Saat Work-Life Balance Tidak Tercapai, Apa yang Harus Dilakukan?
Ternyata, ada sebagian orang yang tidak merasakan work-life balance. Kok bisa? Tentu saja bisa, karena setiap orang memiliki jalan hidup yang berbeda.
Saat ini kalangan anak muda, khususnya Gen Z, work-life balance menjadi hal yang sangat diperhatikan. Berdasarkan survei terbaru yang dilansir oleh detikEdu, 95% Gen Z mengutamakan work-life balance dalam hidup mereka.
Sebanyak 69% responden mengaku bahwa prinsip ini penting untuk meningkatkan kemampuan mereka, 67% lainnya menilai penting untuk kesehatan mental, dan 55% lagi untuk kesehatan secara keseluruhan.
Namun, apa yang terjadi jika work-life balance tersebut tidak tercapai?
Baca juga: Susah Mencari Work-Life Balance? Cobain Work-Life Integration!
Penyebab Seseorang Tak Bisa Work-Life Balance
Ada banyak faktor yang mempengaruhi work-life balance, namun sebagian orang terkadang memilih untuk tidak masalah mencapai hal tersebut. Beberapa sebab seseorang tak bisa work-life balance adalah:
1. Tuntutan Pekerjaan
Tuntutan pekerjaan seringkali menjadi salah satu faktor yang paling memengaruhi work-life balance. Dalam sebuah acara di IdeaFest, Sabtu (28/9), Pevita Pearce, seorang aktris terkenal berbagi pengalamannya mengenai hal ini.
Pevita mengungkapkan bahwa sebagai seorang aktris, ia pernah merasakan betapa sulitnya mencapai work-life balance karena keharusan untuk terus melakukan traveling dan bekerja di lokasi syuting.
Dalam acara talkshow tersebut, Pevita mengungkapkan, “Jujur, gak ada. Dulu, di awal saya menjalani karier, saya tidak punya work-life balance. Saat saya mulai berkarier 20 tahun lalu, jam kerja itu tidak bisa kayak sekarang. Dulu, syuting bisa berlangsung dari pagi sampai pagi, tidur cuma sejam dua jam di lokasi.”
Namun, perjalanan karier ini juga mengajarkannya bahwa setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda. Pevita menyadari bahwa tantangan yang ia hadapi adalah bagian dari perjalanan hidupnya. “Aku belajar kalau memang itu perjalanan setiap orang beda-beda, dan itu perjalanan yang harus aku lalui,” tuturnya.
2. Ambisi untuk Masa Depan
Di masa muda, banyak orang memiliki ambisi yang tinggi. Mereka berusaha keras, bahkan terkadang mengorbankan kesejahteraan hidup demi mencapai cita-cita dan impian masa depan.
Pemikiran yang sering muncul adalah bahwa kerja keras di masa sekarang akan menghasilkan hasil yang manis di masa depan, atau bahwa dengan bekerja keras, mereka dapat mencapai kehidupan yang sejahtera.
Tentu saja, ambisi tersebut tidak menjadi masalah, asalkan mereka mencintai apa yang mereka lakukan. Namun, seringkali, hal ini berarti mereka harus merelakan work-life balance.
Angela Lew Dermawan, Chief Digital Business Officer di Bank Saqu sekaligus seorang solopreneur, mengakui bahwa ia juga pernah mengalami hal serupa. Ia setuju dengan pernyataan Pevita Pearce yang menyatakan bahwa tidak ada keseimbangan dalam hidupnya.
Angela berbagi pengalamannya, “Saya mengalami apa yang Pevita alami. Di awal karier, saya sangat fokus mengejar cita-cita. Bagi saya, keluarga adalah prioritas, tetapi secara sehari-hari, yang dikejar adalah materi dan pekerjaan,” ujarnya.
Selain bekerja di bank, Angela mencoba banyak bisnis sampingan, mulai dari franchise hingga usaha kecil lainnya. Ia mengatakan bahwa perjalanan itu penuh liku-liku, dengan lebih banyak kegagalan daripada keberhasilan.
“Saya sangat ingin memiliki rumah dan kos-kosan untuk anak saya, sehingga di samping pekerjaan, saya mencoba berbagai bisnis sampingan, mulai dari franchise dan lainnya,” lanjutnya.
3. Kendala Ekonomi
Work-life balance tidak bisa dipisahkan dari kondisi ekonomi seseorang. Ketika menghadapi kendala finansial, banyak orang merasa terpaksa untuk bekerja lebih keras demi memenuhi kebutuhan hidup.
Tak jarang, mereka mencari side job atau pekerjaan sampingan sebagai solusi untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Dengan adanya side job, waktu untuk diri sendiri menjadi semakin terbatas.
Mereka mungkin berpikir bahwa bekerja lebih keras adalah satu-satunya jalan untuk mencapai kesejahteraan, sehingga kesehatan fisik dan mental pun terabaikan.
Kendala ekonomi ini terasa semakin berat bagi mereka yang tidak memiliki dukungan finansial dari orang lain. Misalnya, seseorang yang termasuk dalam generasi “sandwich,” yang harus menjadi tulang punggung tidak hanya bagi orang tua, tetapi juga bagi saudara mereka.
Ketika tidak ada waktu untuk diri sendiri, mereka mungkin merasa kehilangan kendali atas hidup mereka, karena berusaha mencukupi kebutuhan orang lain yang berujung mengorbankan kesehatan dan kebahagiaan pribadi.
Baca juga: Work-life Harmony, Samakah dengan Work-life Balance? Simak Mana yang Lebih Menguntungkan
Saat Work Life Balance Tidak Tercapai, Apa yang Harus Dilakukan?
Work-life balance adalah aspek penting dalam kehidupan kita. Ketika keseimbangan ini terganggu, dampaknya bisa mengganggu kesejahteraan fisik maupun mental.
Seperti yang diungkapkan oleh Pevita Pearce, ia menekankan pentingnya menemukan cara untuk mencapai work-life balance yang sesuai dengan diri kita sendiri.
“Balik lagi, work-life balance itu kita harus cari cara kita sendiri yang menyesuaikan apa yang balance buat kita. Aku mencoba mengatur jadwal, seperti bulan ini aku ke Bali dan Paris, lalu menghitung berapa jam yang bisa aku kerjakan. Aku juga mencari waktu untuk ‘me time‘, seperti berolahraga atau menonton dokumenter.”
Pevita juga menekankan bahwa tidak selamanya kita bisa mendapatkan work-life balance yang sempurna. “Kadang mikir, oke minggu ini ga bisa nih work-life balance, tapi bulan depan gue akan do something to make me happy,” ujarnya.
Angela juga menambahkan bahwa work-life balance tidak pernah sempurna. “Yang harus kita lakukan adalah terus-menerus untuk mencapai apa yang kita harapkan dari work-life balance,” katanya.
Menurutnya, kunci untuk mencapai work-life balance adalah disiplin diri. Dengan disiplin, kita bisa menetapkan batasan yang jelas antara pekerjaan dan kebutuhan pribadi kita.
Angela menjelaskan pentingnya bertanya pada diri sendiri, “Apakah ini penting atau mendesak?” Memahami perbedaan antara kedua hal ini dapat membantu kita memprioritaskan tugas-tugas dan menghindari stres yang tidak perlu.
“Jika kita tidak menyelesaikan satu tugas saat ini, apakah itu akan menyebabkan kerugian besar besok?” Menurutnya, dengan cara ini, kita bisa lebih bijaksana dalam menentukan waktu dan energi yang kita habiskan, sehingga mendekati work-life balance yang lebih sehat.
Baca juga: 10 Peringkat Negara dengan Work Life Balance Terbaik, Ada Indonesia?
Apakah Tidak Mencapai Work-Life Balance Bisa Membawa Kesuksesan?
Ketika membahas tentang kesuksesan, muncul pertanyaan, apakah tidak mencapai work-life balance bisa membawa kita menuju sukses? Jawabannya tidak sesederhana “ya” atau “tidak,” karena setiap orang memiliki perjalanan dan proses yang berbeda dalam meraih impian mereka.
Pevita Pearce, yang telah mengalami lika-liku kariernya sebagai aktris, berbagi pandangannya tentang pengorbanan yang sering kali harus dilakukan di awal perjalanan.
“Proses balancing itu berubah. Banyak pengorbanan yang aku buat di awal karier, seperti tidak hadir dalam acara keluarga atau melewatkan liburan bersama teman, sementara aku tetap bekerja,” ungkapnya.
Menurutnya, semua pengorbanan itu membawanya ke titik di mana ia berada sekarang. “Kalau aku tidak melakukan pengorbanan itu, mungkin aku tidak ada di sini sekarang. Jadi, penting untuk mencari tahu apakah itu semua worth it,” tambah Pevita.
Namun, ia juga menekankan bahwa kita tidak boleh mengabaikan sinyal dari tubuh kita. Ketika merasakan burnout, Pevita mengaku pernah menangis dan menghubungi kakaknya, yang selalu mengingatkannya akan pentingnya menjaga kesehatan mental. “Kakakku bilang, ‘Pev, inget gak, kalau kamu nangis, film itu selalu booming.’”
Menurut Pevita, ini mengingatkan dirinya bahwa tidak semua tekanan yang dirasakan itu sama, ada kalanya kita harus membedakan antara burnout atau dorongan untuk keluar dari zona nyaman.
Pevita menyebutkan, “Saat itu, aku belum bisa membedakan mana yang burnout dan mana yang sekadar keluar dari zona nyaman. Kita harus tahu garis batasan antara keduanya.”
Menurutnya, mengenali level burnout masing-masing individu sangat penting. Kita perlu mendorong batasan diri, namun tetap waspada terhadap kondisi fisik dan mental kita.
Baca juga: Kerja Keras dan Kerja Cerdas, Mana yang Lebih Baik?
Cover: Pexels