gagal menampilkan data

ic-gb
detail-thumb

Andrea Nathania: Student Filmmaker yang Ingin Menjadi Bagian Revolusi Sinema Indonesia

Written by Zefanya Pardede

Seorang gadis kecil menatap sebuah layar yang besar dengan mata berbinar. Segala warna, bentuk, dan gerakan yang terlihat pada film yang diputarkan seolah-olah telah menghipnotisnya. Ia melihat orang-orang sekelilingnya yang juga menatap layar. Wajah mereka diwarnai berbagai emosi. Hati kecilnya tergerak untuk menumbuhkan perasaan yang sama dalam hati orang kelak.

Andrea Nathania adalah seorang mahasiswi film berusia 21 tahun. Ia tak pernah lupa dengan impian masa kecilnya untuk menyentuh banyak orang melalui karya filmnya sendiri. Namun, sejumlah tantangan yang menghadang perjalananya menuju cita-cita tersebut.

Mulai dari pergumulan diri, kondisi industri film di Indonesia yang minim apresiasi, hingga sektor perfilman yang masih didominasi oleh laki-laki, Andrea menceritakan perjuangannya sebagai seorang student filmmaker.

Baca juga: Soraya Nathasya: Kisah Penari Balet Indonesia yang Sudah Menari Selama 17 Tahun

Dimulai dengan Produksi Film Mandiri

Sebelum film, Andrea sudah lebih awal menemukan dirinya di bidang fotografi. Ketika masih duduk di bangku kelas satu SMP, ia mendaftar untuk menjadi bagian dari panitia dokumentasi sekolahnya. Dari sana, Andrea mulai menyalurkan kreativitas dan bakatnya.

“Pertama kali tertarik sebenarnya sama fotografi dulu, terus ikut panitia dokumentasi saat awal SMP. Aku mendokumentasikan pengumuman dan acara-acara sekolah,” katanya.

Meskipun karya-karya tersebut masih kecil, hal-hal ini mampu membuat Andrea bahagia kala itu.

Memasuki SMA, ia mulai bereksperimen dengan film. Andrea menciptakan beberapa karya video yang dibuat seorang diri mengenai isu-isu yang menarik perhatiannya, seperti kesetaraan gender dan nasionalisme.

“Aku buat project video ala-ala yang bisa mewakili keresahanku terhadap suatu masalah. Project-project ini aku susun sendiri,” cerita Andrea.

Seiring berjalannya waktu, ketertarikannya terhadap perfilman semakin terlihat oleh banyak orang, termasuk keluarganya. Untungnya, kedua orang tua Andrea mendukung passion ini. Ia pun disarankan untuk mengambil program film di perkuliahan. Sekarang, ia sedang menyelesaikan semester keenam pembelajarannya.

Baca juga: Masihkan Kita Termasuk The Second Sex di Mata AI?

Tantangan dalam Memperbaiki Industri Film Indonesia

Rupanya, Andrea tidak jauh dari kata ‘insecure’. Lingkungannya penuh dengan filmmaker muda yang berpengalaman.

“Sekelilingku banyak orang yang pengalamannya sudah banyak. Mereka sudah bekerja dengan ini dan itu, bekerja di sana dan sini, punya portofolio yang sudah bisa ke mana-mana,” katanya. 

Ia terkadang merasa kurang percaya diri dengan kemampuan dan karya-karyanya. Namun di saat yang bersamaan, hal juga mengingatkan dirinya untuk selalu memiliki sikap yang rendah hati.

“Berada di industri film pastinya sebuah pengalaman yang humbling. Kamu tidak lebih hebat dari semua orang, pasti ada karya lain yang lebih hebat yang bukan milikmu,” bicara Andrea. “Satu hal yang bisa dilakukan adalah terus berjuang.”

Film adalah salah satu sektor yang jumlah anggota perempuannya cenderung sedikit. Dominasi laki-laki masih marak di berbagai lingkungan film. Di kampus Andrea sendiri, terdapat 400 jumlah mahasiswa jurusan film di angkatannya. Akan tetapi, hanya ada 60 perempuan di antara banyaknya mahasiswa laki-laki.

“Bahkan nggak mencapai 50% dari jumlah keseluruhannya!” kata Andrea.

Namun, Andrea mengatakan bahwa hal ini tidak menghambat dirinya untuk berkarya.

“Justru karena perempuannya sedikit, aku dan cewek-cewek lain merasa lebih kuat, bersemangat, dan termotivasi untuk sukses. Kayak, mau ngapain, lo, dengan kami para perempuan hebat?” katanya sambil tersenyum.

Tantangan lainnya adalah industri film yang kurang diperhatikan di Indonesia.

“Menurutku, mungkin industri fotografi sudah perlahan-lahan mulai dihargai oleh masyarakat. Tapi kalau perfilman, masih suka dipandang sebelah mata,” tuturnya.

Ini dipengaruhi anggapan bahwa semua film Indonesia “jelek” dan persaingan film-film dari negara lain, khususnya negara-negara barat. Andrea menjelaskan bahwa westernisasi menjadi faktor pandangan ini. 

“Orang anggap film luar lebih keren. Saat tahun 80-an, muncul film-film horor yang lumayan ‘vulgar’. Itu juga jadi alasan kenapa film Indonesia dianggap kurang bagus,” bicaranya.

Faktanya, kualitas dan tren perfilman Indonesia semakin meningkat. Andrea mengekspresikan keinginannya untuk menjadi agen perubahan industri film. Ia memiliki tekad kuat untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa sinema Indonesia mampu bersaing dengan sinema luar negeri.

Film Hujung Tanduk yang diciptakan oleh Andrea menjadi langkah awal misi gadis ini.

Baca juga: Danya Tjokroardi: Aktivis Muda Pembangun Media Digital We The Genesis di Usia 14 Tahun

Terciptanya Film Pendek ‘Hujung Tanduk’

Karya pertamanya selama berkuliah adalah sebuah film pendek bertajuk Hujung Tanduk. Film ini diciptakan sebagai bentuk dari tugas akhir semester empat yang dikerjakan bersama dengan rekan-rekan lainnya. Akan tetapi, film ini bukan sekadar tugas kuliah bagi Andrea. Pengalaman ini membawa banyak pelajaran baru.

Hujung Tanjuk menceritakan kondisi dunia di masa depan yang sudah rusak. Berlatarkan tahun 2050, berbagai belahan bumi dilanda peperangan berbahaya yang disebabkan oleh kesalahan terbesar manusia: perubahan iklim. Peperangan ini membuat semua orang harus berdiam di rumah dan tidak bisa keluar demi keselamatan diri.

Alur utama film mengikuti kisah seorang anak yang tinggal dengan ayahnya di tengah situasi ini. Kesehatan ayahnya semakin menurun lantaran penyakitnya yang tak kunjung sembuh. Parahnya, persediaan obat di rumah mereka sudah habis. Anak tersebut ingin keluar untuk mencari obat, tetapi terhalang oleh larangan ayahnya untuk pergi karena kondisi di luar sana yang berbahaya. Mau tidak mau, sebuah keputusan harus dibuat oleh sang anak.

“Ada dilema antara memilih untuk mencari aman atau menyembuhkan ayah tercinta,” jelas Andrea.

Sebagai scriptwriter film ini, Andrea juga memaparkan bahwa hal yang paling mengesankan mengenai Hujung Tanduk adalah adanya lebih dari satu makna yang bisa dilihat. Tidak melulu harus dari sudut pandang lingkungan, Hujung Tanduk mencerminkan sifat dan masalah kehidupan manusia sehari-hari.

“Aku merasa bahwa film ini bisa dimaknai dari berbagai perspektif. Nggak cuma satu pemaknaan. Aku selalu senang setiap kali orang menceritakan pandangan mereka tentang film ini,” ucapnya.

Hujung Tanduk juga menjadi karyanya yang paling berkesan.

“Film ini jadi first time experience-ku menjadi scriptwriter dan bekerja sama dengan orang lain. Aku jadi semakin tertarik untuk melakukan lebih banyak penulisan screenplay.”

Baca juga: Standar Kemewahan Setiap Orang Itu Berbeda, Gak Melulu Soal Uang

Ingin Bergabung ke Rumah Produksi Besar

Andrea mempunyai rencananya sendiri setelah lulus kuliah. Ia bertekad untuk tetap bekerja di perfilman dan menghasilkan karya-karya yang lebih memuaskan.

“Kerja di industri film has been my dream job since I was a kid,” kata Andrea. “Aku ingin sekali bekerja di industri ini, khususnya scriptwriting atau team development.”

Andrea juga tertarik untuk menghasilkan karya audio visual lainnya, seperti iklan televisi dan iklan layanan masyarakat. Saat ini, ia membuka dirinya ke berbagai kesempatan yang ada. Akan tetapi, cita-cita besarnya adalah untuk bergabung ke rumah produksi besar suatu saat nanti.

Lebih spesifiknya, Andrea ingin menjadi anggota Visinema, rumah produksi film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (2019).

“Incanranku adalah production house Visinema, yang membuat NKCTHI. Harapannya, sih, ingin masuk sana.”

Perjuangan Andrea masih panjang. Banyak tantangan dan pelajaran yang pastinya menunggu. Namun, ia tidak berencana untuk berhenti atau putus asa. Dalam semua yang ia lakukan, Andrea menuangkan isi hati dan tenaga yang ia miliki. 

Harapannya, namanya bisa dikenal sebagai bagian dari revolusi industri Indonesia.

Baca juga: Venezia Guishella: Tantangan Seorang Seniman Modern di Tengah Negara yang Minim Apresiasi Seni

Tidak hanya industri film, ternyata industri seni di Indonesia juga dihadapi oleh sederet tantangan. Baca lika-liku seorang seniman asal Indonesia di tengah minimnya apresiasi seni.

Mau berbagi pengalamanmu selama mendalami passion? Yuk, bergabung ke Girls Beyond Circle sekarang!