gagal menampilkan data

ic-gb
detail-thumb

Budaya Patriarki pada Sektor Pekerjaan

Written by collaborator

Penulis: Yulia Andini
Editor: Zefanya Pardede

Tanggal 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional, sebuah hari spesial yang digunakan untuk memperingati hak asasi perempuan di seluruh dunia. Singkatnya, pada hari ini seluruh orang akan memberikan dukungan dan suara mereka terhadap kesetaraan gender, dan berfokus pada hak perempuan yang selama ini masih dipandang sebelah mata.

Fenomena ini terlihat pada sektor pekerjaan yang menyangkut upah gaji karyawan. Menurut data dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS 2020 yang dikutip dari Kirnandita (womenlead.magdalene.com), “perempuan menerima upah 23 persen lebih rendah dari laki-laki.” 

Fakta ini terjadi di lingkungan pekerjaan kita, ketika para pegawai yang memiliki latar belakang jenjang pendidikan yang sama, memiliki posisi pekerjaan yang sama, tetapi memperoleh gaji yang tidak seimbang. Kesenjangan ini dibentuk dari budaya patriarki yang menyangjung laki-laki sehingga perempuan mendapatkan hak yang lebih rendah dan tidak sesuai dengan porsi pekerjaan yang didapat.

Baca juga: Perempuan Punya Power, Let’s Be Brave!

Banyak perusahaan di Indonesia yang masih menerapkan sistem segregasi gender, dan menomorduakan perempuan karena dianggap tidak terlalu kompeten dibanding laki-laki.

Selain perbedaan pendapatan, isu gender juga melatar belakangi persoalan jabatan. Survei Sakernas 2019 menunjukkan bahwa 30,63 persen perempuan mampu menduduki posisi manajer, sedangkan laki-laki mencapai dua kali lipat, yaitu 69,37 persen.

Kedua pokok persoalan ini selalu menjadi perdebatan dari generasi ke generasi, yang mana perempuan selalu mendapatkan kesempatan setelah laki-laki. Perempuan dinilai tidak pantas untuk memiliki jabatan yang lebih tinggi daripada laki-laki karena banyak sumber yang mengatakan bahwa perempuan tidak dapat bertindak secara rasional dan mementingkan egonya sendiri. 

Pandangan ini mengingatkan saya pada perkataan seorang guru sewaktu saya SMA, beliau berkata kurang lebih seperti ini, “Untuk perempuan, kuliah jangan tinggi-tinggi. Kalau title kamu lebih tinggi daripada suami, ‘kan nggak bagus juga.” 

Baca juga: Pemberdayaan Buruh Gendong Perempuan Perkasa di Pasar Beringharjo

Saat mendengar perkataan beliau, saya berpikir bahwa apakah tolak ukur keberhasilan perempuan selalu dinilai oleh laki-laki? Jika suami saya lulusan SMA, maka saya hanya boleh lulusan SMP? Saya rasa stereotipe dan stigma buruk mengenai latar belakang pendidikan pada perempuan harus segera dimusnahkan.

Pemikiran seperti ini yang membuat banyak kaum hawa terpaksa harus melepaskan cita-cita mereka atau bahkan tidak mendapatkan kesempatan untuk bermimpi sekali pun. Jabatan yang tinggi, upah gaji dua digit, dan fasilitas pekerjaan yang baik adalah impian semua orang. Tidak mengenal ia laki-laki atau perempuan, semua orang berhak untuk mendapatkan kesempatan yang sama dan adil.  

Lantas apakah pada detik saat Anda membaca tulisan ini nasib para wanita telah berubah? Tentu tidak. Masih banyak kasus kesenjangan dan ketidakadilan yang terjadi pada perempuan di seluruh dunia. Budaya patriarki yang telah berkemang hingga mengakar pun sulit dibasmi, dan menjadikan para perempuan terjerat di antara kuatnya akar-akar tersebut. 

Untuk terlepas dari jeratan ini, para perempuan membuat aliansi gerakan yang disebut sebagai feminism movement. Gerakan feminisme pertama kali muncul pada sekitar abad ke-19 dan awal abad ke-20 di Eropa dan Amerika Serikat.

Baca juga: Standar Kemewahan Setiap Orang Itu Berbeda, Gak Melulu Soal Uang

Pada awal perkembangannya, gerakan ini disebut first wave feminism, yang memiliki fokus dan tujuan awal untuk memperjuangkan kepemilikan harta bagi perempuan, menentang kepemilikan perempuan yang menikah, dan hak pemilu. Seiring berjalannya waktu, muncul gelombang feminisme-feminisme selanjutnya dan menyebar ke seluruh dunia. 

Salah satu bentuk adanya perjuangan hak perempuan yang berasal dari first wave feminism adalah munculnya Hari Perempuan Internasional ini. Selama masih ada peringatan hari ini, berarti perjuangan untuk perempuan masih belum berakhir. Hak untuk memperoleh kesetaraan belum tercapai dengan maksimal.

Equity, yang berarti hak menurut keadilan, perlu diterapkan di seluruh sektor kehidupan bermasyarakat. Ini merupakan bentuk hak yang memberikan dukungan dan kesempatan bagi perempuan untuk memperoleh keadilan berdasarkan porsi yang seimbang dan adil. 

Baca juga: Masihkan Kita Termasuk The Second Sex di Mata AI?

Kaum laki-laki tidak bisa mendapatkan gaji yang lebih besar daripada perempuan bila perempuan bisa bekerja dan memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki, atau bahkan lebih. Kaum laki-laki juga tidak bisa memiliki jabatan yang tinggi lebih tinggi bila perempuan memiliki potensi yang lebih tinggi daripada laki-laki.

Sepatutnya, perusahaan sebaiknya menerapkan sistem yang adil agar terhapusnya segregasi gender dan tercapainya kesetaraan bagi para pegawai.