
Haruskah Mengorbankan Diri Sendiri untuk ‘Personal Branding’ di Media Sosial?
Personal branding adalah hal krusial di era digital kayak sekarang, sudah jadi keharusan buat setiap orang untuk punya personal branding.
Eksistensi kamu di media sosial bukan lagi soal pamer foto atau update status doang, tapi banyak dari pengguna (mungkin termasuk kamu) gunakan media buat ngebangun personal branding.
Tapi suka bingung enggak sih, apa harus menghilangkan jati diri kalau mau bangun personal branding? Apa iya personal branding harus kita pisah dari diri kita yang sebenarnya? Daripada bingung kayak gini, yuk kita bahas bareng.
Baca juga: Strategi Membangun Personal Branding untuk Introvert di Dunia Profesional
Definisi Personal Branding
Katanya Jeff Bezos, pendiri Amazon, soal personal branding dia bilang begini “Your brand is what people say about you when you’re not in the room.”
Maksud dari perkataannya itu, personal branding bisa dianggap sebagai persepsi orang lain terhadap diri kita, bagaimana kita dikenal dan dikenang nantinya.
Dari apa yang dibilang Jeff, bisa kita simpulkan kalau personal branding adalah cara seseorang mempresentasikan dirinya secara konsisten kepada publik untuk membentuk persepsi tertentu.
Kalau di dunia kerja dan bisnis, personal branding bukan sekadar tren. Menurut survei CareerBuilder, 70% recruiter menggunakan media sosial untuk menyaring kandidat.
Bahkan, 43% dari mereka mengaku menolak kandidat berdasarkan konten yang mereka temukan. Artinya, apa yang kita tampilkan di dunia digital punya pengaruh nyata terhadap peluang karier. Gokil, kan?
Baca juga: 4 Langkah Mudah untuk Membangun Personal Branding Agar Karier Berkembang
Definisi Jati Diri
Sementara itu, jati diri adalah identitas sejati dari diri seseorang yang mencakup nilai, kepercayaan, prinsip hidup, dan keunikan yang enggak bisa dipalsukan.
Kalau kata Bapak Nicolaus Driyarkara seorang tokoh filsuf Indonesia, beliau pernah bilang
“Jati diri adalah kesadaran akan identitas diri secara utuh, yang mencakup kesadaran akan asal-usul, nilai, dan tujuan hidup.”
Maksud dari perkataannya adalah jati diri bukan hanya tentang “siapa aku,” tapi juga tentang menyadari nilai-nilai yang dianut dan arah hidup yang ingin ditempuh.
Intinya, jati diri bukan sekadar bagaimana kita terlihat, tapi siapa kita sebenarnya saat enggak ada kamera menyala atau ketika enggak ada orang yang judge kamu.
Masalahnya, saat personal branding terlalu difokuskan pada impresi, kamu bisa terjebak dalam pencitraan, bukan lagi menampilkan versi terbaik dari diri sendiri, tapi versi “paling laku” kamu di media sosial.
Baca juga: 5 Cara Menjadi Content Creator untuk Pemula, Cuan Banget!
Dilema yang Muncul Saat Bangun Personal Branding
Salah satu dilema terbesar saat kamu membangun personal branding adalah pertanyaan yang sederhana tapi berat: lebih baik jujur atau laku dulu?
Di satu sisi, kamu ingin tampil apa adanya, menunjukkan keunikan kamu. Tapi disisi lain, ada tekanan algoritma media sosial, tren, dan ekspektasi audiens yang “menuntut” kamu untuk tampil sesuai standar tertentu, misalnya:
- Seorang kreator konten yang sebenarnya introvert, tapi terpaksa bikin video dengan energi berlebihan karena konten yang fun lebih disukai.
- Freelancer yang menampilkan gaya hidup serba sibuk dan sukses, padahal dia juga lagi struggle secara finansial.
- Mahasiswa yang selalu tampil percaya diri di Instagram, padahal dia juga lagi bergulat dengan krisis identitas.
Hal-hal itu bukan kasus langka, menurut riset oleh American Psychological Association, lebih dari 60% pengguna media sosial merasa tertekan untuk menampilkan citra yang lebih baik dari kenyataan.
Tekanan ini bukan cuma bikin lelah mental, tapi bisa menciptakan jarak antara diri kamu yang sebenarnya dan versi yang kamu tampilkan.
Baca juga: Cewek Juga Bisa Loh, Yuk Intip Potensi Berkarier Melalui Media Sosial!
Apa yang Harus Kamu Lakukan?
Kamu enggak harus kehilangan jati diri demi membangun personal branding, yang kamu butuhkan adalah alignment, yaitu membangun keselarasan antara siapa diri kamu sebenarnya dan bagaimana kamu menampilkan itu ke publik.
Daripada kamu “manipulasi” citra, kamu bangun narasi yang jujur, otentik, tapi tetap strategis, misalnya
- Kalau kamu introvert, enggak perlu sok supel dan jadi orang yang paling fun, kamu bisa nampilin sisi reflektifmu. Kalau begini justru bakal banyak audiens relate.
- Kalau kamu pernah gagal, enggak perlu ditutupi. Ceritakan proses bangkitmu, pakai narasi yang bagus, itu akan jadi image yang kuat.
Percaya deh, bangun image yang seperti itu pasti tetap akan ramai, kalau kamu pakai strategi dan sasaran audiens yang benar.
Soalnya menurut data dari Edelman Trust Barometer, 81% orang lebih percaya pada individu yang “real” daripada yang sempurna. Jadi, kejujuran bukan kelemahan, justru itu adalah kekuatan.
Baca juga: 7 Tempat Foto LinkedIn Profesional di Jakarta, Bandung, sampai Jogja
Strategi Membangun Personal Branding Tanpa Kehilangan Jati Diri
Setelah kamu tahu kalau ada strategi alignment saat kamu mau bangun personal branding, kamu enggak perlu lagi faking di media sosia;.
Ini ada beberapa strategi yang bisa kamu terapkan, kalau kamu mau bangun personal branding:
1. Tentukan Nilai Inti
Tanyakan pada ke dirimu sendiri, apa nilai yang kamu pegang teguh? Misalnya: kejujuran, keberlanjutan, kerja keras, kreativitas. Gunakan nilai itu sebagai fondasi dalam setiap konten dan interaksi digital kamu.
2. Konsisten Tapi Fleksibel
Personal branding adalah proses, kamu bisa berkembang asal konsisten dengan nilai dan gaya komunikasi kamu di media sosial. Jangan merasa harus terjebak dalam satu persona selamanya.
3. Cerita Adalah Segalanya
Alih-alih jualan pencitraan, bangun narasi, bikin storytelling yang engaging buat audiens kamu, dan buat koneksi batin ke mereka. Ceritakan proses, kegagalan, insight yang kamu dapat, itu akan lebih berkesan.
4. Show the Best of Yourself
Menampilkan sisi terbaik dari diri kamu bukan berarti kamu fake. Sama kayak pas wawancara kerja saja, kamu tetap jadi diri sendiri, tapi kamu pilih sisi yang paling relevan dengan konteks.
Baca juga: Pentingnya Social Currency dalam Karier, Pertemanan, dan Kehidupan Sosial, Apa Itu?
Studi Kasus: Tokoh yang Otentik Tapi Tetap Strong Secara Branding
Nih, ada bukti OG (Old Generation) kalau bangun personal branding enggak harus palsu dan jauh dari jati diri sendiri, ada dua tokoh yang dari dulu sampai sekarang selalu nampilin kesan real tanpa harus maksain.
- Najwa Shihab: Tegas, kritis, namun tetap down to earth, personal branding-nya sejalan dengan nilai-nilai jurnalistik dan kepribadiannya di layar kaca maupun di balik layar.
- Raditya Dika: Memulai dari komedi, tapi berkembang jadi sosok yang bicara soal investasi, keluarga, dan produktivitas. Branding-nya fleksibel dan chill tapi tetap terasa otentik, karena masih relevan dengan apa yang dia tampilin di media.
Keduanya menunjukkan bahwa personal branding adalah tentang mengkomunikasikan jati diri secara efektif, bukan ubah image.
So, intinya kamu enggak harus kehilangan jati diri untuk tampil “oke” di media sosial. Justru, di tengah banjir konten pencitraan saat ini, keaslian adalah nilai jual paling langka dan paling kuat.
Ingat ya personal branding adalah jendela dari kamu buat orang banyak, maksudnya orang lain bisa melihat dan menilai potensi terbaik yang kamu punya.
Kamu harus tetap jujur, strategis, dan jangan takut untuk jadi diri sendiri, karena jadi diri kamu bukan penghalang sukses.
—
Kalau kamu mau tahu info soal job insight, tips and tricks di dunia kerja, atau kamu mau promosiin diri kamu, kamu bisa gabung ke Girls Beyond Circle dan kenalan sama banyak orang di sana. Jadiin komunitas yang kamu punya, sebagai wadah promosi personal branding kamu!