperangkap oleh konstruksi sosial, budaya, dan ekonomi. Meski fokus utamanya adalah karakter Sasana dan Jaka Wani, tetapi novel ini juga menceritakan tokoh-tokoh lain yang memiliki belenggu jiwanya masing-masing.
“Bumi Manusia”, Pramoedya Ananta Toer
Novel “Bumi Manusia” memang tidak secara khusus membahas isu-isu feminisme. Namun, persoalan gender diangkat oleh Pramoedya Ananta Toer melalui karakter Nyai Ontosoroh. Lahir dengan nama Sanikem, Nyai Ontosoroh dijual oleh ayahnya sendiri kepada atasannya di pabrik gula. Atasannya merupakan seorang pria kulit putih bernama Herman Mellema, yang juga memiliki perusahaan susu “Mellema Melk”.
Herman Mellema mengajari Nyai Ontosoroh banyak hal, mulai dari baca-tulis, Bahasa Belanda, hingga manajemen perusahaan. Keduanya memiliki anak blasteran Jawa-Belanda, Robert dan Annelies. Meski keluarga kecil mereka hidup harmonis, tetapi Nyai Ontosoroh tak pernah dinikahi secara resmi, alias berstatus sebagai gundik.
Ketika Herman Mellema ditemukan tewas akibat keracunan opium, Nyai Ontosoroh berada dalam bahaya. Ia tak hanya dituduh sebagai pembunuh Herman, tetapi juga terancam kehilangan hak asuhnya atas Annelies. Namun, Nyai Ontosoroh dengan tegar dan tangguh melawan pengadilan Belanda yang terkenal diskriminatif terhadap pribumi. Bagi Nyai Ontosoroh, ketika ia melawan, ia tak benar-benar kalah. Sebab, ia telah berusaha memperjuangkan apa yang menjadi haknya.
“Lebih Senyap dari Bisikan”, Andina Dwifatma
Amara dan Baron merupakan sepasang kekasih yang masih duduk di bangku perkuliahan. Keduanya memiliki idealisme yang sama, yaitu tetap fokus pada karier dan tidak disibukkan dengan tetek-bengek mengurus anak ketika telah menikah nantinya. Namun, realita ternyata tak selalu sejalan dengan keinginan. Mereka selalu didesak untuk segera memiliki momongan, terutama Amara. Akhirnya, Amara dan Baron memutuskan untuk mempunyai anak.
Ternyata, masalah tak lantas selesai dengan lahirnya anak Amara dan Baron. Menjadi orang tua baru membuat Amara jatuh ke dalam depresi dan Baron harus mati-matian menahan egonya sebagai laki-laki. Belum lagi, kondisi finansial mereka yang tadinya baik-baik saja kini hancur berantakan. Keduanya terpaksa pindah rumah ke lingkungan yang lebih kumuh, yang semakin berdampak negatif pada kesehatan mental Amara.
Melalui karakter Amara, Andina Dwifatma mengajak pembaca untuk menilik realita kehidupan seorang perempuan yang jauh berbeda daripada laki-laki. Perempuan ditekan dengan berbagai konstruksi sosial seputar ketubuhannya: hamil, melahirkan, menjadi ibu, mengurus rumah tangga, dan sebagainya. Tak jarang, perempuan sampai kehilangan dirinya sendiri akibat terlalu sibuk menuruti tuntutan sosial, seperti yang terjadi pada Amara.
“Dominicana”, Angie Cruz
Ana Cancion adalah seorang remaja perempuan yang menghabiskan seluruh hidupnya di daerah pinggiran Republik Dominika. Suatu hari, pria yang jauh lebih tua darinya, Juan Ruiz, berjanji akan menikahi dan memboyong Ana ke Kota New York, Amerika Serikat.
Ana yang melihat pernikahan tersebut sebagai kesempatan untuknya mewujudkan “American dream” lantas mengiyakan lamaran Juan. Di hari pertama tahun 1965, Ana bertolak ke Washington Heights dan memulai hidup baru sebagai ibu rumah tangga, Nyonya Ana Ruiz. Ternyata, kehidupan barunya tak seindah ekspektasinya. Ana sering merasa kesepian dan berkali-kali ingin kabur, tetapi selalu ditahan oleh adik iparnya, Cesar.
Situasi politik Republik Dominika yang kacau membuat Juan terpaksa pulang kampung untuk menyelamatkan aset keluarganya. Ia meninggalkan Ana bersama dengan Cesar di Amerika Serikat. Seketika, Ana merasa hidupnya jauh lebih bebas tanpa kehadiran sang suami. Ia mengikuti kursus Bahasa Inggris di gereja setempat, jalan-jalan ke pantai di Pulau Coney, berdansa dengan Cesar, dan sebagainya. Ketika Juan kembali, Ana dihadapkan dengan pilihan untuk mengikuti kata hatinya atau mengemban tanggung jawabnya kepada keluarga.
Baca juga: Rekomendasi Bacaan Non-Fiksi Seputar Feminisme yang Ringan tapi Berbobot
Itulah beberapa novel bertema feminisme yang wajib kamu baca. Nggak cuma bikin feminisme jadi lebih asyik dipelajari, tetapi novel-novel di atas memberikan representasi atas realita diskriminasi berbasis gender yang ada di sekitar kita. Selamat membaca, girls!
Kalau kamu pengen ngobrol seputar women empowerment dan berbagi rekomendasi bacaan, yuk bergabung dengan Girls Beyond Circle! Klik di sini untuk join, ya!
Comments
(0 comments)