Ramai Pejabat Flexing, Sebenarnya Flexing Itu Boleh Nggak Sih?
Belakangan ini, marak soal pejabat Indonesia yang diduga korupsi setelah memamerkan kekayaannya di media sosial. Warganet mengaitkan fenomena ini dengan kata ‘flexing’ yang berarti menunjukkan atau menyombongkan pencapaian dan harta yang dimiliki.
Berawal mula dari aksi penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy yang viral beberapa waktu yang lalu, orang-orang langsung melakukan penelusuran tentang keluarga Mario. Setelah itu, ditemukanlah bahwa ayahnya merupakan seorang pejabat pajak, Rafael Alun Trisambodo. Karena Mario sendiri sering flexing hartanya di Instagram, kekayaan Rafael pun diselidiki. Akhirnya, ditemukan juga bahwa laporan kekayaan Rafael nggak sesuai dengan profilnya.
Rafael Alun Trisambodo dicabut jabatannya dan diperiksa oleh KPK terkait dugaan korupsi.
Selain Rafael, ada sejumlah pejabat Indonesia lainnya yang diselidiki oleh KPK karena flexing yang dilakukan. Beberapa hari yang lalu, marak juga soal kasus para istri pejabat Indonesia yang memperlihatkan gaya mereka dengan pakaian dan aksesoris branded, salah satunya adalah Sekretaris Daerah (Sekda) Riau SF Hariyanto yang dipertanyakan soal kebenaran laporan kekayaannya lantaran istrinya yang suka flexing.
Namun, SF Hariyanto mengatakan bahwa barang-barang istrinya semua KW alias palsu. Warganet pun semakin heboh karena pernyataan ini diperkiraan hanyalah alasan untuk menutup-nutupi keadaan. Selain Rafael Alun Trisambodo dan SF Hariyanto, ada pula Eko Darmanto, Esha Rahmansah Abar, dan Sudarman Harjasaputra yang diselidiki akibat flexing.
Fenomena flexing marak di antara masyarakat golongan atas. Sebenarnya, flexing itu boleh, nggak, sih?
Baca juga: 3 Kesalahan Pengembangan Diri yang Belum Kamu Tahu
Kenapa Orang Suka Flexing?
Sebagian besar orang suka flexing di media sosial dan memperlihatkan dirinya dengan berbagai kekayaan yang dimiliki, seperti barang-barang branded, mobil mahal, rumah mewah, dan liburan-liburan yang dihabiskan di luar negeri.
Rupanya, ada beberapa alasan mengapa orang-orang melakukan flexing, loh.
Mencari Validasi
Secara umum, setiap manusia membutuhkan validasi dari lingkungan sekitarnya. Validasi ini bisa mengenai penampilan fisik, kepintaran, prestasi, atau kekayaan. Melansir 2KnowMyself, orang-orang yang secara terang-terangan menunjukkan hartanya sebenarnya hanya mencari pengakuan agar nggak dipandang rendah.
Ingin Terlihat Superior
Banyak orang di dunia ini yang ingin menjadi di atas segalanya. Orang-orang yang seperti ini biasanya memiliki superiority complex. Superiority complex merupakan keyakinan bahwa eksistensi seseorang jauh lebih tinggi dibanding yang lainnya berdasarkan kemampuan dan pencapaian yang dimiliki.
Jadi, flexing dilakukan untuk memuaskan superiority complex orang-orang dan membuat mereka terkesan lebih bagus daripada orang lainnya.
Obsesif
Orang-orang ingin mendapatkan apa pun termasuk perhatian publik dengan memamerkan gaya hidup kelas atas. Mereka pun terobsesi untuk mempunyai mobil mewah, pakaian mahal yang paling baru, akses eksklusif, dan harta lainnya untuk menarik perhatian orang.
Baca juga: Mengenal Parasocial Interaction di Antara Fans K-Pop, Baik atau Buruk?
Dampak Flexing
Flexing, seperti yang dilakukan oleh pejabat Indonesia, membawa dampaknya tersendiri. Akan tetapi, nggak semua dampaknya positif.
Merusak Kepribadian
Flexing akan membuat kepribadian seseorang berubah dan membuat diri nggak rendah hati. Meningkatkan perilaku obsesif dan kompetitif karena ingin memiliki segalanya mampu menimbulkan gangguan dan ketidaksehatan.
Memunculkan Keadaan yang Palsu
Tindakan flexing yang dilakukan di media sosial memiliki potensi untuk menciptakan atau memaksakan realitas yang palsu. Seseorang yang sudah terlanjur terjerumus dalam kepuasannya ketika flexing akan terus-menerus memamerkan apa pun yang mereka miliki, meskipun kekayaan sudah menipis atau dalam kondisi yang nggak memungkinkan.
Sulit Bergaul
Sebagian besar orang mengira bahwa orang-orang dengan kekayaan tinggi dapat menarik banyak teman. Nyatanya, seseorang yang sering flexing susah bergaul. Keyakinan bahwa mereka superior ketimbangan yang lainnya membuat mereka merasa “untouchable” dan akhirnya memutuskan untuk nggak bergaul. Ada juga faktor ketidaksukaan orang lain terhadap orang yang suka flexing karena terkesan sombong.
Baca juga: Red Flag dalam Hubungan? Kenali 5 Ciri-cirinya
Jadi, Flexing Itu Baik atau Buruk?
Nggak ada salahnya flexing kekayaan, seperti pejabat dan istri pejabat Indonesia. Flexing merupakan hal yang wajar di kehidupan. Membagikan kebahagiaan yang dirasakan oleh diri ke teman-teman lainnya melalui media sosial merupakan sesuatu yang biasa.
Akan tetapi, pertimbangkan alasan, dampak, dan hal yang kamu flexing-kan. Pikirkan alasan dibalik tindakan flexing yang dilakukan. Apakah hanya sekadar untuk menyebarkan kebahagiaan? Atau untuk memuaskan diri? Pikirkan juga apa saja dampak yang mungkin akan muncul akibat flexing tersebut dan baik atau tidaknya bagi diri serta lingkungan.
Selain itu, perlu diingat bahwa nggak semuanya harus dipamerkan. Ada hal-hal yang boleh diperlihatkan sesekali, ada pula yang sebaiknya disimpan untuk diri. Ingat juga bahwa media sosial dapat merekam data pribadi dan jejak digitalmu. Hmm, gimana menurut kamu?
Mau tingkatkan skill penggunaan media sosial kamu? Yuk, bergabung ke Girls Beyond Circle!