gagal menampilkan data

Article

Tanda-Tanda Kamu Terjebak dalam Hubungan Toxic Positivity, Pengaruhnya Bisa Bahaya

Written by Adila Putri Anisya

Pernah dengar tentang toxic positivity? Yup, ini adalah sebuah kondisi ketika emosi negatif dianggap tabu dan kita (atau orang lain) malah mendorong untuk terus berpikir positif, meski situasinya sedang berat atau menyakitkan.

Tanpa disadari, sikap seperti ini bisa hadir dalam berbagai hubungan, salah satunya dengan pasangan. Kita jadi merasa enggak valid untuk sedih, marah, atau kecewa. Lama-lama, hubungan yang awalnya terasa “supportive” malah bikin kita enggak nyaman, karena ada tekanan untuk selalu terlihat baik-baik saja.

Kalau kamu pernah merasakan ada yang enggak beres, tapi bingung menjelaskannya, bisa jadi kamu sedang terjebak dalam hubungan yang dibalut toxic positivity. Yuk, kenali tanda-tandanya lewat pembahasan berikut ini!

Baca juga: Buruknya Manifesting untuk Kesehatan Mental, Kok Bisa? Cek Kata Ahli! 

Bedanya Toxic Positivity dan Optimis

Bedanya Toxic Positivity dan Optimis
Sumber foto: Pexels

Saat dengar kata toxic positivity, mungkin yang langsung terlintas di pikiranmu adalah itu semacam optimisme. 

Memang, keduanya sama-sama soal berpikir positif, tapi sebenarnya ada perbedaan penting di menurut Katie Krime, seorang psychotherapist melalui The Knot.

Optimis itu artinya kita punya harapan akan hal baik, tapi tetap sadar kalau masalah dan perasaan negatif itu wajar ada. Jadi, optimis enggak menutup mata sama kesulitan, malah bikin kita lebih kuat dan siap mencari solusi.

Sedangkan toxic positivity justru kebalikannya. Di sini, perasaan negatif malah diabaikan atau ditekan, lalu kita dipaksa untuk selalu berpikir positif tanpa melihat kenyataan yang sebenarnya. 

Akibatnya, perasaan asli kita jadi dianggap enggak penting, bahkan malah merasa salah karena sedih atau kecewa.

Jadi, walau sama-sama berfokus pada hal positif, optimis itu realistis dan menghargai perasaan, sementara toxic positivity malah menolak kenyataan dan bikin kita enggak bisa jujur sama diri sendiri.

Tanda-Tanda Toxic Positivity dalam Hubungan 

Tanda-Tanda Toxic Positivity dalam Hubungan
Sumber foto: Pexels

Nah, agar kamu bisa bedain mana hubungan supportive dan toxic positivity, Girls Beyond menuliskan beberapa tanda yang harus kamu ketahui. Melansir dari Abby Medcalf, berikut beberapa tanda yang biasa dirasakan “korban”!

  • Kamu ngerasa ditekan buat harus bahagia terus, bahkan saat kamu lagi enggak baik-baik saja.
  • Waktu kamu sedih atau marah, tanggapan pasananmu malah bikin kamu ngerasa bersalah atas emosi itu.
  • Setiap kali kamu coba cerita soal hal negatif, kamu malah dipotong, diabaikan, atau disuruh “udah, jangan dipikirin.”
  • Setelah ngobrol, kamu jadi mikir, “Apa aku lebay, ya?” atau “Kok aku kayaknya salah terus?”
  • Kamu mulai terbiasa menyembunyikan perasaan sedih atau kecewa saat bareng orang itu.
  • Ketika kamu cerita tentang masalahmu, mereka cuma kasih jawaban seperti “Ayo semangat dong,” “Senyum, yuk,” “Liat sisi positifnya,” atau “Kamu masih lebih beruntung dari orang lain.”
  • Kamu pernah dibilang, “Kebahagiaan itu pilihan, lho,” pas lagi cerita soal hal yang berat.
  • Perasaanmu dianggap remeh, misalnya: “Yah, gitu doang kok sedih.”
  • Mereka sering pura-pura enggak ada masalah, padahal hubungan kalian lagi enggak sehat.
  • Setiap kali ngobrol, kamu pulang dengan perasaan enggak didengar, disepelekan, atau bahkan dipermalukan.

Kalau kamu mulai sering merasakan hal-hal di atas, coba evaluasi lagi. Mungkin hubungan itu terlalu banyak ‘positivity’ sampai-sampai lupa kalau sedih pun adalah bagian alami dari hidup.

Baca juga: Pola Pikir ‘Body Positivity’ Tak Selamanya Baik, Simak Penjelasannya! 

Pengaruh Toxic Positivity dalam Hubungan

Pengaruh Toxic Positivity dalam Hubungan
Sumber foto: Pexels

Dalam hubungan, toxic positivity bisa bikin komunikasi jadi enggak sehat. Kalau seseorang terus merasa emosinya dianggap “berlebihan” atau enggak valid, lama-lama mereka jadi ragu untuk terbuka. 

Akibatnya, hubungan jadi terasa jauh, dingin, dan penuh basa-basi. enggak ada lagi keintiman emosional, karena masing-masing sibuk menutupi apa yang sebenarnya dirasakan.

enggak cuma itu, memaksa orang lain untuk selalu positif bisa terasa seperti mengecilkan perjuangan mereka. Padahal, empati dan ruang aman untuk merasa “enggak baik-baik aja” justru bisa memperkuat hubungan. Tanpa itu, yang tersisa hanyalah hubungan yang terlihat baik di luar, tapi kosong di dalam.

Selain itu, menurut Psychology Today, toxic positivity ternyata enggak cuma bikin kita merasa enggak nyaman secara emosional, tapi juga bisa berdampak buruk bagi kesehatan fisik. Menekan perasaan negatif seperti sedih, takut, atau marah itu ibarat menumpuk beban di dalam hati. 

Lama-lama, ini bisa bikin tekanan darah naik, jantung berdebar, dan risiko masalah kesehatan lainnya ikut meningkat. Lebih parahnya lagi, kalau kita pura-pura semua baik-baik saja padahal sebenarnya ada masalah serius, kita bisa kehilangan kesempatan untuk mencari bantuan atau solusi lebih awal.

Jadi, Apa yang Harus Dilakukan Alih-Alih Harus Selalu Positif di Situasi yang enggak Baik?

Jadi, Apa yang Harus Dilakukan Alih-Alih Harus Selalu Positif di Situasi yang enggak Baik?
Sumber foto: Pexels

Enggak salah kok kalau kamu pengen tetap positif. Tapi, penting juga untuk tahu kapan harus berhenti memaksakan itu, terutama saat keadaan lagi enggak baik. 

Masih menurut TheKnot, ada tiga hal yang bisa dilakukan jika pasanganmu ada tanda-tanda toxic positivity, yaitu:

  • Sampaikan secara terbuka bahwa kata-kata mereka memengaruhi perasaanmu. Kamu hanya perlu ruang untuk menyampaikan emosi negatif tanpa menghakimi.
  • Tunjukkan bahwa kamu hanya minta empati bukan solusi.
  • Tetapkan batasan jika polanya berlanjut, dan sampaikan bagaimana kamu ingin didukung secara emosional.

Sebenarnya, kata-kata yang ingin didengar pasangan ketika ada di situasi buruk adalah:

  • Daripada memaksakan senyum atau menghibur dengan “Yuk semangat, pasti bisa kok,” coba ubah pendekatannya. Misalnya, cukup bilang, “Kamu kelihatan capek, mau cerita?” atau “Aku enggak bisa bayangin gimana rasanya, tapi aku di sini kalau kamu butuh teman.”
  • Daripada berkata “Kegagalan itu pilihan,” coba ganti dengan, “Aku tahu gagal itu enggak enak, tapi itu bagian dari proses belajar.”
  • Daripada menimpali dengan “Kalau aku bisa, kamu pasti bisa juga,” kamu bisa bilang, “Setiap orang punya jalan dan tantangannya sendiri, dan itu wajar kok

Kita juga bisa belajar untuk enggak langsung menilai atau membandingkan pengalaman orang lain. Setiap orang punya cara sendiri dalam menghadapi masalah. 

Jadi intinya, kamu enggak harus selalu terlihat kuat atau positif. Kadang, hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah menerima bahwa sedang enggak baik-baik saja, dan itu valid.

Baca juga: Stress Language: Mengenali Diri Sendiri Saat Menghadapi Stres 

Gabung discord Girls Beyond Circle dan dapatkan insight menarik lainnya seputar relationship!

Cover: Pexels

Comments

(0 comments)

Sister Sites Spotlight

Explore Girls Beyond