gagal menampilkan data

ic-gb
detail-thumb

Pemberdayaan Buruh Gendong Perempuan Perkasa di Pasar Beringharjo

Written by collaborator

Penulis: Natalia Intan Sari
Editor: Zefanya Abigail Pardede

Buruh gendong adalah pekerjaan berat yang mengangkut beban dari 50 kg hingga lebih dari 100 kg untuk sekali angkut tanpa bantuan alat. Buruh gendong merupakan pekerjaan yang digeluti cukup banyak orang, apalagi perempuan. Menjadi seorang buruh gendong tidaklah mudah. Namun, mau bagaimana lagi? 

Ilustrasi buruh gendong, FOTO: Kompas.com

Seperti yang kita ketahui, sedari dulu budaya patriarki sangat mendominasi. Di mana perempuan dituntut untuk menjadi ibu rumah tangga ataupun sekadar pendidik anak dalam keluarga. Seiring berjalannya waktu dan bergesernya budaya patriarki, perempuan mulai ikut bekerja guna memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan hidup mereka serta keluarga.

Namun karena budaya patriarki sendiri masih berjalan berdampingan dengan kita (tidak sepenuhnya bergeser dari peradaban), perempuan sulit menentukan pekerjaan dan upah yang harus mereka terima. Perempuan juga tidak memiliki akses pengembangan keterampilan dan pendidikan seperti laki-laki yang memang sedari dulu dituntut untuk bekerja.

Baca juga: Gender Gap: Ketimpangan Sistemik yang Menyulitkan Upaya Realisasi Kesetaraan Gender

Selain itu, perempuan pun telah lama didoktrin untuk terus menerima keadaan sehingga mereka takut untuk melawan. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan perempuan memilih menjadi buruh gendong, pekerjaan yang tidak terlalu menggunakan keterampilan khusus atau tingkat pendidikan tertentu untuk mencari nafkah.

Buruh gendong sendiri merupakan pekerjaan yang dilakukan secara perorangan. Sifat upahnya tidak menentu dan majikannya tidak menetap atau berganti-ganti. Buruh mencari majikan yang memerlukan bantuan tenaga. Kemudian, jumlah upah disepakati setelah pekerjaannya selesai atau hanya seadanya.

Bayangkan, seorang perempuan harus mengangkut beban yang beratnya bisa lebih dari 50 kg atau bahkan 100 kg yang ditopang oleh tubuhnya. Perempuan yang selalu identik dengan pekerjaan rumah tangga, seperti mencuci piring dan mencuci baju, harus mengerjakan pekerjaan berat rasanya bertentangan dengan “gambaran” perempuan.

Kebanyakan perempuan yang menjadi buruh gendong adalah perempuan yang berada di kelas bawah, yang tidak memiliki pendidikan dan keterampilan khusus. Tidak memiliki pendidikan yang cukup atau memadai membuat mereka menjadi mudah ditipu, baik dalam pemberian upah, maupun saat adanya kekerasan dalam lingkungan kerja.

Baca juga: International Women’s Day 2023: Dari RUU PPRT hingga Minimnya Ruang Politik, Ada Sederet Isu Gender yang Harus Diselesaikan Sebelum Pemilu 2024

Respons yang mereka berikan atas tindakan yang semena-mena dan tidak adil ini hanyalah diam. Demikian, hadirlah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang menaungi perempuan pekerja informal, termasuk buruh gendong.

Tampak bangunan LSM YASANTI. FOTO: Dokumentasi Natalia Intan Sari

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menaungi para pekerja informal adalah Yayasan Annisa Swasti. Yayasan ini berada di Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Dilansir dari yayasanannisaswasti.or.id, LSM ini bekerja untuk memperjuangkan hak-hak pekerja perempuan baik secara formal maupun sosio-kultural.

Yasanti didirikan pada 28 September 1982 dan tercatat sebagai badan hukum. Adapun tugas daripada Yasanti ini adalah untuk memberikan edukasi terhadap perempuan pekerja informal yang tidak atau belum mengetahui hak-hak yang harus mereka terima saat melakukan pekerjaan sebagai buruh gendong. 

Hak-hak seperti apa saja yang dimaksud? Contohnya, besar upah yang mereka terima. Sekali angkut beban mereka hanya digaji sekitar Rp4.000–7.000, tentu tidak sesuai dengan beban yang diangkut mereka. Buruh gendong yang merasa memang sepatutnya diberi upah segitu tidak protes dan hanya menerima.

Baca juga: Masihkan Kita Termasuk The Second Sex di Mata AI?

Sayangnya, ini sudah melanggar salah satu undang-undang ketenagakerjaan yang tertera pada Pasal 1 ayat 30 dan 31. Dalam aturan tersebut, terbilang bahwa upah dari seorang pekerja harus diberikan sesuai kesepakatan. Namun, karena buruh takut untuk bernegosiasi, mereka terpaksa menerima berapa pun upah yang diberikan oleh majikannya.

“Kasus upah yang minim ini sangat sering dijumpai pada buruh gendong, kami sebagai pihak LSM mengumpulkan buruh-buruh yang merasa ketidakadilan, baik dari upah minim, kekerasan, maupun diskriminasi yang diterima sebagai buruh gendong perempuan. Kami kumpulkan lewat penelitian karena tidak semua buruh gendong ingin terbuka. Barulah kami mengedukasi apa yang menjadi masalah mereka pada Undang-undang ketenagakerjaan yang seharusnya menjadi hak mereka,” ucap Ibu Amin Muftiyanah, Direktur Yasanti, saat diwawancarai (28/12). 

Yasanti memberikan edukasi terkait hak-hak yang harus diterima perempuan pekerja informal, dari upah yang harus disepakati kedua belah pihak, perlindungan terhadap buruh gendong sebagai Warga Negara Indonesia yang baik, hingga edukasi untuk dapat mandiri. Tak jarang kasus kekerasan dan diskriminasi didapatkan oleh buruh gendong. Mereka mendapatkan diskriminasi dan kekerasan karena mereka perempuan. Yasanti hadir untuk menopang para perempuan ini.

Selain mengedukasi tentang hak-hak yang harus diterima para perempuan pekerja informal, Yasanti pun membagi cara mereka mencari majikan yang baik agar tidak terjadi kejadian keributan antar satu buruh dengan buruh lain.

Baca juga: Danya Tjokroardi: Aktivis Muda Pembangun Media Digital We The Genesis di Usia 14 Tahun

Yasanti  membagi para buruh gendong dalam kelompok-kelompok yang masing-masing di tempatnya di lantai yang berbeda. Misalnya, kelompok pertama berada di lantai satu, kelompok kedua berada di lantai dua, dan seterusnya.

Sebenarnya ada beberapa pasar besar tradisional yang menjadi tempat berkumpulnya para buruh gendong, seperti Pasar Beringharjo, Pasar Kranggan, Pasar Gamping, dan Pasar Giwangan. Namun, penulis memilih Pasar Beringharjo menjadi contoh karena pasar ini termasuk pasar yang besar dan mudah ditemui serta berguna untuk lebih menspesifikan contoh pasarnya. 

Menurut penulis, adanya LSM ini (YASANTI) sangat membantu para perempuan pekerja informal dan memberdayakan mereka yang diinjak-injak hanya karena mereka adalah perempuan yang tidak memiliki pendidikan atau keterampilan khusus lewat edukasi dan advokasi.

Isu yang menjadi poin penulis adalah kesenjangan ekonomi dan sosial, yang mana buruh gendong harus mendapatkan upah yang layak karena hanya dari penghasilan tersebutlah mereka bisa menghidupi diri dan keluarga mereka. Tidak hanya pekerja buruh gendong yang layak mendapat keadilan, keamanan, dan perlindungan, tetapi juga seluruh pekerja perempuan dalam semua sektor. Perempuan harus mendapatkan tempat, kesempatan, kedudukan, pekerjaan, pendapatan, dan hak yang sama dengan laki-laki. Semuanya harus adil dan setara.

Baca juga: Cewek Juga Bisa Loh, Yuk Intip Potensi Berkarier Melalui Media Sosial!

Melawan adalah senjata terampuh perempuan. Selain itu, strategi yang bisa digunakan adalah memanfaatkan LSM yang ada untuk memberdayakan masyarakat kalangan bawah dan sebagai mediator ke kalangan pemerintah agar suara masyarakat dapat didengar. Terus mengedukasi agar tidak ada lagi diskriminasi terhadap perempuan dalam pekerjaan dan pada akhirnya membuat masyarakat menjadi mandiri serta mendapatkan keadilan.

Pemberdayaan perempuan untuk mewujudkan kesejahteraan yang maksimal sangat diperlukan. Ayo, berbagi pendapatmu di Girls Beyond Circle!