
Pola Pikir ‘Body Positivity’ Tak Selamanya Baik, Simak Penjelasannya!
Body positivity kini jadi topik yang sering dibicarakan, bahkan banyak orang yang menganggap ini sebagai langkah positif untuk mencintai diri sendiri.
Tapi, tahukah kamu kalau gerakan ini juga bisa berisiko jadi sesuatu yang malah bikin kita terjebak dalam pola pikir yang toxic?
Gerakan body positivity bertujuan untuk menerima tubuh kita apa adanya (bentuk, ukuran, warna kulit, dan kondisi fisik) tanpa mengikuti standar kecantikan yang tak realistis.
Namun, meski niatnya baik, ada beberapa sisi lain yang bisa menimbulkan masalah. Penasaran apa itu? Yuk, simak lebih lanjut!
Baca juga: 7 Kebiasaan Positif yang Bisa Dimulai di Tahun Baru 2025, Yuk Coba!
Gerakan Body Positivity Berawal dari Protes Orang Gemuk
Gerakan body positivity berawal dari perjuangan orang-orang yang menentang perlakuan diskriminatif terhadap orang bertubuh besar.
Pada tahun 1969, seorang insinyur muda asal New York, Bill Fabrey, sangat marah dengan perlakuan masyarakat terhadap istrinya yang berbadan besar, Joyce.
Kemudian, ia terinspirasi oleh artikel Lew Louderbach tentang ketidakadilan terhadap orang bertubuh besar, lalu menyebarkannya kepada banyak orang dan mendirikan NAAFA, organisasi yang memperjuangkan hak-hak mereka.
Di sisi lain Amerika Serikat, di California, sekelompok feminis juga mulai merasa marah dengan perlakuan yang diterima oleh orang bertubuh besar.
Mengikuti jejak NAAFA, mereka pun akhirnya mendirikan kelompok yang bernama Fat Underground.
Masuk ke awal tahun 2000-an, internet menjadi salah satu media untuk berbagi pengalaman tentang body shame dan body love.
Para aktivis tubuh besar yang sudah aktif sejak lama kini memanfaatkan platform seperti Tumblr dan Instagram untuk terus menyebarkan pesan body positivity, dengan menggunakan hashtag dan grup di Facebook untuk saling terhubung.
Itulah saat di mana gerakan body positivity mulai dikenal lebih luas dan menjadi kekuatan yang tak bisa diabaikan.
Efek Gerakan Body Positivity Menurut Penelitian
Gerakan body positivity telah mempengaruhi banyak orang dalam menerima tubuh mereka apa adanya, tetapi ada perbedaan pandangan terhadap gerakan ini.
Menurut jurnal When Body Positivity Falls Flat dari Science Direct, sebuah studi menemukan bahwa wanita yang melihat konten body positivity di Instagram merasa lebih puas dan menerima tubuh mereka dibandingkan dengan yang melihat konten yang mendukung ideal tubuh kurus.
Tetapi, tidak semua pesan body positivity punya dampak yang sama. Penelitian menunjukkan pesan ini umumnya bermanfaat, tapi kalau terlalu memaksa untuk menerima kondisi tubuhnya yang tidak “ideal” malah bisa bikin orang merasa tertekan.
Fenomena ini sering disebut sebagai “toxic positivity” di mana seseorang merasa harus selalu berpikir positif meskipun kenyataannya mereka masih menghadapi ketidakpuasan atau ketidaknyamanan.
Baca juga: Buruknya Manifesting untuk Kesehatan Mental, Kok Bisa? Cek Kata Ahli!
Body Positivity Lama-kelamaan Bisa Merugikan
Lama-kelamaan, gerakan ini mengalami perubahan yang kurang sehat. Beberapa orang merasa tertekan untuk selalu merasa positif tentang tubuh mereka, padahal tidak masalah jika kita merasa tidak nyaman dengan tubuh kita.
Menurut KevinMD.com masalahnya, gerakan body positivity seringkali lebih fokus pada penampilan fisik daripada fungsi tubuh.
Padahal, tubuh kita bukan hanya tentang penampilan. Fungsi tubuh yang memungkinkan kita beraktivitas dan berpikir jauh lebih penting.
Selain itu, ada anggapan bahwa mencoba menurunkan berat badan itu berarti membenci diri sendiri, padahal faktanya, obesitas berhubungan dengan berbagai masalah kesehatan serius yang membutuhkan penanganan.
Obesitas adalah masalah yang sangat besar, tidak hanya disebabkan oleh body positivity yang berlebihan, tetapi juga oleh faktor lain seperti makan berlebihan, ketidakseimbangan hormon, hingga gangguan pada sistem pencernaan.
Jadi, gerakan body positivity memang penting, tapi kita perlu memahami bahwa penerimaan tubuh itu tidak hanya soal penampilan, tetapi juga kesehatan tubuh secara keseluruhan.
Bagaimana Pesan Gerakan Body Positivity yang Efektif?
Peneliti menggunakan teori kebutuhan psikologis dasar (Self-Determination Theory) untuk merancang pesan body positivity yang lebih efektif. Dua elemen utama yang diangkat adalah otonomi dan rasa diterima.
- Otonomi: Pesan yang mendukung otonomi memberi kebebasan untuk menerima tubuh tanpa paksaan yang membuat seseorang lebih puas dan percaya diri. Sebaliknya, pesan yang memaksa justru bisa menurunkan rasa percaya diri. (misalnya, “Kamu harus selalu bangga dengan tubuhmu, tidak boleh merasa sedih atau kecewa!”)
- Rasa Diterima: Merasa diterima oleh orang lain tanpa syarat adalah yang terpenting pada kesejahteraan emosional. Dalam konteks body positivity, ketika seseorang merasa bahwa penampilan mereka dihargai apa adanya, mereka cenderung memiliki citra tubuh yang lebih positif.
Intinya, ketika gerakan body positivity berubah menjadi tekanan untuk selalu merasa percaya diri, hal ini dapat menjadi bumerang.
Alih-alih membantu, pesan semacam ini bisa membuat seseorang merasa bersalah jika mereka belum mencapai tingkat penerimaan diri yang diharapkan.
Oleh karena itu, penting untuk menciptakan komunikasi yang tidak hanya mempromosikan penerimaan tubuh, tetapi juga memberi ruang bagi perasaan yang beragam, termasuk ketidakpuasan yang mungkin dirasakan.
Pesan body positivity yang ideal adalah yang mendorong individu untuk merasa bebas dalam menentukan pandangan mereka terhadap tubuh sendiri, tanpa merasa terpaksa atau dikendalikan.
Dengan pendekatan yang mendukung otonomi dan penerimaan, gerakan ini dapat benar-benar membawa dampak positif, bukan sekedar menjadi tren yang mengesankan dari luar, tetapi tidak secara emosional.
Baca juga: Cara Diet 30-30-30 yang Lagi Viral, Mudah & Gak Nyiksa!
Seseorang Bebas Memilih untuk Melakukan Perubahan Jika Mereka Tidak Nyaman dengan Kondisi Tubuhnya
Intinya, setiap orang berhak untuk memilih apakah mereka ingin melakukan perubahan pada tubuhnya atau tidak.
Kalau merasa tidak nyaman dengan tubuhnya, itu hal yang wajar dan tidak ada salahnya untuk ingin berubah, asalkan perubahan itu datang dari diri sendiri, bukan karena tekanan dari luar.
Pada akhirnya, banyak orang hanya ingin mendapatkan pakaian yang pas dengan ukuran tubuh mereka, atau tidak terlalu memikirkan penampilan fisik mereka.
Mungkin ada juga yang tidak ingin dihakimi atau kehilangan kesempatan kerja hanya karena tampak berbeda.
Yang terpenting adalah merasa nyaman dengan pilihan yang diambil, entah itu menerima tubuh apa adanya atau berusaha untuk memperbaikinya. Setiap langkah itu sah, selama membuat diri sendiri merasa lebih baik.
Baca juga: Sisi Positif & Negatif Gaya Hidup ‘YOLO’ yang Jadi Tren Anak Muda Sekarang
Join Girls Beyond Circle yuk dan dapatkan insight menarik lainnya!
Comments
(0 comments)