Di Tengah Kontroversi Karen’s Diner Indonesia, Ada Isu Emotional Labor yang Masih Diabaikan
Belakangan ini, Karen’s Diner tengah ramai diperbincangkan masyarakat Indonesia. Franchise restoran asal Australia tersebut baru saja membuka cabang pertamanya di Indonesia. Ia berkolaborasi dengan restoran burger Indonesia, Bengkel Burger yang berlokasi di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Sayangnya, kehadiran Karen’s Diner Indonesia diwarnai berbagai kontroversi. Misalnya, menyebut wajah pelanggan mirip pantat panci dan mengobok-obok minuman yang mereka pesan. Dalam sekejap, Karen’s Diner Indonesia pun banjir kecaman publik. Banyak orang merasa konsep pelayanan buruk yang mereka terapkan nggak sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di tengah masyarakat Indonesia. Alih-alih menghibur, pelayanan Karen’s Diner Indonesia justru dicap kurang ajar dan norak.
Karen’s Diner: Great Food, Terrible Service
Karen’s Diner merupakan franchise yang masih sangat muda karena baru dibuka sejak tahun 2021. Namun, popularitasnya berhasil membuat franchise besutan Aden Levin dan James Farrel tersebut melebarkan sayap ke berbagai negara, termasuk Indonesia.
Karen’s Diner terinspirasi dari nama “Karen” yang beberapa tahun belakangan menjadi bulan-bulanan di internet. Karen merupakan istilah yang merujuk pada perempuan kulit putih yang suka bersikap kasar, arogan, dan diskriminatif. Penggunaannya bermula dari seorang pria yang sering curhat di platform Reddit tentang mantan istrinya yang bernama Karen.
Karen’s Diner terkenal karena mengangkat konsep “great food, terrible service” (“makanan enak, pelayanan buruk”). Ketika berkunjung ke restoran, biasanya kamu akan disambut oleh pelayan yang tersenyum lebar dan menyapamu dengan ramah. Namun, jangan harap kamu akan menemuinya di Karen’s Diner. Di sana, kamu justru akan mendapatkan tatapan sinis, cemooh, hingga acungan jari tengah.
Pelanggan pun diizinkan untuk membalas perlakuan pelayan terhadapnya. Meski begitu, Karen’s Diner melarang keras hinaan yang bersifat rasis, seksis, homofobik, dan body-shaming. Baik pelayan maupun pelanggan juga dilarang melakukan tindak kekerasan, pelecehan, maupun perusakan properti.
Emotional Labor dalam Jasa Pelayanan
Profesi pelayanan seperti pelayan restoran, resepsionis hotel, atau awak kabin identik dengan keramahtamahan yang ditunjukkan kepada klien. Mereka juga kerap dituntut untuk tetap bersikap tenang dalam situasi-situasi sulit. Bahkan nggak jarang mereka harus tetap tersenyum meski dimaki dan diperlakukan kasar oleh klien.
Itulah sebabnya nggak sedikit orang yang beranggapan menjadi pelayan di Karen’s Diner adalah pekerjaan yang menyenangkan. Tak seperti restoran kebanyakan, prinsip “pelanggan adalah raja” atau “pelanggan selalu benar” sama sekali nggak berlaku di sana. Kamu nggak perlu pura-pura ramah atau mengumbar senyum palsu. Bahkan kamu bisa sekalian meluapkan emosimu dengan bekerja sebagai pelayan Karen’s Diner.
Faktanya, anggapan tersebut tak sepenuhnya benar. Layaknya pelayan pada umumnya, para pelayan di Karen’s Diner pun nggak luput dari persoalan emotional labor. Emotional labor merupakan sebuah proses mengelola perasaan dan ekspresi sebagai bagian dari kriteria pekerjaan. Hal ini umumnya dialami oleh seseorang yang bekerja di sektor jasa pelayanan, di mana emosi dan ekspresi merupakan bagian dari jasa yang dijual kepada klien. Meski begitu, emotional labor juga dibutuhkan dalam relasi dengan rekan kerja, mitra kerja, maupun atasan dan bawahan.
Baca juga: Waspadalah! Ini 10 Red Flags Pertanda Kamu Terjebak di Lingkungan Kerja yang Toxic
Istilah emotional labor pertama kali dicetuskan oleh sosiologis Amerika Serikat, Arlie Hochschild. Istilah tersebut muncul dalam bukunya, “The Managed Heart: Commercialization of Human Feeling” (1983). Saat itu, Hochschild menyebutkan bahwa emotional labor hanya berlaku di tempat kerja. Seiring berjalannya waktu, emotional labor dikatakan dapat berlaku pula dalam hubungan personal dengan keluarga, teman, maupun pasangan.
Sebelumnya, telah disebutkan bahwa pelanggan di Karen’s Diner boleh membalas perlakuan kasar para pelayan di sana. Para pelayan di Karen’s Diner dituntut untuk selalu menunjukkan ekspresi judes, perasaan kesal, dan sikap kurang sopan. Di sisi lain, mereka nggak boleh benar-benar marah ketika menerima perlakuan serupa dari pelanggan. Mereka harus menekan perasaan mereka yang sebenarnya demi memprioritaskan kepuasan pelanggan terhadap pengalaman makan di Karen’s Diner.
Baca juga: Bagaimana Caranya Berhenti Menjadi People Pleaser?
Isu Kesejahteraan Pekerja Jasa Pelayanan
Sektor jasa pelayanan kerap dipandang sebagai industri yang berat. Emotional labor menjadi salah satu elemen penting yang harus dikuasai para pekerja dalam sektor tersebut. Ironisnya, sektor ini masih tergolong sebagai salah satu sektor yang mengupah rendah para pekerjanya.
Contohnya, rata-rata gaji seorang pelayan restoran di Indonesia adalah 2,1-3,9 juta rupiah per bulan. Nggak sedikit pelayan yang mendapatkan gaji di bawah UMR. Hal ini dikarenakan profesi pelayan masih dipandang sebagai low-skilled labors alias pekerjaan yang nggak membutuhkan pendidikan atau keterampilan tinggi.
Baca juga: Rekomendasi Pekerjaan Online Bagi Mahasiswa BU, Dapatkan Penghasilan Jutaan Rupiah Sambil Rebahan
Karenanya, apa yang selanjutnya jadi pertanyaan adalah pertanggungjawaban perusahaan terhadap kesejahteraan para pelayan Karen’s Diner. Apakah gaji yang mereka terima setimpal dengan tuntutan pekerjaan, serta beban emosi yang harus ditanggung?
Belum lagi perihal keamanan para pelayan Karen’s Diner. Pelanggan memang dilarang melecehkan atau melakukan kekerasan terhadap pelayan selama berada di Karen’s Diner. Namun, bagaimana ketika mereka sudah berada di luar restoran? Siapa yang akan bertanggung jawab apabila pelanggan melakukan “balas dendam” terhadap pelayan Karen’s Diner?
Nyatanya, kejadian tak menyenangkan ini sudah pernah terjadi di Karen’s Diner Australia. Seorang mantan pelayan bernama Kaliya Arumugam mengaku menerima berbagai serangan verbal maupun fisik oleh pelanggan yang merasa tersinggung. Bahkan pernah ada pelanggan yang menunggu di luar restoran, yang diduga akan membalas dendam setelah jam kerja si pelayan berakhir.
Lebih ironis lagi, laporan Arumugam terhadap pihak manajemen Karen’s Diner tak digubris sama sekali. Ia malah diminta agar jangan baper atau ambil pusing dengan sikap pelanggan. Ini menunjukkan bahwa Karen’s Diner telah mengabaikan kesejahteraan pekerja demi mengejar profit belaka.
Baca juga: Kenalan dengan Imposter Syndrome, Musuh Perempuan dalam Meraih Kesuksesan
Tentunya kita nggak mengesampingkan kritik seputar konsep Karen’s Diner Indonesia yang dinilai telah mengaburkan batas antara ejekan untuk lucu-lucuan dengan pelecehan. Namun, di balik kontroversi Karen’s Diner Indonesia, ada isu emotional labor yang masih diabaikan. Ada para pelayan Karen’s Diner Indonesia yang masih dipertanyakan kesejahteraannya.
Karen’s Diner Indonesia memang masih berada dalam tahap percobaan. Harapannya, Karen’s Diner Indonesia bisa melakukan review dan evaluasi terhadap konsep pelayanan buruk yang mereka angkat. Nggak cuma soal perlakuan pelayan terhadap pelanggan, tetapi juga kesejahteraan pelayan yang bekerja di sana.
Kamu pengen ngobrol lebih banyak seputar karier dan kesehatan mental? Yuk, gabung ke Girls Beyond Circle! Klik di sini untuk join, ya!
Comments
(0 comments)