gagal menampilkan data

ic-gb
detail-thumb

Danya Tjokroardi: Aktivis Muda Pembangun Media Digital We The Genesis di Usia 14 Tahun

Written by Zefanya Pardede

Kesenjangan, kemiskinan, dan ketidakadilan menjadi beberapa masalah terbesar di Indonesia. Sistem politik Indonesia juga merupakan siklus korupsi yang tak ada habis-habisnya. Korbannya? Lagi-lagi rakyat. Danya paham betul isu-isu ini.

Di usianya yang baru mencapai 14 tahun, Danya Tjokroardi tidak tahan tinggal diam. Gadis muda ini tersulut dengan suatu keinginan untuk mengubah kondisi negara dan nasib masyarakat sekitar.

Karena itu, lahirlah We The Genesis, sebuah media digital yang dipimpin sepenuhnya oleh Gen-Z sekaligus suatu komunitas yang menjadi ruang bagi anak-anak muda yang ingin menjadi agen penggerak perubahan. Danya, dengan bantuan seorang temannya yang bernama Loretta Adella, membangun media ini dari nol pada 2020.

Tiga tahun pun berlalu dan kini Danya hampir berumur 17 tahun. Dengan lebih dari 15.000 pengikut, We The Genesis telah menjadi salah satu koran digital bilingual dan komunitas aktivisme yang banyak dikenal oleh generasi sekarang. 

Danya menceritakan perjalannya sebagai aktivis muda yang ingin mengubah negara melalui We The Genesis dan pandangan-pandangannya terkait peran generasi sekarang sebagai penerus bangsa.

Baca juga: Sherina Munaf dan Sederet Artis Indonesia yang Jadi Aktivis

Mulai Tertarik Isu Sosial Sejak Pandemi

Danya (kanan) sedang mewawancarai Menteri Lingkungan Pertama Emil Salim (kiri).

Danya sudah dari dulu peduli tentang masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya. Akan tetapi, semenjak krisis Black Lives Matter yang merambat dari AS ke muka internasional dan maraknya masalah RUU PKS yang dinilai merugikan rakyat menjadi topik pembicaraan pada 2020, siswi SMA ini tergerak untuk mendalami isu-isu sosial yang ada.

Danya mengaku bahwa pandemi COVID-19 membuat dirinya semakin mengenali kondisi negara dan dunia akibat paparan internet selama masa PPKM.

“Masa pandemi membuka mataku terhadap banyaknya masalah yang harus dibicarakan dan diselesaikan. Aku sendiri mulai tertarik untuk aktif berpartisipasi dalam advokasi sejak COVID-19,” ucap Danya.

Namun, satu hal yang benar-benar membuatnya memutuskan untuk mengikuti jalan ini adalah pengalaman-pengalamannya ketika bertemu dengan berbagai macam orang dari berbagai macam latar belakang budaya, ekonomi, pendidikan, dan agama.

Hal ini karena seumur hidupnya, Danya tinggal di sebuah lingkungan yang masyarakatnya semua terkesan “sama”.

“Aku tinggal di lingkungan yang homogen. Kami pergi ke sekolah yang sama, berdoa dengan cara yang sama, rumah kami modelnya mirip-mirip, fitur fisik kami pun juga mirip lantaran satu budaya. Very suburban.” katanya.

Dengan setiap cerita yang ia dengar, keinginannya untuk melakukan sesuatu semakin meningkat. Menurutnya, mendengar adalah awal dari kesadaran.

“Karena kami semua ‘sama’, masalah yang orang sekitarku hadapi pun tidak jauh berbeda dari masalahku sendiri. Duniaku hanya sebatas lingkunganku. Melangkah keluar untuk bertemu dan mendengarkan cerita orang menjadi salah satu keputusan terbaikku,” tambahnya.

Danya sadar bahwa hanya membaca informasi di berita terkait isu-isu yang ada dan mendengarkan kisah-kisah orang lain tidaklah cukup. Perlu ada tindakan nyata yang harus dilakukan jika ingin ada perubahan.

Baca juga: Di Tengah Kontroversi Karen’s Diner Indonesia, Ada Isu Emotional Labor yang Masih Diabaikan

We The Genesis Sebagai Upaya Perubahan

Logo We The Genesis

Di akhir 2020, Danya bertekad untuk membentuk suatu platform yang mampu meningkatkan kesadaran dan empati orang serta langkah pertama dalam misi perubahannya. We The Genesis muncul sebagai wujud dari upaya ini.

Sebagai media digital, kegiatan utama We The Genesis adalah menyebarkan informasi yang dapat dipahami dan dicerna oleh publik. Medium utama mereka adalah melalui media sosial, seperti Instagram, YouTube, dan TikTok. Unggahan-unggahan We The Genesis dipenuhi oleh berita terkini mengenai sosial, politik, ekonomi, gender, hak asasi manusia (HAM), dan lingkungan.

Selain itu, We The Genesis juga telah banyak berkolaborasi dengan organisasi-organisasi sosial lainnya dalam berbagai kegiatan dan program kerja. Acara-acara yang dibuat pun beraneka ragam, mulai dari workshop, seminar yang mendatangkan figur-figur berdampak, dan program multimedia.

Akan tetapi, Danya menilai bahwa semua ini tidak cukup.

“Skala pengaruh yang diberikan We The Genesis tidak bisa diukur dari berapa followers yang kami miliki dan berapa program kerja yang sudah dijalankan. Harus terjun ke lapangan untuk benar-benar membawa dampak,” jelas Danya. 

Danya dalam salah satu kegiatan kunjungannya.

Akhirnya, Danya beserta timnya meluncurkan We The Future, sebuah kegiatan sosial yang juga menjadi salah satu program kerja media digital ini.

Pandemi membuat segala sesuatu menjadi serba virtual. Sayangnya, masih begitu banyak anak yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan eksplorasi diri, mendapat akses informasi, dan tidak mampu membuka pintu-pintu kesempatan yang seharusnya bisa dibuka oleh kehadiran internet. Ini membuat dirinya prihatin.

“We The Future dibuat sebagai program kerja yang berupaya untuk meningkatkan digital literacy anak-anak, terutama mereka yang underprivileged.”

Dalam program kerja We The Future, anggota-anggota We The Genesis pergi ke panti asuhan, sekolah-sekolah, dan rumah belajar untuk mengajarkan anak-anak cara menavigasi internet dan menggunakan komputer secara umum.

“Mudah-mudahan ke depannya kalau sudah bisa mengumpulkan dana yang cukup, kami juga ingin mendonasikan gawai untuk mereka,” tutur Danya.

Baca juga: Mengenal Sextortion, Ketika Korupsi dan Kekerasan Seksual Bersatu

Usia Hanyalah Angka

Danya dalam kunjungannya ke Sekolah Alternatif Anak Jalanan (SAAJA).

Danya membangun We The Genesis saat ia berusia 14 tahun. Fakta ini mungkin mengagetkan bagi banyak orang, tetapi hal ini menjadi bukti bahwa semua orang, terlepas dari usianya, mampu menjadi roda penggerak.

“Perubahan tidak tergantung pada usia. Bagiku, justru lebih penting kalau anak muda yang terlibat dalam hal-hal ini,” katanya. “Saat zaman kemerdekaan, bukankah pemuda-pemudi yang justru paling menginginkan revolusi?”

Satu hal yang membuat Danya kecewa adalah hilangnya rasa kepedulian ini di tengah para Gen-Z. Seringkali Danya mendengar ucapan-ucapan, seperti “Nggak sabar untuk keluar dari Indonesia,” atau “Kenapa, sih, Indonesia nggak seperti negara lainnya?”

“Membandingkan Indonesia dengan negara-negara maju, seperti AS atau Tiongkok yang sudah bergerak maju jauh lebih duluan—itu tidak adil” kata Danya. “Tidak banyak anak muda paham ini. Alhasil, mereka tidak peduli dengan negara.”

Danya juga menjelaskan bahwa kelak ketika Indonesia mencapai titik kejayaannya di masa depan, saat itulah generasi ini menjabat sebagai menteri, menjadi CEO, dokter, pengacara, seniman, penyanyi, dan hal-hal besar lainnya.

“Kita ditakdirkan untuk menjadi future leaders. Dan ketika kita tidak bisa peduli untuk mengatasi masalah yang terjadi sekarang, inilah yang akan menjadi tonggak dari kegagalan kita di masa yang akan datang,” paparnya.

Oleh sebab itu, Danya mendorong semua generasi muda untuk tidak hanya meningkatkan kesadaran mereka, tetapi juga untuk belajar berempati dengan kejadian-kejadian yang sedang dihadapi masyarakat sekarang.

Baca juga: Mengenali Taktik DARVO, Strategi Victim Blaming ala Pelaku Kekerasan Seksual

Ingin Menjadi Menteri

Danya (kiri) di F20 Climate Change Solutions Forum 2022.

Danya berharap bahwa di masa depan, We The Genesis bisa menjadi katalis yang lebih besar bagi Gen-Z. Ia ingin We The Genesis untuk tumbuh semakin luas agar bisa merangkul seluruh Indonesia.

“Kami merasa bahwa mindset adalah hal yang paling sulit untuk diubah, jadi kami sedang dalam proses mencari cara terbaik untuk mengubah mindset anak muda,” jelasnya.

Tidak hanya itu, Danya juga memiliki satu mimpi besar: Menjadi seorang menteri.

“Aku memiliki visi besar untuk Indonesia dan dunia. Menurutku, penting bagi orang-orang seperti kita untuk bermimpi besar. Aku pribadi mau terjun ke politik,” ucap Danya. “Kelak, aku ingin menjadi menteri.”

Danya bercerita bahwa keinginan ini sering disikapi secara negatif. Keluarganya kerap berkata pada dirinya bahwa meniti karier di bidang politik merupakan hal yang rumit dan berbahaya. Banyak orang juga berpendapat bahwa mencoba untuk mengubah kondisi Indonesia sangat percuma karena politik di sini sudah terlalu kotor.

Namun, ia tetap bertekad untuk mengejar cita-citanya.

“Jika orang-orang yang peduli terus menghindar atau terlalu takut dengan politik Indonesia untuk melakukan perubahan, maka orang-orang licik yang sama seperti sekarang akan memimpin negara. Masalah yang sama akan terjadi kembali dan orang yang sama akan menjadi korbannya,” bicara Danya.

Akan tetapi, Danya juga beropini bahwa seseorang tidak harus terjun ke politik untuk memperbaiki negara. Siapa pun bisa menjadi penggerak terlepas dari pekerjaan mereka.

“Orang-orang tidak harus memiliki pekerjaan tertentu untuk mengubah dunia. Kita bisa menjadi apa saja selama kita memiliki hati yang mau peduli pada rakyat.”

Baca juga: Para Perempuan Pembela HAM yang Mengubah Dunia

Demikian perjalanan Danya membangun We The Genesis dan kegiatannya seputar aktivisme. Perjalanannya tidak hanya sampai sini saja, masih banyak misi yang ia ingin selesaikan. Harapannya, generasi muda bisa memiliki tekad yang sama.

Ingin berbagi pengalaman dan pandangan soal isu sosial? Mari bergabung ke Girls Beyond Circle. Klik di sini untuk bergabung.