gagal menampilkan data

Article

Kenapa Gen Z Sering Curhat ke ChatGPT? Ini Alasan dan Bahayanya

Written by Nabiilah

Fenomena “Gen Z curhat ke ChatGPT” makin sering dibicarakan. Mereka yang lahir antara 1997 hingga 2012, tumbuh dalam era internet, media sosial, dan teknologi yang terus berkembang pesat.

Enggak heran, kalau mereka cepat beradaptasi dengan kecerdasan buatan atau AI kayak ChatGPT. 

Sekarang, bukan cuma buat cari informasi atau bantu kerjain tugas, ChatGPT juga jadi tempat curhat, tapi apa sebenarnya alasan di balik tren ini? Dan seberapa besar risikonya?

Baca juga: Apa Itu Coping Mechanism? Rahasia Jaga Mental Tetap ‘Waras’, Tapi Aman Enggak Sih?

Alasan Gen Z Sering Curhat ke ChatGPT

Sumber: Pexels

Fenomena Gen Z curhat ke ChatGPT ini ada karena tentunya perkembangan AI yang makin relate terhadap emosi manusia.

ChatGPT jadi salah satu tools yang paling sering dipakai Gen Z dalam berbagai hal, bahkan ienggak tanggung-tanggung mereka juga manfaatin ChatGPT untuk jadi sarana “curahan hati” mereka. 

Ini juga ada penelitiannya lho, dari jurnal yang dikeluarkan Arxiv 2025, para peneliti menemukan bahwa chatbot AI sering disebut “terapis lima menit” karena jawaban yang diberikannya memberi Gen Z ruang aman, serta respons yang diberikan netral dan tanpa penghakiman, berbeda dari manusia yang sering menilai dan menghakimi.

Selain itu, ada banyak alasan kenapa akhirnya Gen Z milih ChatGPT (chatbot) jadi tempat curhat mereka:

1. Selalu Ada dan Gampang Diakses

ChatGPT itu aktif 24 jam sehari, enggak perlu janji, gratis, dan bisa diakses lewat ponsel. Buat Gen Z yang sudah biasa sama kecepatan dan efisiensi internet, AI seperti ini jadi solusi instan saat mereka butuh didengar.

2. Rasa Aman dan Anonimitas

Menurut studi dari Universitas Pembangunan Nasional, banyak remaja saat ini merasa lebih nyaman curhat ke AI karena mereka enggak merasa dihakimi, dan tanpa rasa malu atau dikritik mereka bisa menjadi diri sendiri, bahkan membicarakan hal-hal yang mungkin tabu di dunia nyata.

3. Netral dan Enggak Ada Drama

AI seperti ChatGPT memberikan respons berdasarkan data dan logika. Ini membuat sebagian Gen Z merasa dapat masukan yang objektif dan enggak berlebihan. Dibandingkan curhat ke teman yang kadang malah memperkeruh suasana, makanya AI dianggap lebih stabil.

4. Pelarian dari Rasa Sepi

Loneliness jadi isu besar di kalangan Gen Z. Laporan dari Forbes 2023, 73% Gen Z selalu merasa kesepian, sehingga penggunaan ChatGPT untuk menghilangkan rasa sepi dilakukan oleh Gen Z. 

Baca juga: 6 Tempat Psikiater di Jakarta Terbaik untuk Kamu yang Butuh Konsultasi Mental

Risiko Curhat ke ChatGPT

Sumber: Pexels

Walaupun bisa diakses dengan mudah, nyatanya curhat ke ChatGPT enggak selalu baik tau, dan malah bisa berbahaya. 

Data dari Tri-City Psychology Services, mengungkapkan bahwa chatbot AI bisa memunculkan “therapeutic misconception,” yaitu pengguna (kamu) merasa AI adalah terapis mereka, padahal AI itu kan enggak punya empati, latar klinis, atau kemampuan intervensi nyata kayak terapis atau psikolog asli.

Selain itu, ini beberapa risiko atau bahayanya kalau kamu terus menerus curhat sama ChatGPT:

Baca juga: 5 Influencer Mental Health di Indonesia yang Sajikan Konten Bermanfaat!

1. Menggantikan Hubungan Sosial Nyata

Ketergantungan pada AI ternyata bisa mengurangi motivasi untuk menjalin koneksi sosial di dunia nyata. Maka dari itu, interaksi manusia tetap penting untuk perkembangan empati, komunikasi, dan kedekatan emosional itu enggak bisa digantikan oleh teknologi.

2. Resiko Informasi yang Salah

AI itu enggak selalu benar, walaupun sudah canggih kayak ChatGPT, dia bisa saja memberikan saran yang enggak sesuai konteks atau malah menyesatkan jika topiknya sensitif seperti kesehatan mental, kekerasan, atau pikiran untuk mengakhiri hidup. Duh, jangan sampai kamu ada di fase ini ya.

3. Tidak Ada Empati Sebenarnya

Meskipun ChatGPT bisa merespon dengan kalimat empatik, itu hanya simulasi, kumpulan data yang diambil sama mesin. Enggak ada perasaan dan enggak ada pengalaman hidup yang bisa disamakan dengan manusia sesungguhnya.

4. Isu Privasi

Meskipun OpenAI bilang mereka enggak menyimpan data pengguna untuk keperluan identifikasi, tetap saja ada potensi risiko kebocoran informasi. Pengguna sering lupa bahwa yang mereka ajak bicara adalah sistem digital, bukan teman pribadi yang bisa jaga rahasia.

5. Self-Diagnosis yang Keliru

Ini yang paling bahaya, banyak pengguna yang mencoba menganalisis atau mendiagnosis diri lewat ChatGPT. Ini berbahaya karena AI enggak punya akses lengkap ke kondisi medis atau psikologis seseorang, dan bisa memicu kesimpulan yang salah.

Ingat ya walaupun AI juga bisa diajak “ngomong” bukan berarti dia ngerti segalanya, AI itu mesin yang sangat bisa membuat kesalahan, instead jadiin AI atau ChatGPT teman curhat, kamu bisa:

  • Gunakan ChatGPT sebagai alat bantu, bukan solusi utama. ChatGPT bisa jadi tempat berpikir dan mencari perspektif, tapi bukan pengganti psikolog atau sahabat sejati.
  • Hindari berbagi informasi yang sangat pribadi atau sensitif ke AI, ingat privasi nomor satu.
  • Kalau kamu dapat saran dari AI, coba bandingkan dengan sumber lain atau tanyakan ke profesional sekalian.
  • Tetap dan harus bangun koneksi ke manusia, entah teman, keluarga, komunitas, semua ini penting untuk keseimbangan emosional dan mental kamu.

Baca juga: 25+ Puskesmas Jakarta yang Hadirkan Layanan Konsultasi Psikolog Klinis Gratis

Jadi kesimpulannya, fenomena “Gen Z curhat ke ChatGPT” hari ini, bisa mencerminkan dua hal: kemampuan teknologi menjawab kebutuhan emosional dan kekosongan yang dirasakan generasi muda dalam interaksi sosial. 

Memang AI bisa menjadi tempat curhat yang aman, cepat, dan nyaman, tapi harus diimbangi dengan kesadaran akan batasannya. Karena pada akhirnya, kebutuhan manusia untuk didengar, dimengerti, dan dirangkul enggak bisa sepenuhnya dipenuhi oleh mesin.

Zaman sekarang, askes dari manusia ke manusia sudah gampang, kamu bisa bangun koneksi dengan mudah, misalnya dengan gabung ke Grils Beyond Circle. Di sana kamu bakal ketemu banyak manusia (beneran) yang bisa kamu jadiin teman, diskusi bareng dari topik ringan sampai berat, bahkan bisa meet up di event-event yang seru.

Ingat ya, kalau kamu merasa perlu adanya bantuan dari profesional, mampir dan ngobrol bareng psikolog atau psikiater bukan lagi hal tabu. Kamu bisa dapat bantuan segera saat kamu merasa sudah ada yang enggak “beres” dari diri kamu.

Comments

(0 comments)

Sister Sites Spotlight

Explore Girls Beyond