Perempuan Tangguh Afrika Nggak Cuma Ada di Film “Wakanda Forever”
Film “Black Panther: Wakanda Forever” mulai tayang di bioskop-bioskop Indonesia pada tanggal 9 November 2022. Film ini merupakan kelanjutan dari “Black Panther” yang dirilis pada tahun 2018. “Black Panther: Wakanda Forever” bakal menceritakan perjuangan para pemimpin Wakanda setelah kematian raja mereka, T’Challa.
Uniknya, film “Black Panther: Wakanda Forever” fokus kepada tokoh-tokoh perempuan dari kerajaan tersebut. Sebut saja adik perempuan T’Challa, Putri Shuri dan pemimpin pasukan khusus Dora Milaje, Okoye. Karakter mereka dianggap sebagai representasi akan perempuan-perempuan tangguh dari tanah Afrika.
Tentu saja perempuan-perempuan tersebut nggak cuma eksis di dunia fiksi. Berikut adalah sejumlah perempuan berpengaruh asal Afrika yang berhasil membuat perubahan di tanah kelahirannya maupun dunia. Siapa saja mereka?
Baca juga: Nggak Cuma Fella dan Sarah, 5 Tokoh Perempuan dalam Film Indonesia Ini Nggak Kalah Keren!
Lupita Nyong’o, Kenya
Pemeran Nakia dalam film “Black Panther” ini merupakan perempuan berdarah Kenya yang lahir di Meksiko. Ia memulai kariernya sebagai kru produksi pada tahun 2005. Namanya dikenal setelah memerankan tokoh Patsey dalam film “12 Years A Slave” pada tahun 2013. Ia berhasil membawa pulang Academy Awards kategori Best Supporting Actress pada tahun 2014 karenanya.
Nama Lupita Nyong’o semakin populer setelah membintangi serial film “Star Wars” sebagai Maz Kanata. Ia juga mengisi suara karakter Raksha di film “The Jungle Book” (2016). Pada tahun 2018, ia menjadi mata-mata River Tribe bernama Nakia dalam film “Black Panther” dan kembali memerankan tokoh yang sama dalam film “Black Panther: Wakanda Forever” yang dirilis tahun ini.
Lupita Nyong’o juga terlibat dalam berbagai aktivisme mengenai rasisme, kesetaraan gender, perlindungan hewan, dan kekerasan seksual. Pada tahun 2019, Nyong’o menulis buku anak-anak berjudul “Sulwe”. Buku tersebut menceritakan struggle yang dialami oleh seorang anak perempuan asal Kenya yang memiliki warna kulit paling gelap dalam keluarganya. “Sulwe” menjadi buku best-seller versi New York Times dan meraih penghargaan NAACP Image Awards pada tahun 2020.
Baca juga: 5 Perempuan dari Drama Korea Ini Nggak Kalah Hebat dari Queen Hwa-ryeong
Graça Machel, Mozambique
Graça Machel mengawalinya kariernya sebagai guru pada tahun 1973. Di saat yang sama, ia bergabung dengan partai sosialis-demokratis, Mozambican Liberation Front (FRELIMO). Ketika negaranya merdeka dari Portugis di tahun 1975, Machel diangkat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mozambik yang pertama. Di bawah pimpinan Machel, jumlah anak yang mendapatkan pendidikan formal naik dari 40% menjadi 75-90%.
Graça Machel sempat menjadi konselor di University of Cape Town pada tahun 1999-2009. Selanjutnya, Graça Machel fokus pada berbagai isu HAM, seperti bencana kelaparan, pengungsi anak, dan perkawinan anak. Machel dianugerahi berbagai penghargaan atas kerja-kerjanya. Sebut saja Africa Prize 1992 dan Nansen Medal 1995.
Baca juga: Lagu K-Pop Bertema Feminisme yang Super Empowering
Chimamanda Ngozi Adichie, Nigeria
Chimamanda Ngozi Adichie adalah penulis dan aktivis feminis asal Nigeria. Ia memulai kariernya sebagai penulis dengan nama pena Amanda N. Adichie. Ia menulis puisi, naskah drama, dan cerita pendek. Novel pertamanya, “Purple Hibiscus” (2003) berhasil menyabet penghargaan Commonwealth Writers’ Prize 2005 kategori Best First Book.
Sejak tahun 2009, Adichie sering diundang untuk bicara dalam event-event TED, seperti TED Conference dan TEDx. Pada tahun 2012, presentasinya yang berjudul “We All Should Be Feminists” di event TEDxEuston London berhasil mencuri perhatian publik. Dua tahun setelahnya, presentasi Adichie diterbitkan dalam sebuah buku berjudul sama.
Baca juga: 6 Rekomendasi Buku Bertema Women Empowerment yang Wajib Kamu Baca
Meaza Ashenafi, Ethiopia
Meaza Ashenafi adalah pengacara asal Ethiopia. Pada tahun 1989-1992, Ashenafi merupakan hakim di Mahkamah Agung Ethiopia. Kemudian di tahun 1993, ia ditunjuk sebagai penasehat hukum bagi Ethiopian Constitution Commission. Dua tahun setelahnya, ia mendirikan Ethiopian Women Lawyers Association (EWLA).
Meaza Ashenafi aktif menyuarakan isu-isu kesetaraan gender di Ethiopia. Ia merupakan salah satu pendiri Enat Bank yang mempromosikan kesetaraan gender di bidang perekonomian. Pada tahun 2005, Ashenafi dianugerahi Nobel Peace Prize. Saat ini, Ashenafi menjabat sebagai presiden Mahkamah Agung Ethiopia.
Baca juga: Rekomendasi Film tentang Kemerdekaan Perempuan yang Wajib Kamu Tonton
Aya Chebbi, Tunisia
Aya Chebbi merupakan diplomat sekaligus aktivis feminis asal Tunisia. Namanya dikenal secara global sebagai blogger pada saat terjadinya Revolusi Tunisia di tahun 2010. Melalui blog pribadinya, Chebbi menyuarakan ideologi Pan-Afrikanisme dan feminisme.
Pada tahun 2013, Aya Chebbi mendirikan kolektif feminis bernama Voice of Women Initiative (VOW-I) bersama aktivis Kamerun, Konda Delphine dan Rose Wachuka dari Kenya. VOW-I mendorong pemberdayaan perempuan Afrika melalui berbagai upaya advokasi dan pemanfaatan ruang digital. Dua tahun setelahnya, Chebbi diundang sebagai narasumber muda dalam perayaan 20 tahun Fourth World Conference on Women di Beijing, Republik Rakyat Tiongkok.
Aya Chebbi ditunjuk sebagai African Union Special Envoy on Youth pertama pada tahun 2018. Ini menjadikan Chebbi sebagai diplomat termuda dalam kabinet Mousa Faki, chairperson Komisi Persatuan Afrika. Sejak tahun 2020, Chebbi merupakan anggota Independent Panel for Pandemic, Preparedness, and Response (IPPR).
Baca juga: Perempuan yang Mendobrak Gender Gap di Bidang STEM
Ellen Johnson Sirleaf, Liberia
Ellen Johnson Sirleaf merupakan perempuan pertama yang terpilih sebagai presiden di tanah Afrika. Ia menjabat sebagai Presiden Liberia pada tahun 2006-2018. Di bawah pimpinannya, Sirleaf berhasil membebaskan negaranya dari utang sebesar 4,8 triliun dollar AS.
Pada tahun 2011, Sirleaf dianugerahi Nobel Peace Prize bersama aktivis perdamaian Liberia, Leymah Gbowee dan jurnalis Yaman, Tawakkol Karman. Sirleaf dianggap sebagai perempuan pertama yang berhasil mendobrak glass ceiling dalam kancah perpolitikan modern Afrika. Berkat Sirleaf, kini semakin banyak kursi-kursi pemerintahan yang diisi oleh perempuan.
Baca juga: Tak Cuma Ratu Elizabeth II, Berikut 5 Pemimpin Perempuan Hebat dari Seluruh Dunia
Dora Moono Nyambe, Zambia
Dora Moono Nyambe merupakan seorang guru Bahasa Inggris di Republik Rakyat Tiongkok. Ketika berkunjung ke Desa Mapapa, Zambia ia terkejut melihat betapa parahnya kemiskinan di sana. Kualitas pendidikannya juga sangat rendah karena maraknya perkawinan anak di Desa Mapapa. Dari situ, Nyambe memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan lamanya dan menetap di Desa Mapapa.
Nyambe membuka sekolah gratis dan memasang dua pompa air untuk menyediakan air bersih bagi warga setempat. Ia aktif menentang perkawinan anak dan perdukunan dengan membawa anak-anak yang sakit ke tenaga kesehatan modern. Ia bahkan menjadi ibu asuh dari 15 orang anak sekaligus. Tentunya ini bukan hal sepele, mengingat Nyambe masih berstatus lajang. Ia harus mempekerjakan bodyguard karena banyaknya upaya penyerangan warga lokal terhadap Nyambe.
Dora Moono Nyambe memanfaatkan platform TikTok untuk membagikan pengalaman serta kondisi Desa Mapapa. Salah satu cita-cita Nyambe saat ini adalah membangun asrama bagi para muridnya. Dengan begitu, mereka nggak perlu menempuh perjalanan jauh untuk bersekolah. Selain itu, Nyambe membuka donasi melalui GoFundMe untuk biaya pendidikan menengah dan perawatan medis bagi anak-anaknya.
Baca juga: Kenalan dengan Imposter Syndrome, Musuh Perempuan dalam Meraih Kesuksesan
Nah, itu tadi sejumlah perempuan asal Afrika yang nggak kalah tangguh dengan para tokoh “Black Panther: Wakanda Forever”. Semoga mereka bisa menjadi inspirasi untuk kita semua, ya! Kalau kamu pengen sharing lebih banyak seputar women empowerment, yuk gabung dengan Girls Beyond Circle! Klik di sini untuk bergabung, ya!