gagal menampilkan data

ic-gb
detail-thumb

Sulit Lepas dari Toxic Relationship, Bisa Jadi Kamu Terjebak Trauma Bonding

Written by Angela Ranitta

Disclaimer: Konten ini mengandung pembahasan mengenai kekerasan yang dapat memicu respons trauma serta menimbulkan ketidaknyamanan.

“Udah diselingkuhin, dipukulin, disakitin berkali-kali, kok bisa-bisanya masih balik ke pelaku? Dasar bucin!” Girls, sering nggak, sih kamu mendengar komentar di atas dilontarkan terhadap korban kekerasan? Atau mungkin kamu sendiri pernah mendapat atau memberikan komentar serupa? 

Kasus kekerasan memang nggak pernah nggak bikin gregetan. Lebih gregetan lagi kalau setelah semua yang terjadi, korban memutuskan untuk bertahan dengan pelaku. Aneh banget, kan? Padahal dia sudah jelas-jelas diperlakukan dengan nggak baik. Bahkan kekerasan yang dilakukan sudah sampai pada tahap mengancam keselamatan korban. Mau sampai kapan coba kaya gini terus? 

Ternyata, apa yang dilakukan oleh korban bukan tanpa alasan, loh, girls. Banyak korban kekerasan yang kesulitan melepaskan diri dari pelaku karena mengalami trauma bonding

Apa Itu Trauma Bonding?

Trauma bonding adalah keterikatan yang dirasakan oleh korban kekerasan terhadap pelaku. Penyebabnya adalah taktik manipulasi yang digunakan pelaku untuk menciptakan sebuah siklus kekerasan, sehingga korban merasa bergantung padanya meski terus-terusan disakiti. Trauma bonding nggak cuma terjadi pada hubungan percintaan, tetapi juga dalam keluarga, pertemanan, maupun lingkungan kerja.

Perempuan sangat rentan mengalami trauma bonding. Sebab, dalam budaya patriarki, perempuan ditempatkan pada posisi yang lebih inferior daripada laki-laki. Perempuan juga dituntut untuk bersikap submisif, sedangkan laki-laki bersikap dominan. Hal ini melahirkan normalisasi ketergantungan perempuan terhadap laki-laki. Nah, mindset inilah yang kemudian bikin perempuan korban kekerasan semakin sulit untuk lepas dari pelaku. 

Baca juga: Terlalu Bergantung pada Laki-laki, Bisa Jadi Kamu Punya Cinderella Complex

Faktor Risiko Trauma Bonding

Beberapa hal yang dapat meningkatkan risiko seseorang terjebak dalam trauma bonding, antara lain:

  • Terbiasa bergantung pada orang lain, atau sulit hidup mandiri.
  • Memiliki riwayat sebagai korban kekerasan di hubungan sebelumnya atau di masa anak-anak.
  • Kebiasaan menghindari konflik, atau nggak menyelesaikan suatu permasalahan hingga tuntas. 
  • Ketidakmampuan menghadapi perpisahan atau penolakan.
  • Memiliki tendensi untuk menyalahkan (self-gaslighting) atau mempertanyakan diri sendiri (second-guessing)
  • Memiliki riwayat gangguan kejiwaan, seperti depresi, anxiety, borderline personality disorder (BPD), dan sebagainya.

Menurut sejumlah ahli, sejatinya banyak korban kekerasan yang memiliki kesadaran bahwa dirinya terjebak dalam trauma bonding. Namun, faktor-faktor risiko yang sudah disebutkan di atas seringkali bikin mereka ragu untuk keluar dari hubungan yang toxic

Baca juga: “I Can Fix Him”: Sindrom Pahlawan ala “F4 Thailand” yang Bikin Kamu Terjebak Toxic Relationship

Tanda-tanda Terjadinya Trauma Bonding

Berikut adalah sejumlah pertanda bahwa seseorang telah mengalami trauma bonding:

  • Melakukan justifikasi terhadap tindakan pelaku. “Oh, dia cemburu, ya pantas dia sampai semarah itu.” “Maksud dia baik, kok. Dia hanya ingin melindungiku.” “Pasanganku melakukan ini karena peduli dan sayang sama aku.” “Maklum saja, dia memang dari dulu orangnya keras.”
  • Memaafkan pelaku dengan mengingat kebaikannya atau momen-momen romantis di antara mereka. “Biasanya dia nggak seperti ini, kok.” “Ah, mungkin dia cuma kelepasan.” “Dia aslinya bucin banget, kok sama aku.”
  • Berusaha menutupi tindakan pelaku dari orang lain. Korban cenderung menyangkal orang-orang yang menyadari bahwa telah terjadi kekerasan yang menimpanya. 
  • Bersikap defensif terhadap outsider yang berusaha membantu. Korban merasa tersinggung dan menganggap orang lain terlalu ikut campur dalam hubungannya. Nggak jarang mereka berusaha menjauhi orang-orang tersebut. 
  • Merasa akan “kehilangan” diri sendiri atau tujuan hidup jika harus berpisah dengan pelaku. “Umurku sudah nggak muda lagi. Kalau aku melajang sekarang, memangnya masih ada yang mau denganku?” “Dia sudah jadi salah satu bagian terbesar dalam hidupku. Aku benar-benar nggak tahu bakal gimana nantinya kalau hidup tanpa dirinya.” 

7 Fase dalam Trauma Bonding

Trauma bonding dapat berlangsung dalam waktu yang relatif lama. Bahkan nggak sedikit korban kekerasan yang terjebak dalam ikatan trauma hingga bertahun-tahun lamanya. Hal ini dikarenakan terjadi sebuah siklus secara terus-terusan antara korban dengan pelaku. Setidaknya ada 7 fase dalam siklus trauma bonding. Apa saja itu?

Love Bombing

Love bombing adalah tindakan menunjukkan kasih sayang secara berlebihan. Misalnya, memberi hadiah mewah atau memuji pasangan secara berlebihan. Love bombing juga dapat ditunjukkan melalui “keseriusan” pada saat hubungan tersebut masih berada pada tahap awal. Misalnya, memperkenalkan kamu ke orang-orang terdekat, menyatakan keinginan untuk menikah denganmu, dan mengaku sudah bisa membayangkan masa depan bersamamu. 

Pelaku kekerasan melakukan love bombing agar korban merasa spesial dan penting di matanya. Dengan begitu, pelaku dapat meyakinkan korban bahwa ia benar-benar sayang kepadanya dan siap untuk berkomitmen. Love bombing juga dapat membuat korban merasa aman dan nyaman di dekat pelaku.

Trust and Dependency

Setelah melewati fase love bombing, pelaku berhasil mendapatkan kepercayaan dari korban. Nggak cuma itu, korban bahkan merasa aman dan nyaman bergantung kepada pelaku. Nah, pada tahap inilah pelaku seringkali mengetes kepercayaan korban padanya secara sengaja. 

Tes kepercayaan ini adalah bagian dari taktik manipulasi pelaku. Sebab, apabila korban menunjukkan keraguan, mereka akan diingatkan kembali terhadap segala hal yang telah pelaku lakukan di fase love bombing. “Dia sudah sebaik ini sama aku, masa aku masih ragu sama dia?” “Nggak mungkin, lah ya dia selingkuh. Sejak awal dia kelihatan banget kalau ingin memperjuangkan hubungan kita.” 

Baca juga: Selingkuh untuk Pisah dengan Pasangan, Ini Tandanya Seseorang Melakukan Exit Affair dan Cara Menghadapinya

Criticism

Nah, pelaku sukses, nih mendapatkan kepercayaan dan rasa ketergantungan dari korban. Selanjutnya, pelaku akan mulai mengidentifikasi beberapa perilaku atau kebiasaan korban yang mereka anggap remeh atau bermasalah. Fase ini paling kentara saat pelaku dan korban terlibat dalam perdebatan yang cukup intens. 

Ketika terjadi perdebatan atau pertengkaran, pelaku biasanya akan menyalahkan korban. Hal ini membuat korban merasa bersalah dan minta maaf secara berlebihan kepada pelaku (over-apologizing). “Benar juga. Dia cuma ingin yang terbaik untukku.” “Jahat banget aku, bisa-bisanya mempertanyakan dia.” “Wah, dia masih mau memaafkan dan menyayangiku, meski sikapku keterlaluan.”

Baca juga: Apa pun Alasannya, Kekerasan dalam Relasi Tidak Boleh Dinormalisasi

Manipulation and Gaslighting

Nggak cukup berhenti di fase criticism, kini pelaku dan korban mulai memasuki tahap manipulation and gaslighting. Kamu mungkin sudah familiar dengan kedua istilah tersebut. 

Manipulasi adalah cara memengaruhi mental dan emosi seseorang, sehingga kita dapat mengendalikan orang tersebut. Salah satu bentuknya adalah gaslighting, yaitu trik manipulasi yang membuat korban mempertanyakan serta menyalahkan dirinya sendiri. Gaslighting merupakan salah satu jenis manipulasi yang sering terjadi dalam sebuah hubungan. 

Manipulasi yang terjadi terus-menerus akan membuat korban mempertanyakan realita dan persepsi mereka sendiri. Karenanya, setiap kali terjadi permasalahan di dalam hubungan, korban cenderung menyalahkan dirinya sendiri.

Baca juga: 5 Film Indonesia yang Bahas Kesehatan Mental

Resignation and Giving Up

Dalam sebuah trauma bonding, akan ada sebuah fase di mana korban mulai pasrah pada keadaan. Mereka memutuskan untuk mengalah atau menyerah agar nggak lagi terjadi konflik dengan pelaku. 

Keputusan ini kerap dibuat karena korban masih ingin mempertahankan hubungannya dengan pelaku. Korban masih berharap jika dirinya mengalah dan bersikap patuh, pelaku akan berhenti melakukan kekerasan padanya. Selain itu, seringkali korban memutuskan untuk menyerah karena khawatir pelaku akan semakin brutal jika dirinya terus melawan. 

Pada tahap ini, beberapa korban sudah sadar bahwa dirinya dimanipulasi. Namun, seringkali kesadaran tersebut belum cukup besar hingga membuat korban mempertimbangkan untuk keluar dari toxic relationship. Besar atau kecilnya kesadaran yang dimiliki korban biasanya dipengaruhi oleh seberapa lama atau intens hubungan itu sendiri. 

Loss of Self

Terjebak dalam trauma bonding dapat membuat korban merasa kehilangan dirinya sendiri. Mereka merasa kepribadiannya telah berubah drastis hingga nggak mengenali dirinya sendiri. Korban juga merasa nggak lagi terhubung dengan orang-orang yang dulunya dekat dengan mereka. 

Sebab, salah satu ciri khas toxic relationship adalah pelaku mengisolasi korban dari dunia luar. Hal ini dilakukan untuk menciptakan ketergantungan korban terhadap pelaku. Dengan begitu, meskipun korban sudah sadar, mereka nggak bisa lari karena merasa nggak punya siapa-siapa lagi selain pelaku.

Fase loss of self ini bisa memiliki pengaruh signifikan terhadap kondisi mental korban. Pada tahap ini, banyak korban yang mulai kehilangan kepercayaan diri, hingga memiliki keinginan untuk mengakhiri hidupnya (suicidal thoughts). 

Baca juga: Hindari Self Diagnosis, Segera ke Psikolog atau Psikiater Kalau Kamu Alami 10 Gejala Ini

Addiction to the Cycle

Terakhir, korban mulai “kecanduan” terhadap siklus kekerasan yang terjadi antara dirinya dengan pelaku. 

Pernah nggak kamu melihat pelaku kekerasan yang menunjukkan sikap histeris ketika korban hendak meninggalkan mereka? Pelaku minta maaf sampai sujud-sujud ke korban, dan menghujani mereka dengan berbagai hadiah. Tindakan ini lantas bikin korban berubah pikiran karena muncul perasaan iba terhadap pelaku. Tindakan ini juga bikin korban punya persepsi bahwa pelaku benar-benar menyesal atas kekerasan yang telah mereka lakukan. 

Akhirnya, korban pun memutuskan untuk bertahan dengan pelaku dan keduanya kembali ke fase bulan madu. Fase bulan madu atau honeymoon phase adalah situasi ketika hubungan terasa begitu romantis seperti sedia kala. Padahal, dari situ bakal terbentuk ikatan trauma yang semakin kuat.

“Kecanduan” terhadap siklus kekerasan juga dapat disebabkan oleh faktor lain. Misalnya, ketergantungan ekonomi atau emosional, khawatir tumbuh-kembang anak akan terganggu apabila keluarganya nggak lagi utuh, serta hilangnya kepercayaan diri. Stigma negatif serta normalisasi kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat juga kerap membuat korban berpikir seribu kali untuk meninggalkan pelaku. 

Baca juga: Mengenal Battered Woman Syndrome yang Bikin Korban KDRT “Bucin” sama Pelaku

Menjadi Support System Korban Trauma Bonding

Menurut sebuah penelitian di Inggris, korban kekerasan membutuhkan 6-7 kali percobaan hingga bisa benar-benar bebas dari pelaku. Sebab, semakin lama dan intens sebuah hubungan, maka semakin kuat pula ikatan trauma di antara korban dan pelaku. Selain itu, semakin banyak juga hal-hal yang perlu dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk berpisah.

Maka dari itu, yuk berhenti judgemental terhadap korban kekerasan. Lebih baik kamu menunjukkan dukungan kepada mereka. Yakinkanlah korban bahwa kamu senantiasa berpihak padanya. Tawarkanlah bantuan sesuai dengan kemampuanmu. Kamu juga bisa mulai mencari informasi tentang berbagai layanan bantuan korban kekerasan. Dengan begitu, nantinya ketika korban memutuskan untuk meninggalkan pelaku, kamu bisa menjadi safe space bagi mereka.

Baca juga: Ke Mana Korban Harus Melapor? Layanan Bantuan Korban Kekerasan Berbasis Gender (KBG) yang Bisa Dihubungi

Jika kamu butuh safe space untuk sharing seputar relationship dan isu-isu kekerasan, yuk gabung dengan Girls Beyond Circle! Klik di sini untuk join, ya! Stay safe and be kind to everyone, girls