gagal menampilkan data

GB Logo
Article

“I Can Fix Him”: Sindrom Pahlawan ala “F4 Thailand” yang Bikin Kamu Terjebak Toxic Relationship

Written by Angela Ranitta

Siapa di sini yang penggemar “F4 Thailand”? Pasti tahu, dong kalau kemarin geng F4 Thailand barusan mampir ke Indonesia. Geng ini terdiri dari empat aktor muda nan berbakat, yaitu Vachirawit Chivaaree (Bright), Metawin Opas-iamkajorn (Win), Jirawat Sutivanichsak (Dew), dan Hirunkit Changkham (Nani). Pada hari Sabtu (15/10/2022), mereka menggelar konser bertajuk “Shooting Star Asia Tour” di Jakarta.

F4 Thailand” sendiri merupakan “Meteor Garden”-nya Negeri Gajah Putih. Serial “F4 Thailand” terdiri dari 16 episode yang tayang selama Desember 2021-April 2022. “F4 Thailand” juga merupakan series yang “bertabur bintang” karena dimainkan oleh sejumlah aktor ternama Thailand yang punya skill akting jempolan. 

Series ini mengisahkan tentang lika-liku hubungan antara gadis miskin bernama Gorya dan pemuda kaya raya bernama Thyme. Gorya yang merupakan seorang atlet berbakat mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di SMA Kocher, sekolahnya anak-anak kaya di Thailand. Namun, ia terkejut ketika mendapati maraknya bullying di sekolah barunya. Budaya bullying SMA Kocher dipelopori oleh geng F4 yang terdiri dari empat murid paling kaya di sana, yaitu Thyme, Ren, Kavin, dan MJ. Keempatnya telah bersahabat sejak kecil dan merupakan anak dari orang-orang paling berpengaruh di Thailand. 

Baca juga: Rekomendasi Film dari Seulgi “Red Velvet”

Gorya adalah gadis miskin yang mendapatkan beasiswa di sekolah elite, SMA Kocher yang ternyata penuh dengan tindakan bullying.

Thyme dikenal dengan kebiasaannya memberi red card untuk orang-orang yang bikin dia atau gengnya merasa terganggu. Kartu merah yang diberikan Thyme bukanlah kartu sembarangan, melainkan sebuah lampu hijau bagi murid-murid SMA Kocher untuk melakukan bullying tanpa ampun terhadap penerimanya. Akibatnya, hampir semua penerima red card dari Thyme terpaksa keluar dari SMA Kocher, kecuali Gorya. 

Gorya sendiri terpaksa berurusan dengan Thyme setelah membela temannya yang terlebih dulu mendapat red card. Namun, nggak seperti penerima red card lainnya, Gorya selalu melawan Thyme. Hal ini membuat Thyme merasa kesal, kaget, sekaligus heran. Ia berusaha mencari cara agar Gorya berhenti memberontak dan menuruti kemauannya.

Lambat laun, Thyme dan Gorya justru saling jatuh cinta. Hubungan yang mereka jalani tentunya nggak mudah. Selain terhalang kesenjangan kasta yang begitu tinggi, Gorya juga harus berhadapan dengan sikap temperamental Thyme. Namun, meskipun berkali-kali disakiti oleh Thyme, Gorya selalu memberinya kesempatan kedua. Sebab, Gorya yakin bahwa suatu saat nanti Thyme akan berubah menjadi lebih baik. 

Apa, Sih yang Bikin Gorya Bertahan? 

Meski disakiti berkali-kali, Gorya tetap bertahan dengan Thyme.

Apa yang dialami Gorya nggak cuma terjadi di film-film saja, loh. Nyatanya, banyak banget cewek di luar sana yang bersikap seperti Gorya. Mereka terjebak dalam hubungan toxic karena terus-terusan mentoleransi red flags pasangannya, seperti sikap temperamental, sikap posesif, melakukan kekerasan fisik saat marah, tukang selingkuh, dan lain-lain. 

Secara global, 27% perempuan usia 15-49 tahun pernah mengalami intimate partner violence atau kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya sendiri. Sementara itu, data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa telah terjadi lebih dari seribu kasus kekerasan dalam pacaran (KDP) di Indonesia selama tahun 2021. 

Namun, kira-kira kenapa, ya banyak banget cewek yang udah tahu pasangannya red flags banget, tapi tetap mempertahankan hubungannya seperti yang Gorya lakukan? Nah, kamu perlu kenalan, nih dengan yang namanya hero syndrome atau sindrom pahlawan.

Hero syndrome bikin seseorang selalu merasakan dorongan untuk membantu orang lain.

Hero syndrome atau hero complex adalah sebuah sindrom yang membuat seseorang merasakan dorongan untuk menolong orang lain. Orang tersebut akan selalu mencari orang lain yang menurutnya perlu bantuan. Orang yang mengalami hero syndrome cenderung mengorbankan dirinya sendiri untuk menolong orang lain. Selain itu, beberapa orang yang memiliki sindrom ini secara sengaja menciptakan sebuah situasi yang merugikan atau membahayakan orang lain, sehingga dirinya dapat berperan sebagai penyelamat orang tersebut. Karenanya, hero syndrome seringkali disebut juga sebagai savior complex atau white knight syndrome

Apa saja tanda-tanda seseorang memiliki hero syndrome?

  • Rela membuat pengorbanan berlebihan, meskipun itu merugikan atau membahayakan dirinya sendiri.
  • Memiliki empati berlebihan yang membuat dirinya mudah kasihan terhadap orang lain.
  • Mudah tertarik kepada orang-orang yang dianggap butuh pertolongan dan punya banyak masalah.
  • Merasa dirinya berharga hanya ketika berhasil membantu orang lain.
  • Suka memengaruhi orang lain agar mengikuti saran, pendapat, atau solusi yang ia berikan.
  • Merasa dirinya memiliki solusi atas segala masalah.
  • Percaya bahwa dirinya bisa mengubah seseorang atau keadaan orang tersebut.

I Can Fix Him”, Dorongan Jadi Pahlawan buat Cowok Toxic

Hero syndrome pada perempuan memberikan dorongan untuk berusaha mengubah cowok toxic jadi lebih baik.

Hero syndrome bisa terjadi kepada siapa pun, termasuk perempuan. Sindrom ini juga bisa disebabkan oleh banyak hal. Misalnya, trauma karena pernah gagal membantu orang lain di masa lalu, atau pola asuh dan pendidikan yang terus menekankan bahwa seseorang harus bisa menjadi pahlawan bagi orang lain. Namun, maraknya hero syndrome di kalangan perempuan nggak lepas dari konstruksi budaya patriarki.

Budaya patriarki menuntut perempuan untuk memiliki sifat-sifat mengayomi dan menuntun orang lain untuk berubah ke arah yang lebih baik. Perempuan dituntut untuk memaklumi pasangannya yang punya sikap buruk, bahkan kalau bisa mengubah sikapnya tersebut. Ketika terjadi permasalahan dalam hubungan, seperti perselingkuhan atau kekerasan, seringkali perempuanlah yang terlebih dulu disalahkan. Nggak jarang kita mendengar komentar, seperti,”Pantes aja cowoknya selingkuh, karena ceweknya nggak bisa merawat diri.” “Wajar, lah dia selingkuh, soalnya istrinya terlalu sibuk kerja sampai nggak punya waktu untuk melayani dia.” “Padahal dia orang baik, kok bisa, sih sampai melakukan kekerasan ke pasangannya? Pasti ceweknya, nih yang susah diatur!” 

Masyarakat masih sering menyalahkan perempuan ketika pasangannya berselingkuh atau melakukan kekerasan.

Di sisi lain, seorang perempuan akan dianggap berhasil apabila dia mampu bertahan dalam hubungan yang toxic dan mengubah pasangannya menjadi lebih baik. Dalam kasus KDRT Rizky Billar yang baru-baru ini ramai, contohnya, nggak sedikit yang menganggap Lesti Kejora lemah dan manja. “Namanya pernikahan itu wajar kalau 5 tahun pertama penuh cobaan. Dikit-dikit, kok lapor polisi!” 

Nah, itulah sebabnya banyak perempuan yang akhirnya mengalami hero syndrome. Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat mengubah seorang laki-laki jadi lebih baik. Makanya, nggak sedikit cewek yang sudah tahu dirinya didekati oleh cowok red flags, tapi tetap tancap gas sampai pacaran atau menikah karena percaya cowok tersebut bakal berubah jika bersamanya. “I can fix him,” begitulah kira-kira mindset yang dimiliki oleh cewek dengan hero syndrome. Akhirnya, banyak cewek yang kejeblos dalam hubungan toxic. Ketika mereka sudah sadar pun, nggak sedikit yang sulit lepas karena terus-terusan dimanipulasi atau diancam oleh pasangannya. 

Baca juga: Mengenal Battered Woman Syndrome yang Bikin Korban KDRT “Bucin” sama Pelaku

Mencegah Hero Syndrome, Menghindari Toxic Relationship

Lalu, gimana, sih caranya supaya kita nggak mengalami hero syndrome, apalagi sampai terjebak toxic relationship seperti Gorya?

Know Your Value as A Woman

Harga dirimu nggak hanya ditentukan dari seberapa kuat kamu bertahan sama pasangan toxic.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, hero syndrome membuat seseorang merasa berharga hanya ketika dirinya berhasil menolong orang lain. Begitu pula perempuan dengan hero syndrome di tengah kentalnya budaya patriarki. Masyarakat seolah-olah mengukur ketangguhan perempuan dari kemauannya bertahan dalam hubungan toxic, serta kesuksesannya mengubah pasangan jadi lebih baik. 

Tentu saja memiliki mental yang kuat, serta kesabaran dalam menghadapi situasi sulit adalah sesuatu yang kita semua inginkan. Tetapi, bukan berarti kita harus membiarkan diri terus-terusan terjebak dalam toxic relationship. Menjadi tangguh bukan berarti pasrah diperlakukan buruk oleh orang lain, tetapi berani melawan segala bentuk kekerasan. 

Dan hal pertama yang perlu kamu lakukan agar terhindar dari hero syndrome adalah sadari betapa berharganya dirimu. Sebagai perempuan, value diri kamu nggak cuma ditentukan dari seberapa kuat kamu bertahan dalam hubungan yang nggak sehat, atau berhasil tidaknya kamu mengubah pasanganmu yang red flags jadi green flags. Kamu adalah perempuan yang berharga dengan segala kekurangan dan kelebihan yang kamu punya, and nobody can tell you otherwise

Perubahan Muncul dari Diri Sendiri

Kamu nggak bisa memaksa orang lain berubah jika mereka nggak memiliki kemauan.

Kita memang bisa membantu orang lain untuk berubah. Namun, kita juga harus ingat, kalau perubahan hanya bisa terjadi ketika seseorang memiliki tekad kuat untuk berubah. Kenyataannya, banyak  banget, loh orang yang tetap toxic meski sudah punya pasangan yang sabar dan pengertian. Karena orang tersebut memang nggak punya niat untuk berubah. Bahkan, mungkin saja dia nggak sadar kalau dirinya toxic.

Jadi, jangan buang-buang waktu dan energi kamu untuk orang yang nggak mau berusaha, ya, girls. Apalagi sampai mengorbankan kesehatan mental dan keselamatanmu sendiri demi mendampingi mereka. 

Self Care is Not Selfish

Jangan sampai empati untuk menolong orang lain bikin kamu jadi egois sama diri sendiri.

Berempati terhadap permasalahan atau keterbatasan yang dimiliki orang lain memang baik. Namun, kalau menolong orang lain justru bikin kita rugi dan celaka, artinya ada yang salah dengan diri kita. Ibarat berada dalam kapal yang hendak tenggelam, sebelum menolong orang lain, kamu harus pastikan kalau kamu sudah memakai safety vest. Sebab, kalau kamu sendiri nggak berada dalam situasi yang aman, kamu pun nggak akan bisa mengamankan orang lain.

Jadi, jangan sampai kamu terlalu sibuk membantu orang sampai lupa merawat diri sendiri. Ingat, self care is not selfish! Ketika kebutuhanmu sudah terpenuhi dan kamu ada dalam kondisi yang baik, kamu pun pasti bisa lebih optimal dalam menolong orang lain. 

Baca juga: What Self-Love Means to Me

Punya Support System yang Kuat

Support system yang baik sangat diperlukan agar kita nggak lagi terjebak dalam hubungan dengan orang-orang yang toxic.

Bicara soal kekerasan terhadap perempuan dan kesehatan mental memang nggak lengkap rasanya kalau nggak bahas tentang support system. Sebab, keberadaan support system memang sepenting itu untuk kita, girls. Bangunlah support system yang kuat dan sehat, yang terdiri dari orang-orang yang bisa kamu percaya, serta menerima kamu apa adanya. 

Memiliki support system yang kuat bisa mencegah kamu kejeblos dalam jebakan bernama toxic relationship. Atau kalau kamu sudah telanjur ada di dalamnya, mereka bisa membantu kamu untuk lepas dari hubungan yang kurang sehat tersebut.

Tapi, rasanya orang-orang yang ada di dekatku, kok nggak bisa jadi support system yang baik, ya? Eits, jangan sedih dulu! Support system nggak selalu datang dari orang-orang terdekat kita, loh. Bahkan kadang orang-orang yang kesannya jauh atau asing dari kita justru bisa menjadi support system. Dan kamu bisa ketemu dengan orang-orang seperti itu melalui support group

Beberapa support group yang bisa jadi safe place buat kamu, antara lain Perempuan Tanpa Stigma (PENTAS), We Are Sisters, dan Lentera Sintas Indonesia. Menariknya, support groups tersebut bisa kamu ikuti secara virtual, loh, jadi nggak perlu khawatir soal keterbatasan akses. 

Baca juga: 6 Rekomendasi Buku Bertema Women Empowerment yang Wajib Kamu Baca

Belajar Jadi Pendengar yang Baik

Belajar mendengarkan orang lain dan menolong mereka sesuai dengan kemampuanmu.

Salah satu gejala seseorang mengalami hero syndrome adalah mereka merasa harus selalu punya solusi untuk semua masalah. Padahal belum tentu solusi yang kamu punya bisa membantu orang lain. Selain itu, nggak semua orang yang datang ke kamu itu karena mereka butuh solusi. Banyak orang yang hanya butuh didengarkan ceritanya. 

Jadi, kamu perlu berlatih untuk menjadi pendengar yang baik, ya. Hindari kebiasaan memotong pembicaraan, atau melihat sesuatu hanya dari sudut pandangmu saja. It’s okay kalau kamu nggak selalu punya solusi atas curhatan orang-orang terdekatmu. Mungkin saja mereka nantinya akan menemukan solusi sendiri, atau mendapatkannya dari orang lain. 

Belajarlah menawarkan bantuan sesuai dengan kemampuanmu. Jika kamu merasa nggak bisa menolong, kamu bisa mengarahkan orang tersebut untuk mencari bantuan dari pihak lain yang dirasa lebih mumpuni.

Nggak ada salahnya, kok berempati dan berkeinginan untuk menolong orang lain. Namun, jangan sampai hal itu bikin kamu kehilangan value dirimu, apalagi sampai jadi korban kekerasan dan terjebak dalam hubungan yang toxic. You are precious, girls! Stay safe and be kind!

Kamu butuh safe place buat sharing seputar isu relationship dan kesehatan mental? Yuk, gabung dengan Girls Beyond Circle! Klik di sini untuk join, ya!

Comments

(0 comments)

user
girl-thinking

Yuk, Jadi yang Pertama Berkomentar!

Bagikan pendapatmu!

Sister Sites Spotlight

article

entertainment 2

30 Mar

Son Ye Jin, Ji Chang Wook, dan Nana Resmi Bintangi Drama ‘Scandals’!

article

lifestyle

31 Mar

5 Rekomendasi Restoran All You Can Eat di Jakarta untuk Selingan saat Lebaran

article

infografik

27 Feb

Variasi 100 Posisi Seks untuk Keintiman Suami Istri, Coba Nanti Malam!

article

parenting mommies

04 Mar

Rahasia Rambut Keren si Kecil: Pomade Water Based yang Wajib Dicoba!